Rapat darurat keluarga besar Dhana sedang berlangsung di ruang tamu rumah Aksa. Topiknya hanya satu: permintaan Aksa untuk kembali ke sekolah.
"Aksa, apa kamu nggak ada ... kado ulang tahun lainnya yang kamu inginkan selain ini? Mama akan beliin apa pun yang kamu mau," pinta ibunya dengan wajah memelas. Aksa membalas dengan senyum dan gelengan singkat. Erica mendesah putus asa. Dia yang paling stres di antara para peserta rapat. Buktinya, kukunya hampir habis digigitinya.
"Her nail salon is gonna have a hard time," Aksa berbisik pada Hara yang kebetulan duduk di sampingnya.
Hara balas melempar tatapan tajam pada Aksa. 'Ya menurut lo gara-gara siapa?' Kira-kira begitu kalau Hara bisa mengomelinya sekarang. Dari tadi Hara memilih tidak bersuara sama sekali. Mungkin Hara tak mau dituduh mengompori Aksa.
"Hara, ini pasti gara-gara kamu ya?"
Tuh kan. Tidak bicara saja Hara bisa kena semprot.
"Leave him alone." Aksa pasang badan melindungi saudara kembarnya. Tak adil rasanya kalau Hara harus menanggung malu di hadapan semua orang padahal tidak salah apa-apa. "Aksa cuma mau menagih janji kalian berdua. Kalian bilang kalau keadaan Aksa udah baikan, Aksa boleh balik sekolah. Well, I'm getting better. Better than ever. Bener kan, Tante?"
Aksa akhirnya mengeluarkan kartu As-nya: Tante Edna. Selain sebagai bagian dari keluarga itu, pendapat Edna juga dihargai sebagai seorang ahli, lebih tepatnya seseorang yang paham perkembangan kesehatan Aksa. Beberapa hari yang lalu Aksa sempat mengunjungi wanita itu di rumah sakit dan melakukan medical check up menyeluruh. Walau ada beberapa catatan, tapi secara keseluruhan kondisi Aksa memang jauh membaik. Hal itulah yang membuat Aksa percaya diri untuk meminta kembali ke sekolah.
Edna mengeluarkan beberapa berkas dari dalam map kulit warna hitam di tangannya dan mengopernya pada ayah dan ibu Aksa. "Kalau melihat hasil medical check up Aksa yang terakhir, nggak ada yang perlu dikhawatirkan, menurutku. Aksa berada pada kondisi terbaiknya selama 5 tahun belakangan ini. Asal tetap bisa jaga makan, mengelola stres dengan baik dan nggak melakukan aktivitas fisik yang berlebihan, Aksa siap kok untuk kembali ke sekolah."
Bingo! Aksa susah payah harus melemaskan otot-otot bibirnya agar tidak kelepasan menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Dengan sabar Aksa menunggu ayah dan ibunya membaca seksama sambil sesekali berdiskusi dengan Edna. Selangkah lagi menuju ketok palu untuk Aksa masuk Litarda.
"Okelah kalau begitu. SMA Lentera Asa gimana?"
"Hah?!" Aksa, Hara, dan Lee yang juga ikut dalam pertemuan itu cengok bersamaan mendengar ucapan ayah si kembar. Ekspresi wajah mereka sama: kening mengerut, mata memicing, mulut menganga. Mereka berebut menyuarakan protes.
"Sekolah apaan tuh?" cemooh Hara.
"Sounds like an asylum!" komentar Aksa, bersiap menabuh genderang perang pada kedua orang tuanya kalau mereka benar mau melempar Aksa ke sana. Tapi Aksa belum mau menyerang balik. Dia masih punya satu bala bantuan lagi: Om Lee yang sekaligus kepala sekolah Litarda.
"Oscar, Erica, kalian lagi ngeledek aku ya? Apa menurut kalian Litarda itu sekolah abal-abal yang nggak cukup baik untuk Aksa?" Nada Lee santai tapi menusuk tepat di inti masalah. Pria itu bisa membuat wajah ayah dan ibunya seketika merah padam. Lee memang idola Aksa.
"Bukan begitu, Lee. Litarda kayaknya kan beban sekolahnya tinggi dan jadwalnya padat banget—"
"Kalau begitu kamu meremehkan kemampuan anakmu sendiri, Erica?"
Om Lee strike lagi! Go, Om Lee! Go, Om Lee! Aksa hampir berjoget menyoraki paman tirinya.
"Aksa itu anakku! Aku yang tahu apa yang terbaik buatnya!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Bekal Risa
Подростковая литература[TAMAT] Di saat Hara mulai menyadari perasaannya gara-gara sekotak bekal buatan Risa, adik kembarnya--Aksa--muncul menyatakan perasaan pada gadis itu. Hara tertekan. Ia teringat apa kata ibu mereka kalau ia harus mengalah pada adiknya. Hal itu menye...