KETIKA Kenzie tiba di rumah sakit, Ammah Shafira sudah dipindahkan ke ruang rawat. Kondisinya sudah sadar. Kendati demikian, dokter menyarankan pasien yang menempati salah satu kamar VIP Rumah Sakit Universitas Lentera Diwangtara itu melakukan rawat inap guna memperoleh perawatan intensif hingga kondisinya benar-benar pulih.
Di dalam kamar rawat itu, Shafira yang masih terlihat lemas tengah dibantu Sakha meminum segelas air putihnya dengan sedotan. Sedangkan duduk di kursi samping ranjang, Kenzie dengan telaten memijat kaki Shafira yang tertutupi selimut. Selagi Shafira dijaga dua anak remaja itu, Hanif harus keluar sebentar untuk mengurus administrasi.
Seorang suster memasuki ruangan. Suster yang tengah berbadan dua itu melaksanakan tugasnya memeriksa tanda-tanda vital pasien melalui tensimeter digital. Tak lupa sambil tetap memasang senyum ramahnya, perawat wanita yang diketahui bernama Tiara itu menanyakan seputar keluhan yang mungkin dirasakan pasiennya.
"Alhamdulillah, pusingnya sudah agak berkurang, Sus. Tapi badan saya kerasa lemas banget," ujar Shafira.
"Iya, Bu, itu karena kondisi Bu Shafira saat ini belum pulih betul. Bu Shafira perlu istirahat yang cukup dan jangan terlalu banyak pikiran," kata Suster Tiara.
"Kalau cuma istirahat, saya ini bisa istirahat di rumah saja, toh. Tapi suami saya malah minta pakai rawat inap segala." Shafira balas mendengkus seraya memasang ekspresi setengah merajuk.
"Umma, keputusan kalau umma dirawat di sini dulu itu udah benar. Sakha setuju sama buya," sela Sakha.
"Kenzie juga setuju," timpal Kenzie.
"Ah, kalian ini sama saja." Masih pura-pura merajuk, wanita yang mengenakan kerudung senada warna biru baju pasiennya itu melengoskan kepala seolah-olah akan tersiksa harus terkurung dalam ruangan rumah sakit selama mungkin beberapa hari ke depan.
"Wah, Bu Shafira beruntung sekali, lho, punya dua jagoan yang sama-sama sayang dan perhatian sama Bu Shafira. Kalau nanti anak kedua saya ini lahir, saya juga berharap mereka akan jadi anak-anak yang pintar dan akur seperti anak-anaknya Bu Shafira," kata Suster Tiara sembari mengelus-elus perutnya yang sudah besar.
"Sudah berapa bulan, Sus?" tanya Shafira.
"Sudah jalan delapan bulan ini, Bu."
"Oh, sebentar lagi waktunya itu. Mesti segera ambil cuti supaya bisa banyak istirahat juga buat persiapan lahirannya nanti."
"Iya, Bu, dalam waktu dekat ini saya sudah mau ambil cuti melahirkan."
Obrolan dua wanita berstatus pasien dan perawat itu diakhiri dengan saling mendoakan kebaikan masing-masing. Bertepatan Suster Tiara keluar ruangan, menyusul masuk Hanif yang kini menghampiri ranjang istrinya.
"Sakha, Kenzie, ini sudah sore dan sebentar lagi magrib. Sebaiknya antuma pulang dan istirahat di rumah," ujar Hanif.
"Walakin, ya Amm, Kenzie masih mau temani Ammah di sini," sanggah Kenzie.
"Iya, Buya, Sakha juga nggak mau pulang. Sakha nggak mau ninggalin umma," tambah Sakha menyatakan kekompakannya dengan Kenzie.
Hanif menghela napas sesaat. Sebenarnya ia juga tidak melarang dua anak itu jika masih ingin tinggal. Namun, mengingat mereka yang masih punya jadwal sekolah besok, tidak mungkin Hanif membiarkan mereka ikut menjaga di rumah sakit.
"Kalian tidak usah khawatir. Soal umma, kan, ada buya yang bisa jagain. Lagi pula besok pagi kalian masih harus sekolah, kan?" papar pria berwajah khas Timur Tengah itu dengan suara tenangnya.
"Betul kata buya. Sakha, Kenzie, kalian pulang, ya? Umma bikhoir," bujuk Shafira seraya meyakinkan tentang keadaannya.
Tidak dapat membantah lagi, Sakha dan Kenzie sejenak saling berpandangan. Mau tidak mau, pada akhirnya mereka terpaksa menurut untuk pulang ke rumah.
![](https://img.wattpad.com/cover/137685574-288-k886387.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory
Jugendliteratur[COMPLETED] Young Adult | Religi | Romantic Comedy Mulanya Rissa si cewek tomboi itu benar-benar risi ketika harus mengubah penampilannya dengan berhijab demi memenuhi janji di hari ulang tahunnya yang tepat menginjak angka tujuh belas. Esensi berhi...