Bagian 5 - Hana

12.3K 610 20
                                    

Jari Hana masih saja menempel di bibir Ryuji, membuat pria itu menjadi diam tak berkutik. Sedangkan Hana masih berbicara dengan Leon mengenai jadwal sekolahnya.

"Seminggu ini jadwal kita penuh, Na. Lo ada pelajaran intensif sama dosen sastra Inggris itu. Sabtu dan minggunya kita sudah ada janji sama anak kelas lain buat rapat acara prom night anak kelas tiga."

"Minggu depan ada hari kosong?" tanya Hana.

"Hmm..." Leon kembali melihat catatannya, "Lo kosong di hari Rabu, itu juga kalau Bu Lia emang belum balik dari Bandung," jelasnya.

"Oke, kosongkan jadwal gue hari Rabu itu ya. Kalau Bu Lia masuk, bilang gue lagi sakit."

"Sip," jawab Leon namun sedetik kemudian...

"Eh anjir ya lo, ngapa gue jadi kaya sekretaris pribadi lo? Atur sendirilah jadwal lo, enak aja," Leon mengamuk.

"Stop talking, sweety," dan Hana langsung menutup telepon tersebut.

"Thursday, two weeks from now," jelas Hana menatap Ryuji.

(Kamis, dua minggu dari sekarang)

Ryuji ingin membalas, namun jari Hana masih menempel di bibirnya.

"Tengah malam, jam dua belas. Kita bisa bertemu lagi di sini," sambungnya.

Hana kemudian melepas jarinya dan Ryuji langsung mengelap bibirnya perlahan. Namun tak ada protes seperti Leon.

"Kamu yakin? Jam dua belas malam di taman ini?"

"Ya, Tuan. Ini akan baik-baik saja. Jika anda takut malam, kita bisa merubahnya menjadi jam dua belas siang."

"Baik. Kamis, jam dua belas malam, di taman. Aku akan datang dan memberikanmu emasnya."

"Tentu, bawa emasnya."

*****

Wshh... grejes... grejes...

Dua kereta saling melaju berlawanan arah. Dari luar hanya terlihat deretan tangan yang memegang erat pada pegangan yang tersedia, dan beberapa kepala yang terjepit di kerumunan.

Di salah satu pintu gerbong campuran, terlihat Hana berdiri seraya memandang pemandangan yang hilang cepat dari penglihatan. Disebelahnya, berdiri Leon yang sibuk memainkan ponselnya.

"Simpen sih ponsel lo, di copet aja. Lo ga liat tuh bapak-bapak di samping lo ngeliatin kaya singa menatap buruannya?" ucap Hana kencang, membuat satu gerbong melihat ke arah bapak-bapak yang di maksud.

"Na, itu mulutnya dijaga," bisik Leon dan menyimpan ponselnya.

"Gue ngomong fakta, lo ga liat aja tuh, tas lo resletingnya udah kebuka setengah."

Leon yang saat itu memakai tas selempang langsung memeriksa resletingnya, dan benar apa yang dikatakan Hana, resletingnya sudah kebuka setengah.

Si bapak merasa terancam, ia langsung mundur perlahan, namun segera dihadang oleh kerumunan bapak-bapak yang kini wajahnya sudah sebelas dua belas dengan pasukan pengaman presiden.

"Lo bilang dong kalau tuh orang lagi nyopet gue!" sungut Leon kesal.

"Lah tadi lo kira gue ngapain? Ngaji? Ya nangkep copetnya lah," Hana membalas.

"Itu bukan nangkep ya, Na. Lebih tepatnya lo ngomel-ngomel ke gue."

Di belakang mereka, suasana semakin ricuh. Massa kereta yang ada mulai menghakimi sendiri si pencopet. Hana yang gerah mendengar keributan itu akhirnya ikut ambil bagian, sedangkan Leon menyumpal telingannya dengan earphone.

"Ini petugasnya ga ada apa? Kalian semua juga jangan main hakim sendiri. Emang kalian ini siapa?" teriak Hana marah.

"Dia copet mba, pantes kita gebukin sampe mati!" balas seorang pemuda dengan menggebu.

"Enak banget lo ngomong. Emang lo mau gue laporin atas tindakan penyerangan dan pembunuhan? Biarpun dia copet, lo ga berhak buat pukul atau matiin nih orang."

Penjelasan itu membuat satu gerbong terdiam. Sementara itu Leon perlahan menggeser tubuhnya ke samping, berusaha tak ingin terlibat.

"Lagian bapak ngapain nyopet segala sih? Iya saya tau bapak perlu duit, nyari kerja susah, jadi kuli juga ga kuat. Tapi ya ga nyopet juga. Kalau ketahuan kan digebukin pak, mending cuma kritis, kalau mati gimana?" Hana mulai mengomeli si pencopet.

"Bapak ini juga setan ya, bapak nyopet satu orang tapi bapak malah ngebuat orang di satu gerbong ini jadi pendosa. Pojok sana ngehina bapak, pojok sini nyumpahin bapak, ini malah masnya pengen jadi pembunuh. Dosa bapak banyak loh," lanjut Hana.

Tak tahu darimana asalnya, Leon tiba-tiba saja sudah datang sambil menarik tangan seorang petugas.

"Na, udah. Ini petugasnya udah ada," Leon berbicara dengan napas terengah.

"Bapak dari mana aja sih?!" Hana menunjuk langsung petugas yang baru datang.

"Bisa-bisanya ga siaga kaya gini. Iya kereta penuh, bapaknya juga ga bisa keliling terus. Tapi kalau ada keributan cepat tanggap dong. Fungsi CCTV yang ada di atas kepala bapak itu buat memantau, bukan cuma merekam doang!!" Hana terus mengeluarkan emosinya.

Dari balik tubuh petugas yang tidak tahu harus melakukan apa, Leon memberikan isyarat agar Hana menutup mulutnya. Hana memang orang yang paling tidak suka kekerasan, namun ia jauh lebih tidak suka dengan orang yang tidak bertanggung jawab.

Karena Hana yang tak henti-hentinya berbicara, mau tak mau Leon merangsek maju dan membungkam mulut sahabatnya.

"Ahahahaha..." Leon tertawa aneh, "Maaf ya bapak-bapak, ibu-ibu, petugas, semuanya. Teman saya ini memang sangat menjunjung tinggi sila keadilan. Jadi, harap maklum kalau dia sedikit berlebihan."

"Buat pak petugas, silahkan diamankan pak. Buktinya bisa dilihat di CCTV, saya sendiri selaku korban tidak mau dimintai keterangan atau pergi ke kantor pemeriksaan. Jadi, semua saya selesaikan di sini."

"Hmpfh...!" Hana memberontak.

"Ya, kalau begitu, saya dan teman saya pamit dulu ya. Terima kasih atas kerjasamanya," dan bertepatan dengan itu, kereta sudah tiba di stasiun berikutnya.

Leon langsung saja menyeret Hana turun lalu pergi dari sana sejauh mungkin.

*****

Ryuji berjalan memasuki parkir basement. Di sana hanya ada satu mobil sport berwarna merah menyala. Dengan kunci yang ia pegang, ia meng-unlock mobilnya.

Beberapa menit kemudian, mobil sport itu keluar dan melaju dengan cepat di jalan raya. Membuat setiap orang yang melihatnya menjadi iri.

Ring. Ring. Ring.

Ada panggilan masuk. Ryuji langsung memasang earphone khusus untuk berkendara miliknya.

"Hana Naomi Sachie, 16 tahun, siswi kelas dua jurusan IPA SMA Zaen. Memiliki berbagai prestasi tingkat nasional di segala bidang, dan mahir dalam bahasa Inggris, ia berada di level bilingual," jelas si penelpon.

"Lainnya?"

"Ia tinggal bersama ibu, ayah, dan kakak perempuannya. Memiliki ibu tiri, dan dua kakak tiri yang semuanya perempuan. Ia merupakan anak terakhir."

"Kirimkan orang untuk menjaganya. Jangan sampai Asami menyentuh gadis itu," jelas Ryuji.

"Baik," dan si penelpon mengakhiri panggilannya.

Ring.

Sebuah nada pendek terdengar. Ryuji langsung menyentuh layar di depannya dan membuat notifikasi yang masuk. Sebuah email dengan subjek Hana Naomi Sachie.

Ryuji tak membukanya, ia kembali fokus pada jalan di hadapannya dan mulai menginjak pedal gas dalam-dalam.

°•.•°•.•°•.•°•.•°•.•° •.•°•.•°•.•°•.•°

To be continued.

Old Man is Mine [INDONESIA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang