62. Tak Dianggap

919 112 57
                                    

SAKHA meniti anak tangga dari kamarnya di lantai dua. Ia harus menghadap satu-satunya wanita tercantik di rumahnya yang akan memberikan titah pada hari bertanggal merah seperti ini.

Ummanya memang baru selesai membuat brownies kukus pandan lapis cokelat dengan toping parutan keju. Secara khusus—ah, tepatnya selalu secara khusus—brownies buatan tangan nan sarat kelembutan kasih sayang seorang ibu itu spesial disiapkannya untuk Kenzie.

Tak terhitung berapa banyak Sakha merasa heran, kenapa ummanya tidak ada bosan-bosannya bikin kue berwarna cokelat itu. Padahal Sakha yang melihatnya saja sudah enek. Lalu, apa kata ummanya? Katanya, selama Kenzie belum bosan makan brownies kesukaannya, ya, ummanya bakal terus membuatkan.

Sedangkan pada akhirnya Sakha jugalah yang mengemban misi mengantar kue itu sampai ke tangan Kenzie. Sekalian Sakha juga disuruh memastikan apa Kenzie menjaga dirinya dengan baik. Tentu saja akan lebih mudah jika Kenzie mau tinggal di rumah keluarga Sakha, sehingga berhenti menarik kecemasan ummanya setiap kali ingat keponakannya itu masih ditinggal Khol Adib ke luar negeri.

Sakha sendiri tidak keberatan berbagi kasih sayang ummanya dengan Kenzie. Sakha menyayangi Kenzie tanpa perlu ia menjaharkannya. Memang benar saudara sepupunya bukanlah Kenzie seorang. Masih ada anak-anak dari jalur saudara buyanya yang lain.

Namun, hanya Kenzie sepupu yang seumuran dengannya. Hanya Kenzie yang paling dekat dengannya. Hanya Kenzie yang bisa membuatnya merasakan ikatan batin layaknya saudara kandung. Hanya Kenzie yang punya sifat ajaib sedikit-sedikit bikin kesal, sedikit-sedikit bikin sayang. Dan hanya Kenzie yang mampu menjangkitinya dengan virus senyum menular.

Sakha hendak berbelok ke arah dapur bersih ketika gerakannya terpaksa terjeda oleh penampakan dua orang yang duduk di sofa partisi antara ruang tengah dan kitchen island. Sakha menghela napas. Sepagi-pagi ini buya dan ummanya sudah bermesraan saja seakan-akan dunia hanya tercipta untuk mereka berdua. Entah candaan apa yang membuat ummanya tertawa geli sampai menarik-narik gemas bulu anfaqoh di bawah bibir yang menyambung dengan janggut tipis sang suami.

Sakha mengendap-endap meraih dispenser. Niatannya tidak ingin mengganggu waktu berkualitas kedua orang tuanya, tetapi suara gelas plastik yang tak sengaja jatuh ketika Sakha hendak membuka keran dispenser jadi mengalihkan perhatian mereka.

"Sakha, ngapain di situ?" tanya Shafira.

"Mau minumlah, Umma," sahut Sakha apa adanya.

"Maksud umma, sejak kapan kamu turunnya? Kok, umma nggak dengar? Tahu-tahu sudah di situ."

"Sejak dunia serasa hanya menjadi milik Umma sama buya." Sakha mengerjap polos, tetapi jelas kalau matanya lebih mengungkapkan binar-binar jenakanya saat menggoda perbuatan kedua orang tuanya tadi.

Shafira mengerucutkan bibir demi menyembunyikan rona tersipu malunya yang kepergok anak. Diliriknya sang suami yang malah terkikik. Keruan saja Shafira menghadiahkan cubitan teristimewanya ke udel pria Arab itu.

"Kamu sudah mau berangkat ke rumah Kenzie?" Shafira menghampiri Sakha yang sudah tampak kemas dengan setelan baju kasualnya.

Sakha mengangguk. "Na'am. Umma jadi bawain kue brownies-nya?"

"Jadi, dong. Sebentar, umma bungkusin dulu." Bergegas Shafira memindahkan brownies dari loyang ke dalam lock and lock, lalu memasukkannya ke tas serut supaya mudah dibawa Sakha.

Sayangnya setiba di rumah Kenzie, ternyata anak itu tidak ada di rumah. Penuturan Bi Wati saat ditanyainya menjelaskan kalau Kenzie sedang pergi membeli buku. Sakha tidak sempat bertanya lagi ketika dari arah dapur tercium bau gosong. Bi Wati lupa mengangkat gorengan pisangnya dari wajan.

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang