BANDARA INTERNASIONAL AHMAD YANI tak henti-hentinya menampakkan beragam intensitas lalu-lalang para pengunjungnya, baik dari kedatangan maupun yang tengah menunggu jadwal keberangkatan penerbangan. Tak terkecuali bagi para pengunjung yang sekadar turut menjemput maupun mengantar sanak keluarga, handai tolan, hingga pasangan mereka ke bandara.
"Ingat baik-baik semua pesan baba. Selama bab pergi, kamu pintar-pintar jaga kesehatan. Jangan sampai telat makan, jangan tidur larut malam juga. Baba tahu kamu suka berenang. Tapi jangan lama-lama berendamnya. Ingat, tubuh kamu itu rentan suhu dingin. Jangan sampai baba dengar kabar kalau kamu sampai kena hipotermia. Terus sebisa mungkin selalu pakai jaket atau pakaian tebal kalau mau pergi ke mana-mana, apalagi saat malam hari."
"Baba ... Baba udah bilang kayak gitu berulang-ulang. Dari semalam Kenzie bantuin baba packing, sepanjang perjalanan kita ke bandara, dan sampai detik ini. Ini sama aja Kenzie bukannya harus belajar mengingat-ingat lagi, tapi semua pesan baba itu udah Kenzie hafal di luar kepala," protes Kenzie seraya mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan ujung jari telunjuk demi mempertegas kalimat terakhirnya.
Adib terkikih hingga telapak tangannya gemas mengacak-acak rambut Kenzie yang sebenarnya sudah bertatanan messy. Sebelum putranya yang menggerutu ingin melayangkan protes lanjutan atau mungkin lebih panjang lebar lagi, Adib memindahkan sentuhan kedua telapak tangannya itu pada bahu Kenzie. Sedikit remasan yang tercipta dari cengkeraman kesepuluh jarinya berharap dapat menyalurkan sejuta makna dari sorot mata teduhnya.
"Nak, tapi yang satu ini baba serius," ucap Adib menatap intens putra semata wayangnya. "Baba mau tanya sekali lagi, apa kamu yakin tidak mau tinggal sementara di rumah Ammah Shafira saja? Baba akan jauh lebih tenang jika kamu ada yang menjaga di sana."
"Baba, Kenzie janji akan menuruti semua pesan Baba. Tapi kalau buat tinggal di rumah Ammah Shafira, jawaban Kenzie masih sama. Baba tahu sendiri kalau jarak dari rumah ammah ke sekolah Kenzie itu jadi lebih jauh. Lagian Kenzie nggak sendirian di rumah. Ada Bi Wati, Pak Mahmud, sama Pak Kosim. Iya, kan?"
Adib menghela napas dengan bibirnya yang kali ini turut menorehkan senyum kecil. Dalam hatinya sendiri, Adib menyetujui ucapan Kenzie. Rute ke sekolah Kenzie lebih mudah dijangkau dari Bukit Permata. Membenarkan pula bagi Adib memercayakan penjagaan Kenzie kepada ketiga pekerja di rumahnya selama ia pergi.
Dalam perjalanan bisnis kali ini, setidaknya Adib harus memakan waktu sekitar dua sampai tiga bulan. Sesungguhnya bukan perkara baru kala Adib harus bertolak ke luar negeri dan meninggalkan Kenzie karena urusan pekerjaannya tersebut. Masalahnya, ia hanya masih meragukan kota ini.
Kota yang begitu banyak merangkai kisah pilu di masa lalunya. Kerap kali berputar dalam ingatan serta mimpi-mimpi buruk Adib seperti kaset rusak. Timbul tenggelam dalam baur suara-suara dan kilasan gambar hitam putih. Menyatu, menjurus, menyambangi sentra memori otaknya dan menggali paksa kembali puing-puing adegan berdarah menjadi kesatuan utuh alur cerita penuh luka.
Adib telah belajar bahwa melawan ketakutan tidak harus dengan membangun jeruji sangkar, sekalipun itu dari bahan emas. Ia tidak mau mengulangi kesalahan mendidik anak, di mana dirinya sudah bersikap overprotective yang ternyata justru menimbulkan disharmoni antara hubungannya dengan Kenzie.
Ya Rabb ... ya muqollibal qulub. Hati memang milik Tuhan. Melalui kemurahan-Nya, Tuhan telah melembutkan hati seorang anak nakal dan susah diatur itu sebagaimana dalam doa-doa yang dipanjatkan Adib setiap malamnya. Begitu pun Adib juga tidak bisa melupakan utang budinya pada Hanif yang telah membantu membimbing Kenzie di dalam majelis kajiannya. Melalui nasihat kakak iparnya itu pun Adib bisa menyadari kekeliruannya.
"Bukan hanya ada anak yang durhaka pada orang tua, tetapi orang tua juga bisa durhaka pada anak. Ini merupakan dosa yang harus kita—para orang tua—pertanggungjawabkan nantinya apabila kita gagal menghadapi ujian melalui anak. Maaf, Adib, kalau saya harus katakan cara kamu yang terlalu mengekangnya itu sama saja dengan kamu sudah berlebih-lebihan dalam bersikap protektif. Itu sendiri tidak baik, Adib. Sebagaimana syariat melarang sikap ghuluw karena tidak akan mendatangkan kebaikan, kecuali hanya menyebabkan takalluf atau beban bagi diri sendiri. Dari sisi psikologis, overprotective—mengekang kebebasan anak—juga tidak dianjurkan sebagai pola asuh orang tua. Sebaliknya, kamu bisa lihat sendiri apa dampaknya. Jiwa Kenzie yang menolak rapuh justru memilih berontak dari jeruji emas yang kamu bangun di atas rasa ketakutanmu sendiri. Kenyataannya, kalianlah yang sama-sama terluka."
![](https://img.wattpad.com/cover/137685574-288-k886387.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory
Teen Fiction[COMPLETED] Young Adult | Religi | Romantic Comedy Mulanya Rissa si cewek tomboi itu benar-benar risi ketika harus mengubah penampilannya dengan berhijab demi memenuhi janji di hari ulang tahunnya yang tepat menginjak angka tujuh belas. Esensi berhi...