PERMUKAAN tanah masih menguarkan petrichor ke penghiduan selepas rintik-rintik hujan membasahinya selama beberapa saat tadi. Pancaroba di pengujung bulan April membawa pertukaran udara yang tidak menentu. Tekanan udara bisa sangat turun dan kelembapan udara naik secara tajam.
Tampaknya kaus long sleeves serta celana baggy 7/9 yang dikenakan Kenzie pun tidak cukup mampu menghalau embusan angin yang bandel menjamah pori-pori kulitnya. Sudah tahu dirinya tidak bisa bersahabat dengan udara dingin. Seharusnya sebelum keluar malam-malam begini, ia tidak meninggalkan jaketnya di kamar. Namun, barang mengambilnya sekarang pun ia malas.
Hatinya masih saja dalam suasana kacau. Semua itu dikarenakan kakeknya. Sudah sejauh apa kakeknya mematai-matai Kenzie? Jika mengirim kado ulang tahun dan menampakkan diri di sekolah itu terasa mudah bagi kakeknya, lantas hal apa lagi yang direncanakannya setelah ini?
Kenzie baru akan memejamkan mata ketika monolog seseorang terdengar tak jauh dari tempatnya. Bayangan pria berperawakan tambun itu membungkuk di antara rerimbunan tanaman hias yang tertata rapi di halaman taman depan rumah. Tangan orang itu menyibaki dedaunan bunga asoka, seolah sedang mencari-cari sesuatu.
"Puuus meooong. Pus, ayo keluar, Pus. Nanti ndak tak bagi sempolan ayamnya, lho."
Kenzie masih mendengarkan celotehan Pak Kosim, tukang kebunnya yang kini terlihat menarik-narik makhluk berbulu di balik semak tanaman. Hingga tiba-tiba makhluk berbulu yang ternyata seekor kucing itu justru meloncat dan membuat badan gempal Pak Kosim ikut terlonjak kaget sampai terjungkal ke tanah. Sementara kucing menggemaskan itu berlarian menuju arah Kenzie yang masih menaiki ayunan dan segera menghambur ke atas pangkuan tuannya tersebut.
"Welhadalah, kucing gemblung!" umpat Pak Kosim yang tertatih-tatih berjalan sambil memegangi pantatnya.
"Pak Kosim baik-baik aja?" Kenzie bertanya sembari mengelus-elus kepala Ica, kucing belang abu-abunya dalam kenyamannya meringkuk.
"Inggih, Mas, saya ndak apa-apa. Eh, sepurone, Mas, tadi saya jadi marah-marahin kucingnya Mas Kenzie," cengir Pak Kosim begitu menghampiri putra majikannya.
"Ica memang nakal, kok. Mari, Pak Kosim, duduk sini." Bangku akar kayu di dekat ayunan dipersilakan Kenzie.
Pak Kosim mendesah lega begitu merileksasikan pantatnya yang tadi mencium kerikil. "Lha, ini omong-omong, kenapa Mas Kenzie malam-malam begini masih ada di luar? Nah, kenapa juga ini mangganya belum dimakan?" Ditunjuknya piring berisi irisan mangga di atas meja akar kayu.
"Lagi cari angin aja, Pak." Kenzie beralasan. "Oh, ya, kalau mau, mangganya itu buat Pak Kosim aja."
"Wah, yang benar, Mas? Tapi saya jadi ndak enak. Mangga ini, kan, sengaja dikupasin Bi Wati buat Mas Kenzie," sahut Pak Kosim berlagak menolak, padahal lidahnya sudah kelametan pingin mencicipi irisan buah mangga yang menggiurkan lidah itu.
"Nggak apa-apa, mangganya ambil buat Pak Kosim aja. Aku masih kenyang."
Kumis tipis Pak Kosim melebar ketika bibirnya turut mengembangkan senyum, membuat wajah yang punya tipikal jenaka itu semakin kelihatan mirip pemain lawak di televisi. "Kalau begitu makasih banyak, ya, Mas. Mas Kenzie memang baik betul. Ini saya makan, ya." Ia mengambil garpu di pinggir piring dan langsung menancap dua irisan mangga itu sekaligus. "Hm ... manis, Mas."
Kenzie tersenyum geli memerhatikan mulut Pak Kosim yang penuh dengan mangga. Namun, tak berapa lama, ia menolehkan kepalanya ke arah Ica yang telah menemukan mainan baru. Tak lelah, kucing lincah itu jumpalitan mengejar-ngejar jangkrik yang meloncat-loncat ke sana ke kemari di atas rerumputan. Mungkin dalam keadaan biasa, polah tingkah kucingnya itu bisa langsung disambutnya dengan gelak tawa. Akan tetapi, saat ini Kenzie hanya menatap kosong objek di hadapannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory
Teen Fiction[COMPLETED] Young Adult | Religi | Romantic Comedy Mulanya Rissa si cewek tomboi itu benar-benar risi ketika harus mengubah penampilannya dengan berhijab demi memenuhi janji di hari ulang tahunnya yang tepat menginjak angka tujuh belas. Esensi berhi...