Bab 49 - Menunggu Jawaban

484 86 18
                                    

Begini ya rasanya menunggu jawaban?

Tiada hari Aksa tanpa kegelisahan. Di mata Aksa, Risa terlihat seratus kali lebih cantik dan menggemaskan dari biasanya. Tiap kali mata mereka tak sengaja beradu pandang, perutnya panas dan paru-parunya berhenti menyuplai oksigen selama beberapa detik.

Aksa menyesal bilang pada Risa kalau ia akan menunggu sampai kapan pun. Kalau kelamaan begini, yang ada Aksa malah masuk UGD.

Aksa sudah di mobil, bersiap menikmati lagu "Do You Love Me" dari Stephanie Poetri yang mulai diputar sebuah stasiun radio. Lalu pintu mobil tiba-tiba terbuka. Risa masuk dan duduk di samping Aksa. "Maaf ya, Kak, jadi nungguin," ucap Risa sibuk menutup pintu.

Sh*t! Aksa mendadak gugup bersisian dengan Risa. Ini terlalu cepat. Leher Aksa sampai kaku seperti ditopang linggis. "Oh ... Lho? Kamu ... bukannya pulang sorean sama Hara?"

Pertanyaan bodoh. Kalau Risa menyesal dan keluar lagi mencari Hara, bagaimana?

"Kak Hara bilang mau main ke rumah Kak Reo."

"Yang bener?" Aksa kesal mendengar alasan Hara. Untung Pak Husni belum membawa mobil itu meninggalkan sekolah. Kalau iya, nanti Risa pulang sama siapa?

Itu adalah percakapan terakhir mereka sebelum seisi mobil ditelan keheningan canggung. Cuma terdengar bunyi halus mesin mobil dan Stephanie Poetri meledek Aksa lewat lagunya.

Do I ever cross your mind?

Heaven knows you been on mine

You're driving me crazy

Oh baby

"Aku suka lagu ini!" celetuk Risa tanpa pengantar. Matanya menyipit, senyumnya merekah. Sisa-sisa helai rambut yang kabur dari ikatannya halus menjuntai. Dilatari pantulan sinar mentari dari kaca mobil, Aksa seperti sedang menatap sesosok peri mungil yang sangat manis.

Selama ini Aksa terlalu pasrah. Aksa tidak pernah minta apa-apa. Ia bahkan tidak pernah memaksa Tuhan untuk terus memberinya umur. Meminta Risa menjadi milik Aksa seorang kedengarannya tidak serakah kan? Serakah juga tidak apa-apa. Anak ini terlalu manis dan lucu untuk disimpan di kehidupan Aksa yang berikutnya. Itu pun kalau reinkarnasi benar-benar ada.

Tabung oksigen, mana tabung oksigen?

"Kak! Kak Aksa kenapa?"

Risa panik mendapati Aksa menekan ulu hatinya sendiri. Dada Aksa bergerak naik turun dengan tempo tidak karuan.

"Ng-nggak ... Aku nggak apa-apa ..." Aksa terbata, bingung bagaimana ia harus menjelaskan kalau ia sesak napas disiksa kebucinannya.

"Pak Husni, Kak Aksa kayaknya sesek napas!"

Tentu saja Risa mengabaikan kata-kata Aksa. Kalau sudah panik, anak ini bahkan bisa loncat ke jurang.

"Kita ke rumah sakit nih?" Pak Husni ikut panik. Langsung menepi di bahu jalan.

"Aku nggak apa-apa, guys."

Tak ada yang mau mendengar pembelaan Aksa.

"Aku coba telepon Tante Dokter dulu!" Risa berpaling pada Aksa sejenak. "Sori, Kak. Aku lupa nama tantenya Kak Aksa yang dokter itu."

Aksa mengangguk. Lelah membela diri, akhirnya Aksa memutuskan untuk mengikuti kegilaan konyol mereka. Tangannya tak lagi di ulu hati. Tubuh Aksa bersandar santai pada punggung kursi. "Ya udah, telepon aja. Namanya Tante Edna."

"Tante Edan?"

"E-D-N-A. Edna." Aksa mengulum tawa. Masih penasaran ke mana kepanikan Risa akan bermuara. Ambulans? UGD? Rumah Sakit Jiwa?

"Oke."

Aksa memanfaatkan keheningan Risa menunggu nada sambung untuk mengirimkan pesan ke tantenya. Pesannya singkat, tapi Aksa yakin tantenya akan paham kalau ia baik-baik saja.

"Halo, Tante Dokter? Eh, Tante Eda—Edna? Ini Risa. Juru masaknya Pak Oscar." Risa menyimak ucapan Tante Edna. "Iya, Tante. Risa lagi sama Kak Aksa. Tadi sesek napas gitu."

Tanpa permisi, tiba-tiba saja Risa meletakkan telapak tangannya di dada Aksa, membuat tubuh Aksa kaku seketika.

"Waduh! Dadanya Kak Aksa gluduk-gluduk!"

Ingin rasanya Aksa meraih pipi Risa dan menciumnya, saking gemasnya dengan tingkah polos Risa. Dasar anak lucu. Ya pastilah dadaku nggak karuan kalau kamu tiba-tiba nemplokin tanganmu kayak gitu!

"Hah? Habis jatuh?" Risa beralih dari panggilannya pada Aksa. "Kak Aksa ada jatuh?"

Aksa mengangguk. Kedua mata bulat Risa membesar maksimal.

"Beneran? Kok nggak bilang-bilang?" Nada suara Risa meninggi. Dia sedang berada di puncak kepanikan.

"Kan jatuhnya sama kamu."

"Oh ya? Kapan?"

"Setiap hari. Jatuh cinta."

Aksa melebarkan cengirannya seiring dengan rona merah menguasai kedua pipi bulat Risa. Pak Husni hanya bisa menggeleng menilai gombalan Aksa yang payah dari kursi pengemudi. Pak Husni kembali membawa mobil itu ke jalur utama sebelum ada Polisi menghampiri.

* * *

"Coba tanya Aksa, dia ada jatuh nggak?"

Lee duduk di ruang praktik Edna mencoba mengamati adik tirinya mengangkat panggilan dari Risa. Tangannya terulur, siap dipasang alat pengukur tekanan darah. Namun urung karena panggilan darurat itu menyela.

"Nah itu. Coba ajak Aksa ngopi atau nonton. Besok juga sembuh."

"Aksa kenapa?" tanya Lee begitu Edna meletakkan ponselnya di atas meja.

"Ponakanmu, jahilnya nggak ketulungan." Edna menghela napas, kembali mengisi kursi di hadapan Lee. Sebuah senyum geli tergantung di wajah lelah Edna. "Tante, kalau Risa telepon nanti, jangan panik. Aksa nggak apa-apa. Cuma bucin." Edna cekikikan sendiri membaca pesan WhatsApp Aksa. "Untung aku punya anak remaja juga di rumah. Jadi tahu bucin itu apa."

Lee tidak heran. Di keluarga besar mereka, Aksa memang terkenal yang paling jahil.

"Lucu juga ya anak yang namanya Risa itu. Rumah Oscar jadi rame banget sekarang. Si Aksa sampe naksir," ujar Edna sembari memakaikan alat tensi di lengan Lee. Ia memompa hingga lengan Lee terhimpit. Kemarin Lee merasa sedikit pusing pulang dari kerja. Istrinya memaksa Lee untuk memeriksakan diri.

"Tinggi lho tensimu. Jaga makan ya." Edna memberitahu hasil pemeriksaannya sambil melepas alat itu dan menyimpannya kembali dengan apik.

"Gimana tensiku nggak naik? Tiap hari ngurusin si kembar di sekolah. Kemarin cuma satu, trus sekarang nambah lagi satu. Rasanya kayak punya penitipan anak."

Edna terbahak mendengar keluh kesah Lee. "Memangnya mereka bandel ya? They're sweet kids, aren't they?"

"Bandel sih nggak. Cuma ..." Lee memijat kening. "Yah, remaja dan dunia mereka yang aneh itu."

Edna menarik beberapa berkas dari lacinya dan menulis sambil tetap menanggapi ocehan kakak tirinya. "Jangan gitu. Kamu juga kan pernah remaja."

"I was in boarding school, remember?"

"Duh, kasihan," ledek Edna.

Edna dan Oscar dulu memang sempat menumbalkan Lee, si anak paling pintar, untuk pergi ke sekolah berasrama di Singapura. Untung Lee tidak menyimpan dendam apa pun terhadap kedua saudara tirinya itu.

"Anyway, aku seneng banget Aksa memutuskan untuk sekolah. Kondisinya jauh, jauh, lebih baik. Kayaknya dikurung di rumah membuat tubuh dan pikiran Aksa jadi stres. We should tell our sister-in law."

Lee cepat-cepat menggeleng. "Not me. You tell her."

Dari dulu Lee coba menjaga jarak dari Erica. Dia tidak suka cara Erica pilih kasih antara Aksa dan Hara. Lee sudah pernah mencoba bicara soal itu, tapi malah kena semprot omelan panjang lebar. Bicara pada Oscar pun percuma karena Oscar juga sudah lelah dengan tingkah istrinya. Untung Oscar selalu ada untuk membela Hara. Kalau tidak, entah apa yang terjadi dengan anak itu.

Ya, menurut Lee, bukan Aksa yang harus dikhawatirkan saat ini. Melainkan Hara.

* * *

Bekal RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang