"Seneng kamu lihat Aksa kayak gini?"
Pertanyaan ibunya di luar kedai kopi kemarin benar-benar mengejutkan Hara. Dari mana datangnya pemikiran wanita itu kalau ia berbahagia di atas kondisi Aksa? Apa ibunya lupa kalau ia juga melahirkan Hara dari rahim yang sama beberapa menit sebelum Aksa?
Sering. Erica sering lupa soal hal itu. Bagi Erica, Aksa adalah anak keluarga Dhana satu-satunya. Hara? Orang asing yang kebetulan berwajah mirip Aksa dan tinggal serumah dengan mereka.
"Kamu tahu kan Aksa sayang banget sama kamu? Kalau dia tahu kamu bertanding dan manggung, dia pasti cari cara untuk kabur dari rumah untuk menonton kamu. Makanya Mama bilang berkali-kali, jangan kasih tahu jadwalmu. Jangan juga ijinin dia untuk nonton. Biar apa sih kamu nyuruh dia nonton? Mau sombong ke dia kalau kondisimu sehat? Mau bikin Aksa minder?"
Hara berdiri menelan semua ucapan ibunya walau kata-kata wanita itu bagai mata pisau yang menghujam ulu hatinya bertubi-tubi. Tidak apa. Hara masih kuat menahannya. Ia hanya perlu bernapas lebih banyak.
Sambil menontoni punggung Erica yang semakin menjauh, pikiran itu menguasai Hara. Kapan? Kapan Hara bisa mendapatkan ibunya yang dulu? Yang memeluk mereka berdua dalam satu raupan. Yang menyertakan Hara dalam pujiannya.
Sampai sekarang Hara bingung kesalahan fatal apa yang ia lakukan sampai Erica membencinya setengah mati? Ia berharap wanita itu bisa menyebutkannya agar Hara bisa berbenah. Tapi Erica selalu menghindari topik itu.
"Gue nggak apa-apa," ujar Hara saat merasa seseorang mendekapnya dari belakang dengan erat.
"Jangan bohong, Kak. Aku tahu Kak Hara lagi sedih." Anak itu keras kepala. Jadi, Hara membiarkan Risa memeluknya cukup lama hingga perlahan beban perasaannya bertambah ringan.
Bahkan Risa saja bisa melihat rasa sakit yang Hara pendam. Masa ibunya tidak?
* * *
"Lho, nggak sekolah?"
Aksa kaget melihat Hara masuk ke kamar rawatnya memakai celana jins dan baju kaos. Dia sendiri masih memakai pakaian tidur, duduk berselonjor di atas tempat tidur ditemani ponselnya.
Hara melemparkan sebuah senyum samar. "Lo aja masih begini keadaannya. Mana bisa gue sekolah." Ia melangkah mendekati tempat tidur Aksa dan menyodorkan sebuah kotak bekal terbungkus kain motif kotak-kotak merah-putih. "Dari Risa."
"Asyik!" Aksa merampas kotak itu dari tangan Hara. Buru-buru ia membuka bungkus dan tutupnya. Wajah Aksa mereka melihat isi kotak bekal yang Risa siapkan pagi itu. Kali ini berbentuk karakter Rilakkuma. "Lucu ya?" Aksa memamerkan bekal buatan Risa.
"Iya, lucu." Hara mengiyakan sambil lalu. Kalau Aksa tahu Risa membuatkan bekal yang sama untuk Hara, Aksa pasti ngambek. "Makan yang bener trus minum obat."
"Tsk! Kenapa sih semua orang lebay amat? Gue udah bilang gue nggak apa-apa—"
"Lo pingsan! Di mall! Si Risa sampe nangis kejer! Masih bilang nggak apa-apa?" Hara tidak tahan lagi melihat tingkah masa bodoh Aksa padahal dia sudah membuat semua orang panik kemarin.
Kepala Aksa langsung layu dihantam emosi Hara. Sambil memainkan jari-jari kakinya, Aksa bergumam minta maaf. "Maaf ya..."
Hara menghela napas kemudian menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Lagi-lagi ia salah. Tidak seharusnya Hara membentak Aksa. Hal itu hanya akan membuat semuanya semakin buruk.
Hara menarik kursi dan menghempaskan pantatnya di atas kursi itu, masih menunduk menatap lantai ditawan kegundahan. Ia tak sadar kembarannya sedang memperhatikannya dari atas tempat tidur.
"Mama bilang apa ke lo?"
Aksa langsung menebak. Nampaknya ia sudah hafal benar polanya. Tiap kali sesuatu terjadi padanya, ibu mereka pasti cepat-cepat mencari pelampiasan. Bagi wanita itu, keadaan terlalu absurd untuk ia salahkan. Ia tidak berani meneriaki Tuhan. Hanya Hara yang dengan sukarela menjadi kambing hitam.
