Bab 41 - Egrang

518 90 7
                                    


[Oke, Pak. Tunggu ya.]

Risa mengetik secepat kilat ketika muncul notifikasi dari Pak Husni yang memberitahu kalau dia sudah menunggu di parkiran. Ia melipat satu kardus yang tadinya hendak digunakan untuk kado-kado 'berguna'. Tapi karena Risa menyimpulkan kado berguna hanyalah pemberian Saskia, kardus itu kosong.

Sebaliknya, kardus untuk barang-barang 'tidak berguna' jadi penuh sesak. Risa menghela napas sambil menekan sekali lagi kepala boneka monyet yang menyebabkan kardus itu menggembung, kemudian menyegelnya dengan susah payah menggunakan lakban coklat. Ia tak tahu benda-benda itu mau diapakan oleh Hara, jadi ia membiarkannya begitu saja di kaki meja kerja Hara.

"Neng, agak cepet ya." Pak Husni mengingatkan.

"I ... iya, Pak! Maaf ya!"

Tanpa basa-basi, Risa menyambar tali tasnya dan berlari meninggalkan ruangan. Ia sampai lupa pamit pada Hara.

***

Risa selalu takut pada Pak Husni. Awalnya Risa kira cuma dia yang berlebihan. Pada dasarnya Risa kan memang pengecut. Sama badut saja lari. Tapi ternyata Chef Dede dan Bi Atun juga merasakan ketakutan yang sama.

Kalau ditanya apa yang membuat Risa takut, Risa juga bingung harus mulai dari mana. Dari mata elangnya? Dari intuisinya yang setajam pisau? Atau dari kekuatannya yang bisa membelah semangka dengan tangan kosong?

Ah, mungkin karena di hari pertama Risa bekerja, Pak Husni sempat menginterogasi Risa sampai ke latar belakang keluarganya. Untuk aspek keamanan dan keamanan, begitu katanya.

"Ibu kamu kerja apa?"

"Dulu ayah kamu kerja apa?"

"Kamu hafal Pancasila?"

"Kamu pernah direkrut oleh aliran sesat?"

"Apa keluargamu ada yang terindikasi tindak terorisme?"

Pertanyaan-pertanyaan Pak Husni waktu itu membuat Risa menganga. Dia bingung, apakah dia akan bekerja untuk keluarga Dhana atau keluarga Presiden?

"Dulu Hara sempat hampir diculik. Jadi tugas saya juga untuk memastikan tidak ada pengkhianat yang bekerja di keluarga ini."

Tetap saja Risa tak paham dengan sikapnya yang sok intelijen.

"Ma-maaf, Pak Husni! Saya terlam ..." Ujung kalimat Risa menguap ketika menyaksikan siapa yang duduk di bangku belakang mobil itu.

"Halo, Risa," sapa Erica Dhana, nyonya keluarga Dhana, tanpa menanggalkan kacamata hitamnya.

"Tan ... Tante?" Kedua mata Risa hampir copot, kalau saja Pak Husni tidak segera membukakan pintu untuk Risa duduk di samping sang nyonya rumah.

Erica Dhana, seperti biasa, terlihat cantik dan anggun. Rambutnya yang biasa digulung kini tergerai indah sedikit melampaui bahu. Kedua telinganya memakai anting-anting tali panjang berwarna kuning. Blus lengan panjang berwarna krem dengan pita coklat tembaganya mungkin berukuran hanya satu nomor di atas ukuran Risa. Rok spannya berwarna hitam, senada dengan sepatu tumit tinggi yang ia kenakan.

Hampir saja Risa mengutuk Hara, berpikir bisa-bisanya cowok itu membuatnya grogi setengah mati satu mobil dengan ibunya. Kemudian Risa ingat kalau hubungan Hara dan ibunya tidak begitu baik. Jadi, kenapa wanita itu ikut menjemput Risa di sekolah?

"Gimana sekolahnya?" Erica membuka percakapan.

Fokus Risa yang sempat teralihkan oleh wangi parfum Erica yang lembut dan feminim langsung tersentak. "Ba ... baik, Tante ..."

Bekal RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang