44. Couple?

1.1K 123 59
                                    

GARA-GARA kucing yang menyeberang jalan sembarangan itu sekarang Rissa mesti tergopoh-gopoh berlari mengejar kelas. Masih untung Kakek Ahmet yang mobilnya lecet kena serempet motornya tadi orangnya baik hati dan sama sekali tidak menuntut Rissa ganti rugi apa pun. Kalau tidak, Rissa yakin urusannya bakal lebih panjang dan belum tentu sekarang ia bisa masuk sekolah.

Oke, Rissa memang bisa lolos melewati gerbang. Akan tetapi, setelah memarkir motor, tentunya ia harus sampai ke kelas sebelum keduluan oleh guru yang akan masuk mengajar. Lorong koridor utara terlihat sepi. Anak-anak pasti sudah memasuki kelas masing-masing sejak bel berbunyi dua menit lalu.

Alas sepatu Rissa berdecit dengan lantai ketika gerakan berlarinya yang tergesa-gesa di koridor sekonyong-konyong direm sekuat tenaga. Gawat! Pak Rebo yang akan mengajar akuntansi di jam pelajaran pertama ini sudah jalan di depan. Masalahnya, Rissa jelas tidak mungkin ujug-ujug menyalip jalan guru akuntansi seangker malam Jumat Kliwon itu dan dengan santainya sayhello’ sambil lambai-lambai tangan ala peserta kontes ratu kecantikan internasional.

Kelewat panik, otak Rissa serasa menyusut. Pikirannya buntu. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri sebagai contoh ketua kelas yang tidak disiplin waktu.

“Lewat sini!”

Di tengah kecemasan Rissa yang kian merangkak naik, suara itu datang menyadarkannya bahwa masalah tidak akan selesai hanya dengan berdiri saja.

“Erlang?”

Ternyata Erlang juga datang terlambat seperti Rissa. Cowok jangkung itu mengajak Rissa mengambil jalan yang berlawanan dengan Pak Rebo. Mereka menerobos lorong menuju arah kebun sekolah. Cerdik juga Erlang mengarahkan jalan yang melewati belakang ruang-ruang kelas sehingga suara kegaduhan langkah lari-lari mereka tidak menimbulkan perhatian guru yang mulai mengajar di kelas masing-masing. Terlebih guru piket yang punya mata seawas CCTV, siap menjaring anak-anak terdeteksi membolos, melayap ke kantin di jam pelajaran, dan juga mereka yang punya masalah dengan ketepatan waktu.

Jalan pintas yang mereka lalui memang sedikit terjal dan sesekali mesti melompati semak. Untung Rissa sudah membiasakan diri mengenakan celana panjang di balik rok abu-abunya, sehingga tidak masalah saat ia harus mencincing ujungnya demi lebih memudahkan gerakannya berlari. Rissa tetap berusaha menyamakan kecepatannya dengan langkah-langkah lebar kaki jenjang Erlang supaya ia tidak ketinggalan. Kembali Rissa merasa beruntung karena memiliki kemampuan atlet lari nasional.

Dari area kebun rupanya tembus ke ruang fotocopy. Rissa dan Erlang masih berusaha mencapai tangga kelas mereka di lantai dua. Waktunya pas sedetik lebih cepat ketika Pak Rebo terlihat dari belokan koridor untuk menuju tangga yang sama.

Sampai di lantai dua, kedua teman sekelas itu sejenak mengatur napas yang tersengal-sengal. Mereka saling melempar senyum kemenangan, meskipun sambil mengeluhkan tungkai yang pegal-pegal dan dahi berpeluh sebesar biji-biji jagung. Tidak sia-sia perjuangan mereka mencari jalan pintas hingga pada akhirnya berhasil masuk kelas sebelum Pak Rebo datang.

Suasana gaduh khas menunggu guru masuk masih mengiangi ruang kelas. Lihat saja, anak-anak hiperaktif ini pasti tak berkutik setelah aura kuburan Pak Rebo menjamah ruang kelas sebentar lagi.

“Aku kira kamu nggak masuk, Ris,” celetuk Kinar yang lagi icip-icip pempek kapal selam di meja Tutik begitu Rissa duduk di kursinya seiring mengembuskan napas lega.

“Kesiangan aku, Nar,” sahut Rissa masih sedikit ngos-ngosan. “Eh, cepat balik. Pak Rebo lagi OTW ke sini.”

Benar saja bertepatan kalimat Rissa, kepala Pak Rebo menyembul di ambang pintu. Anak-anak segera mendisiplinkan diri di bangku masing-masing, termasuk Kinar yang bergegas kembali ke mejanya sendiri dengan mulut masih penuh pempek.

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang