"Risa bukan barang milik siapa-siapa. Jangan memintanya seperti itu, apalagi sama gue."
Akhirnya Hara bisa menemukan suaranya kembali setelah bungkam sangat lama dan Aksa menanyakan pertanyaan itu kembali sampai di rumah.
Untung Aksa tidak merasa hal itu aneh. Kembarannya hanya mengangkat bahu dan berucap, "Bener sih. Tapi lo kan kakak bimbingannya, jadi gue ijin dulu ke lo kalau gue mau deketin Risa."
"Itu di luar tanggung jawab gue," Hara menanggapi dingin.
Permintaan Aksa benar-benar memenuhi pikiran Hara semalaman. Ia tidak menyangka Aksa bisa jatuh cinta. Selama ini Aksa selalu skeptis soal hidupnya, apalagi cinta. Aksa adalah tipe orang yang kalau menonton drama percintaan akan mendengus sinis dan bergumam, "Omong kosong."
Dan sekarang dia bilang Risa adalah penyemangat hidupnya?
Yang pertama terlintas di pikiran Hara adalah jangan sampai ayah dan ibu mereka tahu. Kalau tahu, mereka akan mengikat Risa di sisi Aksa seperti jimat.
***
Satu rahasia yang Hara atau Aksa belum pernah cerita pada siapa-siapa adalah dulu mereka tidak seakur ini. Hara adalah bibit unggul berandalan saat SD; si tukang berkelahi yang punya banyak anak buah. Guru-guru mereka sebenarnya sudah gatal ingin menendang Hara keluar sekolah. Sayang, Hara tidak pernah absen membawa nama sekolahnya menjuarai berbagai pertandingan olahraga dan seni. Hara membuat mereka dalam dilema besar.
Aksa sebaliknya, anak idaman semua orang tua. Pintar, penurut, dan sopan. Tidak ada pelajaran yang tidak ia kuasai. Tidak ada hati guru yang tidak bisa ia taklukkan. Tidak ada orang tua murid yang tidak memujinya.
Aksa dan Hara persis air dan minyak. Apa yang Hara suka, Aksa pasti benci. Begitu pula sebaliknya. Mereka hampir tidak pernah bicara satu sama lain. Percuma, terlalu banyak perbedaan di diri mereka. Bahkan berangkat sekolah pun mereka tidak mau diantar mobil yang sama.
Sampai suatu saat Hara dalam bahaya. Waktu itu, kondisi keadaan keuangan keluarga mereka sedang menurun. Ayah mereka bermaksud mengurangi pengeluaran dengan memecat salah satu supir, yaitu supir yang biasa mengantar Hara.
Di hari terakhir supir itu bekerja, ia sudah merencanakan penculikan terhadap Hara. Ia menyekap Hara di sebuah bangunan kosong yang terbengkalai di daerah Kebon Nanas, Tangerang. Hara kecil meringkuk di sudut bangunan tak beratap dengan tangan dan kaki terikat. Ia diam seribu bahasa padahal rasa takut sudah menjalari seluruh pembuluh darahnya.
Rasa takut itu bertambah seratus kali lipat ketika pria itu berubah pikiran. Dikuasai oleh dendam akibat kehilangan pekerjaan, niat awal menculik demi tebusan menjadi membunuh Hara.
Kamera sudah terpasang. Nampaknya dokumentasi menjadi suatu hal yang penting. Tak lupa si penculik menyembunyikan wajah dengan topeng. Sebilah pisau didekatkan ke wajah Hara. Pertahanan Hara jebol. Air mata yang tadinya tak mau ia perlihatkan, kini menetes deras.
"I got it. Your silly crying face."
Suara Aksa memecah kengerian dari arah pintu. Di sana Aksa terkekeh puas dengan hasil jepretan kamera ponselnya.
Bukan.
Penculikan ini bukan akal-akalan Aksa. Karena si penculik jelas panik melihat kehadiran Aksa dan hampir saja Aksa jadi target mendadak. Untung sirine Polisi menyusul Aksa. Cahaya lampu biru dan merah langsung menerobos, ikut meramaikan.
"Gimana lo bisa tau gue di sini?" tanya Hara saat mereka sudah di rumah.
"Seharusnya lo belok buat les, tapi mobil lo malah lurus. Gue ikutin."
"Lo hafal jadwal les gue?"
Aksa memasukkan sebutir permen jeli ke mulutnya, menolak menjawab.
"Ngaku aja, lo khawatir kan?"
Kena. Aksa salah tingkah. Permen jeli yang Aksa kunyah hampir tergelincir di mulutnya. "Lo harusnya bilang makasih! Lo bukan gue yang kalau hilang langsung dicari Mama! Mungkin sampe besok juga mereka belum ngeh lo ngilang!"
Memang iya. Tidak ada sambutan sama sekali ketika Hara sampai di rumah. Ibunya hanya tanya Hara mau makan apa. Ayah mereka masih di kantor Polisi.
Melihat wajah murung Hara, Aksa menyenggol lengannya. "Admit it. We only have each other."
Hara mengangkat pandangan dan menatap duplikasi wajahnya. Setelah hidup bertahun-tahun saling bermusuhan, ia tak menyangka tiba juga hari di mana ia merasa beruntung memiliki Aksa sebagai kembarannya. Ini adalah percakapan terlama mereka.
"Jangan-peluk-gue-JIJIK!" Aksa kecil meronta dalam pelukan Hara. Tidak sekarang. Hara tidak akan menyia-nyiakan kesempatan mempermalukan saudara kembarnya seperti ini.
***
"KAK HARA!"
Teriakan lantang Risa dari halaman rumah menyibak keheningan canggung di ruang makan antara Aksa dan Hara. Hara sampai lupa kalau tadi napasnya hampir berhenti karena Aksa sempat meminta Risa.
"Tuh. Baru juga diomongin," dengus Aksa geli.
Risa yang baru pulang sekolah langsung menghambur menyerang Hara dengan sambitan plastik minimarket berisi coklat dan jus jeruk kotakan. Tubuh mungil gadis itu membuat Hara bisa menepis serangannya tanpa usaha. "Apaan sih?"
Risa mengabaikan wajah kesal Hara, menyadari kehadiran Aksa di ruangan itu. "Eh, Kak Aksa udah pulang?" Pipi tembamnya memerah dan ia langsung menunduk membuang pandangan.
Perbedaan reaksi itu membuat Hara semakin jengkel. "Kenapa sama gue lo main sambit tapi di depan Aksa lo malu-malu?"
"Ya lo nyebelin jadi orang! PR Fisika gue lo yang bikinin?"
Susah payah Hara menahan tawa melihat Risa susah payah berjinjit agar mata mereka segaris. Sayang, perbedaan tinggi mereka yang terlalu signifikan membuat ubun-ubun Risa hanya sampai jakun Hara. "Iya. Ada yang salah?"
"Lain kali nggak usah ya! Biarin aja gue nggak bikin tugas! Biarin gue dihukum!"
Hara mendecak keras dan mendorong jidat Risa dengan ujung telunjuk. "Bukannya bilang makasih udah dikasih nilai 100!"
"Justru itu! Gue nggak sepinter elo, Kak! Masa yang biasanya dapet 60 tiba-tiba dapet 100!"
Aksa iba pada Hara. Bagaimana dia bisa menahan tawa di situasi selucu ini? Aksa saja kepalanya sampai terpeleset membentur meja.
"Trus, lo dihukum?" Terdengar seberkas rasa cemas di nada pertanyaan Hara.
"Nggak. Gue bilang aja kemarin kesambet jin Fisika."
Jin Fisika? Kekonyolan apa lagi ini?
"Mereka percaya?"
Risa mengangguk. "Mereka nggak tahu apa-apa soal Cilebut jadi mereka kira jin mata pelajaran itu hal yang wajar di sana."
Kedua mata Hara membesar. Diam-diam mulutnya membuka, mengeja kata 'bego' tanpa suara.
"Intinya, lo jangan ngerjain tugas-tugas gue lagi--"
Tanpa peringatan, Hara memencet kedua pipi Risa dengan sebelah tangan. Sekarang mulut Risa mengembang, terjepit di antara kedua pipinya. "Nggak usah berisik. Terima aja. Gue nggak sering-sering baik sama orang," desis Hara penuh ancaman sebelum ia berbalik menuju dispenser membawa sebuah mug kosong.
"Ada gitu orang yang ngitung seberapa sering dia berbuat baik?" Risa mencibir, mengambil duduk di sebelah Aksa dan memandang dengki pada punggung kakak bimbingannya.
"Ngomong-ngomong, aku belum bilang makasih lo ke kamu udah bawa aku ke rumah sakit."
Giliran Aksa yang meraih pipi Risa, kali ini berusaha mengecupnya. Namun, sebelum itu terjadi, sebuah mug berisi air hadir di antara bibir Aksa dan pipi Risa.
"Cium-cium anak orang sembarangan lagi, gue cabein mulut lo."
Kena. Bukan cuma Risa yang kena omel, tapi Aksa juga. Terpaksa Aksa menarik tubuhnya kembali ke punggung kursi dengan wajah cemberut. Sedangkan Risa segera mengambil jus kotak dari dalam kantong plastik yang masih cukup dingin untuk meredakan panas di pipinya akibat apa yang hendak Aksa lakukan barusan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bekal Risa
Teen Fiction[TAMAT] Di saat Hara mulai menyadari perasaannya gara-gara sekotak bekal buatan Risa, adik kembarnya--Aksa--muncul menyatakan perasaan pada gadis itu. Hara tertekan. Ia teringat apa kata ibu mereka kalau ia harus mengalah pada adiknya. Hal itu menye...