Bab 6 - PR

659 98 12
                                    

"KARISA AULIA!"

Risa gemetar di bawah meja Faldo di sudut ruang kelas mendengar suara Hara lantang memanggil namanya dari depan kelas. Sampai jumpa SMA Litarda. Riwayat Risa tamat di hari pertama. Tidak hanya ketahuan melompat tembok dan menyiram Ketua OSIS-nya dengan kuah sup, ia juga baru saja kabur dari bimbingan. Lebih tepatnya membanting pintu ruang Ketua OSIS lalu kabur.

Risa kira dengan kabur semua masalah akan selesai. Dia salah besar. Jantung Risa hampir copot saat tahu siapa yang tadi berlari di belakangnya. HARA DHANA! Ia tidak pernah menyangka seorang Hara Dhana mau susah payah berlari memburunya. Kalau Hara ikut lomba lari 17-an di SMP-nya, sudah pasti dia membawa pulang magic jar yang jadi hadiah utama. LARINYA CEPAT SEKALI!

"Kak Hara?"

"Itu beneran Kak Hara?"

"Ngapain dia ke sini?"

"Nyariin si Risa."

"Trus si Risa mana?"

Risa tambah panik. Walau jam sekolah sudah selesai, anak-anak X-Delta masih banyak yang di kelas mengerjakan tugas. Sebentar lagi mereka semua mungkin akan membantu cowok itu mencari Risa.

Dia perlu perlindungan.

"Faldo! Psst! Umpetin gue dong!" pinta Risa pada si pemilik meja. Tanpa pikir panjang, Faldo memberi isyarat 'oke' dengan tangannya. "Risanya tadi udah pulang, Kak." Risa bisa mendengar suara Faldo dari kolong meja.

Good boy, Faldo!

Setelah itu terdengar bunyi pintu ruang kelas ditutup. Apa Hara sudah pergi?

"Udah, Ris. Aman."

Mendengar laporan Faldo, akhirnya Risa bisa bernapas lagi. Perlahan ia merangkak keluar kolong meja, berhati-hati agar kepalanya tidak terbentur. "Makasi ya, Fal—WUAAA!" jerit Risa spontan, mendapati Hara berdiri melipat tangan di belakang Risa, sengaja menunggunya keluar persembunyian. Saking kagetnya, Risa sampai terjerangkang menabrak kaki meja. Seisi kelas pun meledak dalam tawa, kecuali Hara yang masih belum mau menanggalkan wajah jengkelnya.

Faldo brengsek. Risa memaki dalam hati sambil mengusap kepalanya yang sakit. Bisa-bisanya cowok itu bersekongkol dengan Hara untuk mengerjainya.

"Berani-beraninya lo kabur dari depan muka gue," desis Hara dengan kening bertaut. Kedua lengan baju kaosnya tergulung setengah. Otot-otot lengannya yang padat mengintip, seakan siap membuat perhitungan dengan Risa.

"Ma...maaf..." Hanya itu yang bisa Risa ucapkan. Itu pun hampir tidak terdengar. Kepala Risa terus tertunduk, nyalinya untuk bahkan menatap Hara balik telah menguap.

"Kembali ke ruangan gue. Sekarang."

Baru selangkah Hara berjalan pergi, ia membalik tubuh lagi memastikan Risa masih mengekor.

"Awasl lo kabur lagi," ancam Hara.

Risa menggeleng. Ia kapok membangkang Hara, terutama kalau ingat nasibnya di Litarda ada di tangan cowok itu.

* * *

"Saya...masuk Litarda karena beasiswa..."

"Gue tahu lo anak beasiswa. Cari alasan lain." Hara menolak jawaban Risa mentah-mentah. Kalau cuma soal status siswa sih dia bisa cari di database. Reo juga sudah memberi catatan di daftar bimbingan siapa-siapa saja yang merupakan anak beasiswa. Yang Hara perlu tahu adalah kenapa Risa mau melangkahkan kaki masuk ke gerbang—ralat, melompati tembok—SMA Litarda. Bagi Hara, membimbing orang yang tidak ada niat untuk berada di sini hanya buang-buang waktu.

Dari balik laptopnya, Hara mengamati Risa yang sedang berpikir. Bola mata cewek itu bergerak ke kiri dan ke kanan seperti kelereng. Wajah Risa kecil, hanya pipinya yang bulat dan pipi itu sekarang bergerak mengunyah angin.

Manusia apa hamster sih?

Hara diam-diam meledek Risa. Siapa sangka orang yang akan membuat hidupnya susah seharian ini adalah seorang gadis bertubuh mungil dan punya pipi seperti hamster. Hara jadi serba salah. Kalau dimarahi, anak ini pasti nangis. Kalau nggak dimarahi, malah ngelunjak.

"Karena SMA Litarda adalah SMA terbaik dan banyak lulusannya yang masuk universitas unggulan tidak hanya di Indonesia dan luar negeri."

"Fake banget. Ngapal dari artikel online tadi pagi ya?"

Wajah Risa langsung layu. Nampaknya tebakan Hara benar.

Pintu menjeblak terbuka. Satu masalah lagi bergabung di ruangan itu.

"Sayangkuuu!" Saskia menjerit melengking menyapa Hara dengan kedua tangan terbuka lebar. Sebelum Hara sempat mengelak, gadis itu sudah menghambur memeluknya.

"Ngap—ain sih peluk-peluk!" Hara berkutat membebaskan diri, tapi Saskia tak mau melepaskannya sampai matanya menyadari ada seseorang selain mereka di sana. "Eh? Ada tamu?" tanya Saskia dengan tangan masih terkalung di leher Hara.

"Risa, Kak," Risa menganggukkan kepala, memperkenalkan diri.

"Adik bimbingan gue," Hara menambahkan.

"Oooh! Bilang dong! Duh, lucu banget sih kamu! Kecil, imut!"

Hara iba melihat Risa yang risih pipinya dicubit-cubit Saskia sembarangan. Punggung Risa sampai menempel di sandaran kursi karena ia terus mencoba memundurkan tubuh menghindari cubitan Saskia. "Udah dong, Sas. Jangan diganggu."

Usaha Hara untuk mencegah Saskia dibalas tatapan melotot. "Sengaja banget sih nyari adik bimbingan cantik-lucu gini! Mau bikin aku jeles ya?"

"Siapa yang nyari? Daftar bimbingannya kan dibikinin Reo."

"Bercanda, sayang. Duh, makin galak kamu makin ganteng deh—"

Untung getar ponsel Hara di atas meja menyela. Hara bisa selamat dari cubitan Saskia. Hara mengambil ponsel itu. Hatinya mencelos, merasa ada yang tidak beres saat ia tahu panggilan itu berasal dari rumah. Cepat-cepat Hara berjalan keluar ruangan untuk mengangkatnya.

Sekembalinya ia dari menjawab panggilan, Saskia dan Risa sama-sama melemparkan tatapan cemas bercampur penasaran. Apa perubahan raut wajah Hara sekentara itu?

"Kenapa?" tanya Saskia. Suaranya sangat berbeda dengan tadi. Sama sekali tidak keras dan melengking, melainkan pelan dan halus.

"Aksa. Gue harus pulang."

Saskia langsung paham. Gadis itu pun membiarkan Hara mengemas laptop tanpa bersuara lagi. Sisa Risa yang duduk dengan wajah bingungnya. Tak berani bertanya, tapi juga tak tahu harus melakukan apa.

"Bimbingan hari ini sampai di sini aja. Tapi lo punya PR."

Risa menelan ludah. "PR?"

"Sampai akhir semester, lo harus menemukan alasan yang sebenarnya kenapa lo mau tetap bersekolah di Litarda. Kalau nggak, gue saranin lo pindah. Litarda terlalu berat untuk mereka yang sekolah setengah hati."

Risa menyahut dengan sebuah anggukan.

Hara sama sekali tidak berniat menakut-nakuti Risa. Dari awal Hara melihat gadis itu, ia tahu Risa masih bingung akan keberadaannya di sekolah ini. Gadis itu seperti tersesat. Hara maklum. Itu permasalahan yang sering dialami baik oleh penerima beasiswa atau siswa yang dipaksa orang tuanya masuk Litarda. Dan tugas yang Hara berikan tadi tidak bisa diselesaikan dalam semalam. Risa harus menjalani hari-harinya di Litarda untuk tahu apakah ia masih mau ada di sana atau tidak.

"Awas kabur." Tak jemu Hara mengingatkan Risa.

* * *

Bekal RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang