TEPAT setelah bel istirahat berbunyi, ponsel Kenzie bergetar menandakan adanya sebuah pesan masuk. Erlang mengiriminya chat. Kenzie melayangkan tatapan herannya ke arah meja Erlang. Sekilas Erlang membalas Kenzie dengan tatapan dingin sebelum mata itu berisi kode untuk segera mengikutinya keluar kelas.
Kenzie melihat Erlang beranjak duluan keluar kelas. Tanpa berpikir dua kali lipat lagi, Kenzie pun segera menyusul Erlang sesuai chat yang ia terima bahwa Erlang ingin mengajaknya bicara. Baguslah, karena sebelumnya pun Kenzie belum selesai berbicara dengan Erlang.
Bekas lapangan voli yang telah dijadikan kebun apotek hidup di belakang gedung perpustakaan menjadi tempat kedua cowok itu saling berhadapan sekarang.
"Itu kamu, kan?" Menolak berbasa-basi, Erlang langsung saja menodongkan pertanyaan itu di depan Kenzie.
"Maksudmu?" Tentu saja Kenzie yang belum tahu duduk persoalannya, berbalik tanya dengan heran.
"Nggak usah pura-pura nggak tahu. Tadi pagi kamu udah lihat sendiri saat Pak Rahmawan minta aku ikut ke ruangannya."
"Memangnya kenapa tadi Pak Rahmawan panggil kamu? Nggak ada masalah, kan?" tanya Kenzie penasaran.
Erlang berdecak di balik seringai meremehkannya. "Ken, udahlah kamu berhenti bersandiwara kayak gini."
"Sandiwara apa?"
Erlang mendengkus hanya untuk menilai Kenzie masih mencoba berpura-pura di hadapannya. "Oke, aku perjelas kalau itu maumu. Kamu tahu, kenapa tadi Pak Rahmawan sampai panggil aku ke ruangannya? Ya, Pak Rahmawan menyampaikan ke aku kalau pihak sekolah udah menerima donasi beasiswa penuh yang ditujukan atas namaku."
"Beasiswa penuh?" Mata Kenzie membulat. Bibirnya membentuk kurva yang mewujudkan ekspresi senangnya. "Jadi itu artinya kamu udah dapat donatur?"
"Ya, donatur yang nggak mau disebutin namanya. Kamu jelas mengerti, kan, apa yang aku pikirkan sekarang?"
"Terus kamu mengira aku ada kaitannya dengan donasi beasiswa itu?"
"Bukankah cuma kamu yang tahu masalah pencabutan beasiswaku? Kamu udah bilang apa sama babamu?"
Kenzie tidak percaya Erlang sanggup memiliki pemikiran seperti itu. Lagi pula sekalipun itu benar, apa itu salah di mata Erlang?
"Lang, jujur aja waktu kamu bilang kalau beasiswamu udah dicabut, aku juga pingin bisa bantu kamu. Alasanku sederhana. Karena kamu itu temanku. Kamu udah aku anggap teman baikku sejak pertama kamu datang nengokin aku di rumah sakit. Kamu yang paling tahu keinginanku yang mau masuk karate sampai-sampai kamu rela hampir setiap hari datang buat bantuin aku, semangatin aku biar bisa berjalan lagi. Saat itu juga kamu ikutan tertarik mau belajar karate. Kita pernah berjanji sebelum aku melanjutkan terapiku di Dubai. Suatu saat kalau kita ketemu lagi, kita sama-sama udah akan jadi pemain karate yang hebat."
Kenzie menatap Erlang lebih dalam. Mengharap pada temannya itu untuk berhenti memperlakukannya seperti musuh. "Beberapa hari lalu saat akhirnya aku tahu kamu mesti ambil kerja paruh waktu itu, aku benar-benar merasa nggak bisa berbalik jadi teman yang baik buat kamu. Kamu menolak bantuanku. Kamu menghindariku. Kita sadar nggak, sih, kalau jurang perselisihan itu kita sendiri yang menciptakannya?"
Erlang memalingkan wajahnya ke bawah. Sejujurnya ia tak pernah ada maksud menjauhi Kenzie. Ia kenal Kenzie tidak akan segan memintakan bantuan pada babanya yang kaya raya itu. Erlang sendiri juga sangat mengenal babanya Kenzie adalah orang yang baik dan pasti akan melakukan apa pun yang diminta Kenzie, anak semata wayangnya. Namun, justru karena itu Erlang hanya tidak mau menyeret Kenzie untuk mengetahui lebih banyak tentang kesulitan ekonomi keluarganya.
![](https://img.wattpad.com/cover/137685574-288-k886387.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory
Teen Fiction[COMPLETED] Young Adult | Religi | Romantic Comedy Mulanya Rissa si cewek tomboi itu benar-benar risi ketika harus mengubah penampilannya dengan berhijab demi memenuhi janji di hari ulang tahunnya yang tepat menginjak angka tujuh belas. Esensi berhi...