"APA maksud Tante? Kenapa aku bisa ada di sini?"
Bak ratu kerajaan, Sevanee mengatur setiap irama langkahnya menuruni satu per satu anak tangga dengan penuh keluwesan. Semakin mempersembahkan sosoknya nan terpandang anggun, sepadan senyuman seelok bunga merekah itu pun tak memudar di bibirnya.
Hanya dengan ayunan telapak tangannya, ia mengodekan ART berseragam baju suster warna hijau muda itu untuk meninggalkan mereka berdua. Bi Marni pun mengangguk patuh dan segera menyingkir ke dapur.
"Kamu tanya, apa maksud tante?" Kalimat pertanyaan Kenzie sebelumnya diulangkan Sevanee teriring seringai misterius yang melintas di satu sudut bibirnya. Namun, sedetik kemudian ekspresi wanita elegan itu mendadak berubah ramah. "Maksud tante, tentu saja kamu tidak bisa pulang dalam keadaan begini, kan? Kenzie, sejak kemarin kamu jatuh sakit sampai tidak sadarkan diri. Lihat, sekarang saja kamu masih belum pulih benar. Jadi lebih baik kamu istirahat dulu, ya, di rumah tante."
Kenzie menggeleng. "Tapi, kenapa Tante harus bawa aku ke sini? Tante bohong mau antar aku pulang."
"Tante bingung, Sayang. Tante panik. Tiba-tiba kamu pingsan di mobil tante. Saat itu tante cuma kepikiran kalau kamu lebih baik dibawa ke rumah tante saja. Sungguh, tidak ada maksud tante untuk bohongin kamu."
"Maafin aku udah ngerepotin Tante. Tapi sekarang aku mau pulang."
"Tidak, kamu tetap di sini." Bukan sebuah bujukan halus lagi, suara dingin Sevanee kali ini lebih terdengar seperti perintah.
"Aku udah nggak pulang sejak kemarin, Tante. Orang-orang rumah pasti juga bingung cariin aku. Aku harus kasih kabar ke mereka." Kenzie pun tak kalah mengenyel.
"Jangan keras kepala, Kenzie!" bentak Sevanee.
Secara mengejutkan sekali, Kenzie tidak mengira tantenya akan meninggikan suaranya dengan wajah terbakar marah.
"Oh, Kenzie ... tante ... tante minta maaf, ya. Tante tidak bermaksud berkata kasar seperti ini." Sevanee ganti mengubah ekspresinya lagi dengan raut penyesalan. Tangannya yang hendak meraih tangan Kenzie mendapat tepisan. Rahangnya mengeras demi menahan emosi atas penolakan Kenzie.
Kenzie mengambil jarak mundur. Sikap tantenya semakin tak terbaca. Berubah-ubah. Tantenya seperti tengah memainkan gimik. Kenzie merasakan adanya sesuatu yang menyuruhnya untuk tidak berlama-lama berada di tempat ini.
"Kenapa, Kenzie?" Kali ini sebuah seringai yang terpampang. "Kenapa kamu jauh-jauh dari tante begitu, hm?"
Oh, sial! Di belakang Kenzie sudah mentok lemari bufet tinggi. Tak mungkin ada lagi jarak yang terbentang ketika tantenya itu selalu berhasil mengikis langkah mundurnya. Bahkan dalam jarak tidak lebih setengah meter sekarang ini penghidunya semakin tajam menghirup aroma parfum mewah yang dipakai tantenya.
"Apa tujuan Tante?" Satu pertanyaan Kenzie terlontar seperti proyektil peluru yang menembak lawannya secara tepat sasaran.
"Tujuan tante, ya?" Sevanee tertawa kecil seakan merasa tergelitik. "Tentu saja tujuan tante ...." Dicondongkan wajahnya lebih dekat ke wajah Kenzie bersamaan ujung jemari lentiknya yang berhias kutek merah itu membelai lembut helaian rambut depan anak itu, "... kamu."
Kenzie membuang wajahnya ke samping, menyentakkan otomatis jemari tantenya. "Jadi Tante menjebakku? Tante mendekatiku dan berpura-pura baik supaya aku masuk ke perangkap tante ini. Bodohnya aku udah percaya sama Tante. Ternyata Tante tega menghianati kepercayaanku." Ah, ia jadi yakin sekarang bahwa apa yang terjadi padanya di mobil itu tidak lebih sudah direncanakan tantenya.
Sevanee mengangkat bahunya tak acuh. "Terserah bagaimana anggapanmu sekarang ini, Kenzie. Yang jelas tempatmu tinggal adalah bersama tante. Cuma tante keluarga yang kamu punya sekarang ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory
Teen Fiction[COMPLETED] Young Adult | Religi | Romantic Comedy Mulanya Rissa si cewek tomboi itu benar-benar risi ketika harus mengubah penampilannya dengan berhijab demi memenuhi janji di hari ulang tahunnya yang tepat menginjak angka tujuh belas. Esensi berhi...