Bab 33 - Chant

508 88 5
                                    

Risa termenung bersandar pada jendela kelas, menatap hampa pada layar ponselnya. Sesekali ia menekan tombol refresh, berharap sesuatu terjadi pada portal bimbingannya.

Tidak ada.

Puluhan kali ia mencoba, tetap tidak ada yang berubah. Status jadwal bimbingannya masih saja TERTUNDA. Hara benar-benar tak mau melihat wajahnya lagi.

Kalau sudah begini, Risa hanya bisa menghela napas. Ia menelungkup di atas meja. Rasanya kehilangan separuh semangatnya untuk sekolah.

"Woy! Risa!" Secha mengetuk meja.

Dengan malas Risa mengangkat wajah kusutnya dan mengerjap memandang gadis itu. Semacam bertanya, 'Apaan sih?' tanpa suara.

"Dateng kan besok?"

"Dateng." Risa asal jawab.

"Good! Kumpul di sekolah jam 2 ya! Nanti kita ke Depok bareng-bareng!"

"Hah? Apaan?" Risa baru mencoba mencerna ajakan Secha.

Secha berdecak dengan mata berputar. "Si Adeline, lomba karaoke!"

Oh iya. Risa baru ingat. Secha dari kemarin meneror seisi kelas untuk mendukung Adeline lomba karaoke dalam rangka acara Japan Matsuri atau festival budaya Jepang yang digelar oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Adeline sendiri sibuk di depan kelas mempraktikkan lagu Koisuru Fortune Cookies milik AKB48 lengkap dengan koreografinya. Anak laki-laki kelas X-Delta sibuk bertingkah seperti fans Adeline, gila-gilaan meneriakkan fan chant. Beberapa murid kelas lain sempat menengok, penasaran apa yang sedang terjadi di sana. Tapi wajah yang Risa tunggu-tunggu tidak muncul terlihat.

"Ini lightstick lo. Hafalin fan chant-nya."

Taigaa (タイガー / Tiger)

Faiyaa (ファイヤー / Fire)

Saibaa (サイバー / Cyber)

Faibaa (ファイバー / Fiber)

Daibaa (ダイバー / Diver)

Baibaa (バイバー / Viber)

Jyaa Jyaa (ジャージャー)

Risa mengernyit membaca lembaran kertas yang Secha bagikan. Tak satu pun ia tahu bagaimana cara meneriakkannya.

"Udah, ntar komat-kamit aja. Asal angkat lightstick lo tinggi-tinggi," bisik Faldo.

Risa mengamati tongkat yang diberikan Secha tadi. Ada huruf A di puncaknya dan berpendar warna ungu ketika dinyalakan. Entah berapa uang yang mereka habiskan untuk memproduksi benda ini.

Perlahan Risa coba mengangkatnya, setinggi ya ia bisa. Ia mengeluh. Ujung lightstick Risa hanya setinggi jidat Faldo. Tidak akan kelihatan.

Faldo sendiri sudah berlari ke depan kelas, bergabung dengan anak laki-laki X-Delta lainnya, mempraktekkan apa yang ia bisikkan barusan pada Risa. Belum ada dua menit, cowok itu sudah kena semprot Secha.

"Faldo! Lo nggak ada suaranya! Teriak lebih keras lagi!"

Mampus lo ketahuan! Cibir Risa dalam hati.

***

"Sampai sini Risa ngerti?" tanya Aksa. Pensilnya menunjuk salah satu soal matematika di buku Risa. Risa menggeleng. Entah soalnya yang terlalu rumit untuk otak Risa atau Risa memang kehilangan fokus.

Dari tadi Hara bolak-balik membawa bass-nya. Tak sekali pun melirik ke arah mereka.

Berhubung jadwal bimbingannya ditunda terus oleh Hara, Aksa menawarkan diri menggantikan Hara untuk membantu Risa mengerjakan tugas. Bimbingan dengan Aksa rasanya sangat berbeda. Damai, tenang, dan teduh. Sudah 5 kali Risa minta Aksa mengulang penjelasannya, tapi Aksa tetap sabar. Ia bahkan bersedia untuk memperlambat tempo pengajarannya. Kalau ini Hara, Risa sudah pasti kena jitak.

"Risa berangkat jam berapa?" Aksa menyadari Risa yang mulai gelisah melirik jam di dinding.

"Se ... karang boleh?" tanya Risa takut-takut. Ia merasa bersalah karena tak bisa menyelesaikan satu soal pun.

"Boleh dong." Aksa tersenyum dan menepuk lembut kepala Risa. "Kamu juga kayaknya udah capek belajar. Naik apa?"

"Ojek, Kak."

"Lho, nggak mau dianter Pak Husni aja?"

Risa cepat-cepat menggeleng. "Nggak usah, Kak! Ini aku udah pesen kok! Cuma sampai sekolah. Dari sekolah ke Depok bareng teman-teman." Begitu notifikasi di ponselnya muncul, Risa langsung menyambar tas selempang kecilnya. "Pergi dulu ya, Kak Aksa!"

"Hati-hati ya! Have fun!"

***

Perginya Risa menyisakan kecanggungan dingin antara Hara dan Aksa. Hara masih berdiri di dekat lemari penyimpanan, mengepak bass kesayangannya. Nampaknya sebentar lagi dia akan manggung di suatu tempat.

"Risa bikin bolu pisang gluten free nih. Mau nggak?"

Aksa terpaksa mengalah membuka pembicaraan. Tapi kemudian ia menyesal. Karena Hara tak menggubrisnya. Buang-buang waktu dan harga diri.

Hara mungkin tahan berdiam diri begini selamanya. Tapi tidak dengan Aksa. Aksa paling benci melihat seseorang lari dari konflik seperti ini. Mereka bukan anak kecil lagi kan?

"Bisu beneran baru tahu rasa," gerutu Aksa sambil melewati Hara.

Kemudian keajaiban itu pun terjadi. Hara bersuara.

"Gue ... nggak berani deket-deket sama apa yang lo punya."

Langkah Aksa terhenti. Itu adalah kalimat paling konyol yang pernah ia dengar. "Risa maksud lo?"

Hara tak menjawab.

"Kan lo sendiri yang bilang, Risa bukan punya siapa-siapa. Gue cuma nggak suka cara lo memperlakukan Risa. Main tarik-tarik trus marah-marah--"

"Siapa yang mau marahin dia--"

"Ya lo harusnya lihat muka lo waktu itu, yang bikin Risa nangis ketakutan! Kalau lo nggak bisa bersikap lebih baik, nggak becus ngurusin anak orang, berhenti punya adik bimbingan! Benerin aja diri lo sendiri dulu!" Aksa membanting pintu belakang rumah mereka dengan kasar.

***

Bekal RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang