Bagian 19 - Masa Lalu yang Hangat

6.9K 424 1
                                    

"Halo, selamat malam. Apa ini benar dengan kediaman Hana Naomi Sachie?" seorang perawat berbicara di ujung telepon.

Di ujung lainnya, Mama yang berbicara. "Ya, benar. Dengan siapa saya berbicara?"

"Perkenalkan saya perawat Susi dari Rumah Sakit Mentari. Sebelumnya saya sendiri berbicara dengan siapa?"

"Saya ibunya Hana."

"Ah, baik kalau begitu. Ini sedikit mengejutkan tapi saya ingin memberitahukan bahwa anak ibu, Hana, sedang berada di UGD kami. Sebelumnya dia datang dalam keadaan demam tinggi sehingga ia harus kami pantau dalam beberapa hari. Sekarang dia masih dalam perawatan. Saya menelpon juga ingin memastikan bahwa pria atas nama Ryuji Mori benar merupakan wali atas anak ibu," jelas perawat.

"Hana?!" Mama terkejut, "Apa perawat bilang anak saya yang bernama Hana berada di UGD dengan pria?!"

"Bukan bersama pria. Tapi pria tersebut mengatakan bahwa ia adalah wali Hana, dan membawa anak ibu ke sini."

Bam!

Mama memukul meja dengan keras, membuat Ira yang sedang berada di kamar atas langsung turun ke bawah.

"Tidak, anak saya kabur dari rumah sejak senin dan belum memberi kabar sampai sekarang. Pria itu jelas sekali bukan wali anak saya, bahkan saya sama sekali tidak mengenal pria tersebut."

Perawat bernapas lega karena dugaannya benar. "Saya bersyukur karena sudah menelepon ibu untuk memastikan, saya hanya tidak mau anak ibu berada di tangan orang yang salah maka dari itu saya menelepon untuk memastikan."

"Sekarang saya akan memberitahukan pihak keamanan, dan saya meminta kehadiran ibu secepatnya ke rumah sakit kami."

Ekspresi Mama terlihat sangat marah. "Ya, tentu saja. Saya akan segera datang ke sana. Jadi tolong jangan biarkan pria itu mendekati anak saya!"

"Baik, ibu. Keselamatan pasien adalah hal yang utama bagi kami. Kalau begitu saya permisi, terima kasih."

"Terima kasih banyak," dan Mama menutup teleponnya.

Ira mendekat, "Mama? Itu telepon dari mana?"

"Telepon Ayah sekarang! Hana berulah lagi!"

"Maksud mama?"

"Coba kamu bayangin, tadi perawat dari Rumah Sakit Mentari telepon dan bilang kalau Hana ada di UGD dan diantar sama pria yang mengaku sebagai walinya! Apa ga malu Mama?!"

Ira terkejut, "Hana sakit, Ma?"

"Mama ga peduli dia sakit apa engga. Dia pasti drama lagi. Sekarang kamu telepon Ayah kamu dan kita langsung berangkat ke Rumah Sakit."

Ira mengangguk mengerti sementara di dalam hatinya ia merasa khawatir dengan kondisi adik satu-satunya itu.

*****

Hana kini berbincang dengan salah satu dokter spesialis kejiwaan yang khusus menemuinya. Dokter itu terlihat berusia muda, sekitar 25 tahun dengan paras yang cantik dan tubuh bagai model, membuat Hana sedikit meragukan kredibilitasnya.

"Eum... Dok," panggil Hana.

Dokter yang sedang menulis di buku laporannya langsung menyahut, "Ya, Hana, ada apa?"

Hana terlihat ragu, namun ia memberanikan dirinya, "Dokter ini beneran dokter kan?"

Dokter tertawa, ia kemudian melipat kakinya, "Kenapa? Saya lebih mirip model daripada dokter ya?"

"Hehe... iya," Hana menjawab polos.

"Bukan kamu saja kok. Banyak orang yang berkata seperti itu. Dulu, saya rencananya jadi model, makanya saya melakukan perawatan ekstra dan olahraga rutin. Tapi semenjak kematian adik saya, akhirnya saya memilih menjadi dokter."

"Ah, maaf dok. Saya ga bermaksud untuk mengingatkan pada masa lalu."

Dokter tersenyum, "Tidak apa-apa. Masa lalu ya masa lalu."

Ia kemudian menatap Hana, merasa tertarik dengan gadis tersebut, "Kamu tau kenapa saya jadi dokter?"

"Maaf sebelumnya. Tapi yang saya pikirkan karena dokter tidak punya uang saat itu sehingga adik dokter akhirnya tidak bisa pergi ke rumah sakit untuk di selamatkan. Dia meninggal, akhirnya dokter memilih untuk menjalani profesi ini dan menyelamatkan nyawa orang lain atas dasar penyesalan."

Dokter itu tersenyum ramah mendengar pendapat Hana.

"Lagi, kamu orang yang kesekian mengatakan hal itu. Tapi itu salah."

"Lalu?" tanya Hana.

"Rean adalah nama adik saya. Dia berusia dua belas tahun saat itu, setiap hari dia selalu menghampiri saya yang baru pulang sekolah hanya untuk mengatakan, 'Kak, aku mau jadi dokter yang hebat!'"

"Lalu saya menjawab, 'Kalau kakak mau jadi model, nanti kalau kakak sakit karena kelelahan bekerja, kamu yang obati kakak ya!' Dia hanya tersenyum lebar dan mengangguk."

"Keluarga saya bukan keluarga yang kekurangan, kami keluarga yang lebih dari cukup. Namun, di suatu minggu yang cerah, kami pergi untuk berpiknik, dan di hari itu pula adik saya merasakan piknik terakhirnya."

Hana terdiam, tak berani memberi komentar apapun.

"Dia seperti kamu, seseorang yang memiliki sorot mata pemberani. Dia meninggal karena menolong orang lain."

Hana menyentuh tangan dokter, "Dok, saya benar-benar minta maaf karena sudah membuat dokter harus bercerita tentang kesedihan di masa lalu."

Dokter itu menggeleng, "Saya hanya ingin bercerita, itupun jika kamu berkenan."

Hana langsung mengangguk antusias, "Tentu, saya akan mendengarkannya dengan senang hati."

Sebuah jawaban yang membuat Dokter tertawa kecil dan melanjutkan ceritanya.

"Rean pergi dari tempat piknik untuk berkeliling, saat itu ia melihat seorang anak usia tiga tahun berada di pinggir danau. Anak itu kemudian tergelincir dan tenggelam. Rean ingin meminta tolong, tapi tidak ada siapapun di sana. Dia akhirnya memilih menolongnya sendiri walaupun dia tidak mahir dalam berenang."

"Saat kami mengetahui keberadaannya, semua terlambat. Rean tenggelam sedangkan anak itu selamat. Kami masih sempat membawanya ke rumah sakit dan menyelamatkannya. Tapi karena kekurangan oksigen cukup lama, itu merusak fungsi otaknya. Rean akhirnya jatuh koma."

"Satu tahun lamanya, dia akhirnya tersadar hanya untuk mengatakan bahwa dia mencintai kedua orang tuanya dan berpesan padaku."

"'Kalau kakak menjadi model pasti akan terlihat sangat cantik, memakai baju bagus dan berpose di depan kamera. Tapi aku pikir, sebuah jas putih dengan aksesoris stetoskop akan membuat kakak terlihat jauh bersinar. Kakak bukan hanya terlihat cantik, tapi kakak adalah sebuah gambaran malaikat,' kata Rean waktu itu."

"Ia kemudian menambahkan, 'Membangun keberanian orang lain merupakan sesuatu yang berharga. Mereka butuh kakak yang selalu bisa mendengarkan apa impian mereka, seperti kakak mendengarkan impian aku. Ketika kakak membuat mereka tersenyum, maka aku juga tersenyum.' Dan itu adalah kata-kata terakhir sebelum Rean menghembuskan napas terakhirnya karena gagal jantung yang ia alami kemudian."

"Jadi dokter mengikuti kata Rean? Menjadi seorang dokter spesialis kejiwaan? Membantu mereka mendapatkan keberanian dan kebahagiaan mereka kembali?" tanya Hana.

"Ya, Hana. Saya menaruh ketertarikan pada kamu karena hari ini saya seperti melihat Rean kembali berbicara pada saya melalui sorot mata itu."

Hana tersenyum, ia merasa tersanjung menjadi sebuah representasi masa lalu yang hangat. "Jika begitu, maka saya merasa sangat beruntung."

°•.•°•.•°•.•°•.•°•.•° •.•°•.•°•.•°•.•°

To be continued.

Old Man is Mine [INDONESIA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang