Bab 2 - Hara Dhana

1.1K 104 3
                                    

"Pagi, Hara," sapa Oscar Dhana pada anak laki-laki tertuanya yang sedang menuruni tangga.

"Pagi, Pa," balas Hara yang sudah siap dengan seragam sekolah dan ransel kesayangannya. Hara segera mengambil tempat duduk di ruang makan di sebelah Oscar.

"Aksa masih tidur?" tanya Oscar sembari menuang susu segar ke gelas kosong di depan Hara.

"Thank you. Masih. Aksa masih tidur." Hara mengambil selembar roti panggang yang masih hangat dari atas piring lebar di tengah meja dan mengoles potongan mentega di atasnya.

Oscar mengamati apa yang Hara lakukan selama beberapa saat, sebelum akhirnya bertanya, "You don't want any waffles?"

"Nope. Thanks." Hara urung menggigit tepian roti panggangnya, sadar ayahnya masih belum melepaskan pandangan. "Everything's okay?"

Oscar mengangkat bahu. "It's just... You have been eating it every morning for months. Plain toast with unsalted butter. Nggak mau nyoba sarapan yang lain?"

Hara mengangkat bahu. "I'm fine with this."

"Kalau Aksa, pasti udah bosen. Sekarang aja dia udah bosen sama makanannya sehari-hari."

Hara menghela napas. Bicara soal saudara kembarnya itu, awan hitam selalu menyelimuti atas kepala mereka. "Pa, he has so many food restrictions. He can't eat gluten, has peanut allergies. All of his foods should be organic and no MSG. Kalau Hara jadi dia, Hara juga pasti bosen."

Oscar tersenyum simpul. Ia paham benar apa maksud Hara. "Yang sabar ya. Aksa memang perlu perhatian khusus. Kemarin dia nggak mau makan. Papa sama Mama khawatir bukan main. Takut kesehatannya semakin menurun. Papa bahkan udah janjiin kalau membaik, Aksa boleh kembali sekolah. Dengan persetujuan dokter, tentunya."

Roti di tangan Hara sampai terjatuh mendengar apa yang baru saja diucapkan ayahnya. "Seriously?"

"Sure. If that's all it takes to make him smile again. Kamu ada masalah dengan itu?"

"No, no, no." Hara menggeleng cepat. Wajahnya berubah dua kali lebih cerah. "Hara seneng banget kalau Aksa bisa sekolah lagi. Just like when we were in elementary school! It will be fun!"

"Elementary school, huh?" Senyum di bibir Oscar perlahan memudar. Pandangannya menerawang jauh. "How long has it been? Since he can't go to school."

"Pa," Hara menyentuh lengan Oscar, berusaha mengembalikan perhatiannya. "Aksa itu kuat. Dia pasti bisa. Kita harus percaya sama dia."

Dua kali Oscar menepuk kepala Hara. Sepasang matanya menyiratkan sebuah kebanggaan. "I'm a proud father. I have the best sons in the world."

Setelah Oscar meninggalkan Hara untuk berangkat kerja, Hara lanjut mengambil satu lembar roti panggang lagi. Perutnya masih lapar. Pagi ini ia perlu makan yang banyak, banyak kegiatan.

Belum sempat ia mengoles mentega, satu suara baru bergabung dari arah tangga. Kali ini tidak sehangat suara ayahnya.

"Kamu bilang apa tadi sama Papa?" Erica, ibu Hara, bertanya. Berbeda dengan Oscar, tidak ada keteduhan di wajah wanita itu saat menatap anak sulungnya.

"Apa?" tanya Hara balik, malas kalau ibunya sudah menatapnya penuh prasangka seperti itu. Apa pun yang keluar dari mulut Hara, pasti salah.

"Kamu bilang mau bawa Aksa balik ke sekolah kan?"

Hara tak menjawab. Ia menurunkan roti panggang itu kembali ke atas piring, enggan menoleh. Tahu tak bisa menyembunyikan wajah jengkelnya, Hara memutuskan hanya menatap kosong ke arah dinding. Sayangnya sekarang ibunya menaruh badan untuk menghalangi tatapan Hara.

"Ini pasti gara-gara kamu. Kondisi Aksa semakin turun. Sekarang dia nggak mau makan. Kamu ajak dia ke mana minggu lalu sampai dia kecapekan gitu?"

Oke, cukup. Hara rasa sekarang saatnya dia membela diri. "Pertama, PAPA yang nawarin Aksa untuk kembali ke sekolah kalau kondisinya udah baikan. Kedua, Hara cuma ngajak Aksa ziarah ke makam nenek dan kakek. Salah?" Hara tak bisa mengontrol nada suaranya.

"Kamu jangan coba-coba ngajak Aksa ini-itu tanpa persetujuan Mama!"

Hara sengaja berdiam diri, memberi jeda setelah teriakan ibunya dengan harapan ibunya bisa sadar sendiri betapa konyolnya semua yang ia tuduhkan. Ternyata Hara salah. Ibunya masih terus menyerang Hara.

"Kelihatannya kamu memang pengen saudaramu cepat meninggal ya?"

Hara meledak. Belum pernah ia merasa seemosi ini. Biasanya ia akan memilih untuk diam atau pergi, tapi kali ini ibunya menerobos batas kesabaran Hara. Apa wanita itu lupa? Hara dan Aksa bukan sekedar saudara kandung. Mereka kembar. Kesedihan Aksa adalah kesedihan Hara juga. Begitu pula dengan kebahagiaannya.

Hara berdiri tanpa peringatan, tak sengaja kursinya terdorong jatuh dengan bunyi debam yang keras. "Mama sadar nggak sih apa yang membuat kondisi Aksa memburuk?"

Tanpa menunggu ibunya menyahut, Hara lanjut bicara.

"Mama! Mama sendiri yang menyiksa Aksa! Ini nggak boleh, itu nggak boleh! Dia nggak bahagia dikurung setiap hari! Aksa itu anakmu, bukan tawanan rumah!"

Dengan tangan gemetar menahan emosi, Erica menunjuk wajah anak sulungnya. "Kamu—"

"Hara."

Baik Erica maupun Hara menoleh mendengar suara lemah itu memanggil nama Hara. Aksa, yang menjadi topik pertengkaran mereka dari tadi, entah sejak kapan sudah bergabung di ruang makan itu, masih mengenakan baju tidurnya: kaos abu dan celana jogger hitam.

Aksa memiliki wajah dan perawakan yang mirip Hara, tapi lebih pucat, lebih kurus, matanya lebih sayu dan area bawah mata itu berwarna sangat gelap. Ayah dan ibunya benar, kondisi Aksa memburuk.

"Aksa!" Erica bergegas menghampiri Aksa dengan wajah penuh rasa bersalah. Sikap Erica berubah seratus delapan puluh derajat terhadap Aksa. Mendadak manis, lembut dan penuh perhatian. Sesuatu yang hampir tidak pernah Hara dapatkan dari wanita itu. "Kita berisik ya? Maaf ya, Nak."

Mengabaikan ucapan ibunya, Aksa mengedik ke arah Hara. "Cepet berangkat, nanti telat."

"Oke."

Sebenarnya ia masih punya tenaga untuk adu mulut dengan ibunya, tapi Aksa benar. Ia memang harus berangkat sekarang. Sebagai Ketua OSIS SMA Litarda, Hara harus memimpin rapat final persiapan penyambutan murid baru. Belum lagi band-nya perlu latihan sebelum tampil terlebih dahulu. Maka, Hara pun menyambar tali ranselnya, melangkahi kursi yang masih terkapar di atas lantai dan meninggalkan ruang makan tanpa pamit pada siapa-siapa.

* * *

Bekal RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang