Kirana menempatkan kedua jempolnya di atas layar ponsel, siap mengetikan nomor yang ia dapatkan dari kertas tertempel di dinding Hana. Namun ia urungkan, ia menaruh ponselnya dan termenung.
Ia mengingat bagaimana pada hari hujan berpetir, saat ia dan Hana hanya berdua saja dirumah. Tiba-tiba wajah Hana berubah ekspresi. Kilatan petir yang menakutkan bahkan tidak membuat seorang Hana berkedip. Saat itu, Kirana tau, Hana yang duduk di depannya bukanlah adiknya, melainkan orang lain yang sedang berbicara padanya.
"Dalam keluarga, kamu itu ada di urutan terakhir dalam urutan yang paling aku benci," Kirana diam mendengarkan.
"Aku paling benci sama Mama karena dia selalu mencari kesalahan yang nggak pernah aku buat. Aku benci Ayah karena dia selalu mengatakan bahwa aku salah meskipun dia tidak pernah bertanya kebenarannya," dalam hati Kirana turut setuju atas pernyataannya.
"Tapi aku paling benci tindakan mereka yang suka memukul aku. Asal kamu tau Kirana, aku memendam emosi selama enam belas tahun. Ga pernah sekalipun aku menerima perbuatan mereka dengan ikhlas. Aku diam karena aku ga mau terpancing. Semua masih baik-baik saja jika aku melawan dengan perkataan. Tapi kalau aku melawan dengan kekerasan juga, aku gatau bisa menahan semua emosi atau engga."
Kirana berputar pada kilasan masa lalu. Tepat di depan matanya, saat ia baru saja diterima di perusahaan ternama, Mama menampar Hana. Ia terkejut, bahkan menjatuhkan tas jinjing berisi dokumen kantor yang ia bawa.
Masalahnya sepele, karena Hana ingin melanjutkan ke SMP yang jauh dari rumah. Menurut Mama itu membuang uang, karena SMP dekat rumah saja sudah sangat bagus. Namun, Hana bersikeras, ia mengatakan SMP pilihannya jauh lebih bagus dan lebih baik.
Hana tidak akan mempermasalah mengenai uang jajannya yang tetap sama. Ia mengatakan hal ini karena Mama hanya perlu tau. Tapi hari itu, yang aku lihat untuk pertama kalinya, Hana terdiam menerima tamparan keras. Aku yakin itu sangat menyakitkan karena bekas tamparan itu tercipta jelas.
Kirana lalu kembali mengingat perkataan lanjutan di hari hujan berpetir itu.
"Dan kamu, kamu itu berada di urutan terakhir, Kirana. Simpel, karena kamu ga pernah mukul aku. Aku benci kamu yang melimpahkan semua ekspektasi Ayah dan Mama ke aku. Kamu memang mendapatkan semua yang mereka inginkan, tapi sebenarnya kamu sedang melarikan diri."
"Kamu memilih PTN terbaik sejauh yang kamu bisa. Kuliah secepat yang kamu bisa. Bahkan kamu memilih tempat kerja yang membuat kamu akan sangat amat jarang berada di rumah. Semua karena kamu ingin melarikan diri."
Kirana menghela napasnya, ia lagi-lagi membenarkan ucapan Hana.
"Suatu hari..." Kirana mendang lekat manik mata yang melihatnya secara tajam, jika itu pisau mungkin sekarang ia sudah berdarah-darah.
"Suatu hari akan datang dimana aku akan menyerah atas semuanya. Aku nggak akan kembali. Meskipun semua memohon dengan air mata darah, aku nggak akan pernah mau kembali. Ketika mereka membuat keputusan atas diriku, maka disitulah permainan berakhir. Aku akan berubah menjadi diriku sendiri, dan aku tidak akan peduli."
Kilat besar petir menyambar, terang kilat itu menerpa wajah Hana. Kirana dapat melihat sorot wajah tanpa emosi tersebut. Meskipun mata Hana memandangnya tajam, ia sama sekali tidak melihat sebuah kehidupan disana. Warna cokelat hazel tersebut terlihat hampa, membawa ia memasuki ruang kosong gelap gulita.
Darrr!!!
Suara petir terdengar, Kirana meringis mendengarnya. Namun Hana hanya diam, ia bahkan seakan menikmati suara besar itu.
"Jika aku tidak kembali. Maka saat itu kamu harus menerima kenyataan, Kirana. Bahwa kamu juga bagian dari keluarga ini. Kamu adalah anak dari Ayah dan Mama, dan kamu adalah seorang kakak. Tapi kamu harus lebih ingat mengenai kamu juga memiliki hak dan dapat memutuskan sesuatu."
Ingatan itu berakhir. Kirana menarik napas dalam dan meyakinkan dirinya. Ia mengambil ponselnya dan memanggil nomor seseorang.
*****
Leon memasukan buku-buku pelajaran ke dalam tasnya. Tak lupa laptop dan beberapa gadget lainnya. Ia sudah rapi dan akan pergi sekarang juga ke sekolah.
Ring. Ring. Ring.
Ponsel yang belum ia redam suaranya berbunyi. Nomor asing tertera pada layarnya, ia berpikir bahwa itu adalah Hana maka dengan cepat ia mengangkatnya.
"Hana...! Lo mau gue jemput dimana seka--"
"Ahh... pagi, Leon. Sepertinya ini benar nomor kamu," Kirana memotong ucapannya, "Aku Kirana, kakak Hana."
Leon menjauhkan ponselnya untuk melihat nomor yang tertera dan kembali mendekatkan ponselnya ke telinga.
"Iya, kak. Aku Leon. Ada apa pagi-pagi menelpon?"
"Kamu sekolah kan hari ini? Pulang jam berapa? Apa kamu ada waktu?" tanya Kirana.
Leon melihat jadwal yang tertulis di papan tulis kecil miliknya di kamar, "Aku pulang jam tiga sore hari ini, aku punya waktu setelah itu."
"Baiklah. Sebenarnya aku ingin membicarakan mengenai Hana."
Leon langsung menaruh tasnya ke atas meja, "Hari ini aku libur!" ucapnya cepat sembari membuka tas dan mengeluarkan buku-buku sekolahnya.
"A-apa?" tanya Kirana heran.
"Aku baru ingat hari ini ada lomba cerdas cermat, tapi lomba tersebut diundur. Jadi hari ini aku libur, dan aku bisa menemui kakak sekarang," Leon berbohong.
Pada kenyataannya lomba cerdas cermat memang diundur, tapi ia sama sekali bukan peserta. Ia hanya menjadikannya sebagai alasan saja.
"Kalau gitu--" Kirana melihat jam tangannya yang menunjukan pukul enam lewat tiga puluh pagi, "--kita ketemu jam sembilan, di kafe yang baru buka di persimpangan jalan ke tiga arah ke sekolah kamu dan Hana. Bagaimana?"
Diujung telepon, Leon mengangguk, "Oke, aku tau tempatnya. Jam sembilan aku akan udah ada sana."
Kirana mengerti, ia lalu mengakhiri panggilan tersebut. Leon kemudian membuka seragamnya dan menggantinya dengan pakaian biasa.
Cekrek.
Ia membuka pintu dan berjalan menuju tangga, "MOM! DAD! HARI INI LEON BOLOS SEKOLAH!!!" teriaknya dan kembali masuk ke kamar.
"OKE, SAYANG!" balas Mommy yang sedang mempersiapkan suaminya yang akan berangkat kerja. Namun sedetik kemudian Mommy dan Daddy saling berpandangan dan langsung menuju tangga.
"DITA, KAMU UDAH GILA?!" Mommy berteriak di dampingi suami tercinta di sebelahnya.
Cekrek.
Leon kembali ke luar, "Mommy sama Daddy pilih aku bolos tapi bilang atau aku bolos tapi diam-diam?"
"Fine, pilihan pertama," kata Daddy.
"Kamu gimana sih," Mommy memukul suaminya.
Daddy merangkul istrinya, "Mom, baru kali ini kan Dita bolos? Pasti dia punya alasan, biarkan saja. Lebih baik dia bilang ke kita kan daripada tau-tau pas penerimaan raport kita lihat jumlah alfanya sudah lebih dari tiga puluh."
Mommy melihat ragu ke arah Leon, "Yaudah, Mommy dan Daddy izinin kamu tapi cuma hari ini aja. Besok-besok ga ada bolos!"
"Oke!" dan Leon langsung memasuki kamarnya.
"Ahh... bener-bener aku ga ngerti lagi sama Dita," kesah Mommy.
"Ya mungkin karena dia lagi usia pubertas. Biarkan saja, selama kita masih membimbing, dia akan baik-baik saja," jelas Daddy memberikan pengertian.
°•.•°•.•°•.•°•.•°•.•° •.•°•.•°•.•°•.•°
To be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Old Man is Mine [INDONESIA]
RomanceJudul: Old Man is Mine - Buku 1 [INDONESIA] Seri: Old Man is Mine Bahasa: Indonesia Rekomendasi Usia: 18 tahun ke atas °•.•°•.•°•.•°•.•°•.•° •.•°•.•°•.•°•.•° Hana Naomi Sachie adalah seorang gadis berusia 16 tahun yang hidup di tengah keluarga yang...