Hara menggeleng. Ia menolak menjawab. Percuma, pikirnya. Aksa tidak akan paham apa yang ia rasakan, bahkan karena mereka kembar sekali pun.
"Jangan dengerin apa kata Mama. Dia memang sering asal bicara."
Dengus sinis keluar dari hidung Hara. Benar kan? Aksa tidak paham betapa peliknya situasi yang Hara hadapi.
"Berhenti ngebiasain Mama nyalahin semuanya pada lo. Lo anaknya, bukan samsak," ucap Aksa lagi. Kali ini suara Aksa bertambah sedikit berat. Tandanya ia sedang serius mempedulikan Hara.
Namun, saat Hara menunggu lanjutan kalimat Aksa, cowok itu malah sibuk memilih bagian mana dari bekal itu yang harus ia makan lebih dulu. Setelah ujung sumpitnya berputar beberapa kali di atas makanannya, akhirnya ia memilih untuk memakan potongan ikan gindara panggang.
"Henyaaak!" seru Aksa sedikit dramatis. Matanya menutup, senyumnya mengembang. Ia nampak benar-benar menikmati apa yang ia makan. "Risa ke sekolah naik apa tadi?" tanya Aksa dengan mulut masih penuh makanan.
"Gue anter. Abis nge-drop dia di sekolah, gue langsung ke sini."
"PR Fisikanya gimana?"
Hara cukup takjub. Aksa masih ingat kalau Risa punya PR Fisika yang hampir terabaikan.
"Terpaksa gue yang kerjain. Kemarin dia langsung tidur pas masuk mobil. Gue jadi nggak tega nyuruh dia bikin PR."
"Baguslah."
Aksa lanjut menghabiskan semua makanan di dalam kotak bekal Risa. Mulutnya tanpa henti mengunyah, sesekali disertai senyuman. Dari kursinya Hara mengamati Aksa dalam diam. Belum pernah ia melihat Aksa makan selahap ini. Apalagi dalam kondisi tubuh yang kurang sehat. Dulu, tiap diopname, Aksa selalu bertempur dengan perawat karena menolak makan.
"Hara," panggil Aksa setelah semua makanan habis dan ia menutup kotak bekal Risa rapat-rapat.
"Hmm," Hara menyahut dengan gumaman.
"Gue serius pas gue bilang baik-baik aja. Kemarin gue cuma capek doang, tapi overall gue ngerasa lebih sehat dari hari-hari sebelumnya. Dan lo tahu apa yang aneh?"
Hara menggeleng dengan mata tetap memindai Aksa, mencoba menebak isi pikirannya.
"Untuk pertama kalinya gue ingin hidup."
Kalimat itu membuat Hara merinding sekujur tubuh. Jadi, selama ini Aksa serius soal bosan hidup?
"Biasanya kalau gue lagi pingsan, gue malas membuka mata. Toh gue hidup hanya untuk mengulur waktu yang nggak seberapa. Menghadapi dunia yang itu-itu saja."
Aksa melipat kakinya ke posisi bersila, masih memangku kotak bekal Risa. Ia lanjut bertutur, "Kali ini beda, Hara. Gue bener-bener nggak sabar untuk bangun dan memulai hari lagi. Se-excited itu sampai gue bisa denger detak jantung gue yang berisik banget. Lalu gue sadar, ini semua karena satu orang."
Tangan Aksa mengangkat kotak bekal Risa sambil menyebut nama pemiliknya. "Risa."
Hara langsung tertegun mendengar Aksa menyebut nama Risa.
"Semuanya karena Risa. Gue nggak sabar apa isi kotak bekalnya besok. Gue nggak sabar mendengar cerita apa lagi yang ia punya tentang kehidupannya. Gue nggak sabar tertawa lagi bersamanya."
Aksa menengadah menatap langit-langit kamar. Senyumnya semakin lebar. Kemudian ia mengembalikan tatapannya ke Hara.
"Risa...buat gue ya?" Permintaan Aksa terdengar sungguh-sungguh.
Ada yang melumpuhkan otak Hara sejenak. Menjawab iya kelihatan sangat mudah untuk dilakukan. Apalagi Hara sudah terbiasa mengalah pada adiknya sejak mereka kecil, seperti yang ibu mereka ajarkan pada Hara.
Namun bibir Hara melawan, mengatup erat, seakan ada magnet yang menguncinya rapat-rapat. Selama beberapa detik Hara mematung beradu pandang dengan Aksa.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/198782895-288-k206858.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bekal Risa
Roman pour Adolescents[TAMAT] Di saat Hara mulai menyadari perasaannya gara-gara sekotak bekal buatan Risa, adik kembarnya--Aksa--muncul menyatakan perasaan pada gadis itu. Hara tertekan. Ia teringat apa kata ibu mereka kalau ia harus mengalah pada adiknya. Hal itu menye...