Ada persamaan mendasar antara ibu-anak Erica dan Hara Dhana: tidak ada yang bisa mengerti isi pikiran mereka berdua!
Setelah mempermak Risa di salon lengkap dengan pakaian dan sepatu mahal (yang Risa masih tak yakin apakah dia boleh memiliki semua ini), wanita itu tidak memberi penjelasan apa-apa ke mana mereka akan membawa Risa. Sampai mobil berbelok masuk ke sebuah hotel mewah di bilangan Senayan. Sepanjang perjalanan Risa mengurutkan segala kemungkinan yang bisa terjadi padanya. Yang berada pada daftar paling bawah adalah ...
Erica Dhana berniat menjual Risa ke om-om hidung belang.
Ini yang terburuk sekaligus yang paling tidak masuk akal. Pertama, Risa merasa Erica tidak mungkin sejahat itu. Kedua, buat apa? Wanita itu tidak kekurangan uang!
"Kamu beruntung, Risa. Biasanya makan malam istimewa, seperti ulang tahun Aksa dan Hara atau ulang tahun pernikahan Tante dan Om, kami tidak ingin ada orang lain yang ikut."
Risa langsung bernapas lega. Ternyata Erica tidak sedang berencana menawarkan Risa ke om-om hidung belang.
Oh, jadi karena ini Erica mempermak Risa habis-habisan? Makan malam keluarga Dhana untuk memperingati hari ulang tahun si kembar? Risa mencengkeram tepi roknya sendiri, terlampau gugup. Suara Erica barusan terdengar tajam. Apakah ini salah satu caranya memperingatkan Risa agar tidak berulah macam-macam? Kalau begitu, tidak mungkin Risa memenuhi harapan wanita itu. Minimal dia akan tersungkur konyol gara-gara tumit sepatunya ini.
"Selamat malam, Bu Erica. Silakan ikut saya." Seperti halnya di salon tadi, bahkan di restoran hotel ini pun si manager yang turun tangan langsung menyambut Erica. Jelas Erica punya status sosial yang tinggi di ibukota.
Risa berhasil menjaga keseimbangannya mengikuti Erica. Sebuah meja sudah ditata dengan rapi dan elegan, lebih besar daripada meja-meja lain di restoran itu. Di tengah-tengah meja, ada rangkaian bunga mawar bercampur peoni segar. Risa menghitung dalam hati jumlah kursi yang mengelilingi meja.
Risa duduk di seberang Erica, mengamati suasana restoran yang tenang. Hanya ada sayup-sayup musik klasik mengalun menemani beberapa orang pengunjung yang sedang bersantap. Tidak ramai. Bahkan kalau pun semua meja terisi, tidak akan terjadi hiruk pikuk seperti restoran-restoran yang ada di mall. Jarak antara meja cukup lapang. Para tamu restoran juga bicara dengan volume suara yang rendah.
Sekitar 10 menit Risa menemani Erica menunggu anggota keluarganya yang lain. Suasana begitu canggung dan dingin. Erica kelihatan bukan tipe seseorang yang suka bertegur sapa. Dia lebih memilih menatap layar ponselnya atau menelepon seseorang daripada bercakap-cakap dengan Risa. Risa jadi serba salah. Ia ingat ibunya berpesan untuk tidak bermain HP saat acara-acara penting. Tapi dia benar-benar mati gaya. Dari tadi dia coba menghitung berapa kali seorang pelayan berambut pendek itu bolak-balik mengantar makanan, tapi malah jadi pusing sendiri.
"Why are we doing this at someone else's restaurant? We have our own restaurant."
Suara itu menyentak Risa. Suara familiar yang ketus dan galak dengan pelafalan Bahasa Inggris yang sempurna terdengar begitu dekat di belakang kepala Risa. Hara Dhana, tentu saja, sedang memprotes ayahnya sendiri, Oscar Dhana. Duh, apa sih yang tidak diprotes oleh laki-laki itu? Masih syukur orang tuanya mau ingat hari lahirnya! Cibir Risa dalam hati.
Hara memakai baju kaos abu-abu polos dibalut blazer hitam santai dengan celana jins dan sepatu Onitsuka Tiger putih kesayangannya. Oh, Risa benci sepatu itu. Sedikit saja sepatu itu kena kotor bisa membuat Hara murka. Oscar memakai baju yang sama seperti yang ia kenakan tadi pagi meninggalkan rumah untuk kerja. Kemeja abu-abu muda dengan celana kain hitam. Nampaknya pria itu tidak sempat untuk mengganti pakaiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bekal Risa
Novela Juvenil[TAMAT] Di saat Hara mulai menyadari perasaannya gara-gara sekotak bekal buatan Risa, adik kembarnya--Aksa--muncul menyatakan perasaan pada gadis itu. Hara tertekan. Ia teringat apa kata ibu mereka kalau ia harus mengalah pada adiknya. Hal itu menye...