Bab 65 - Menyerah

509 88 13
                                    

Ada yang menekan tombol fast forward.

Perjalanan Tokyo-Jakarta tidak mungkin secepat ini. Baru saja kepala Risa terkulai di bahu Hara dan kelopak matanya menutup, roda pesawat sudah menyentuh landasan dan tak lama kemudian tanda lampu kenakan sabuk pengaman di atas kepala mereka padam. Raut sendu bercampur cemas terpancar dari wajah Risa.

"Nanti gue ngomong ke Aksa. Lo tenang aja ya," ujar Hara untuk menenangkan Risa sambil membelai singkat kepala Risa. Hara dilanda perasaan bersalah sudah menempatkan gadis itu dalam posisi serba sulit.

Hara tidak mau semua kebahagiaan yang terbangun selama culture trip sirna begitu saja. Ia mati-matian coba mencari topik yang mampu mengalihkan kecemasan Risa. Risa mencoba menghargai usaha Hara dengan tersenyum. Namun senyum Risa tak seringan biasa, seakan ada dua bola besi yang menggelayuti masing-masing ujung bibir gadis itu. Tangan Risa sedingin es saat Hara coba menggenggamnya.

Maka Hara pun berhenti mengajak Risa mengobrol. Hara sadar, tidak ada yang menenangkan Risa selain kejelasan. Seturunnya dari mobil, Hara akan langsung berlari mencari Aksa dan menjelaskan segalanya.

Pak Husni membawa mobil berbelok ke jalan komplek rumah Hara. Pagar rumah sudah terlihat. Risa langsung menarik lepas tangannya dari genggaman Hara. Hara tidak tersinggung sama sekali. Ia tahu Risa hanya panik.

Hara membiarkan Pak Husni menurunkan kopernya dan Risa dari bagasi mobil. Pandangan Hara tertuju pada satu slot mobil lagi yang kosong. Ayahnya belum pulang?

"Lo pulang aja. Nyokap lo pasti nungguin."

Risa menggeleng menolak saran Hara. "Gue mau pamit dulu sama ortu lo ..." Cewek itu menelan ludah di tengah-tengah kalimat. "... sama Kak Aksa juga."

Hara mengangguk, kemudian mengajak Risa masuk ke dalam. Suasana di dalam rumah tak kalah sepi dari garasi. Hanya satu lampu ruang tamu yang menyala. Tidak ada suara musik dari kamar Aksa atau suara mengobrol Aksa dan Erica.

"Aksa!" panggil Hara.

Tak ada jawaban.

"Pa!"

Tak ada jawaban juga.

"Ma!"

Ini sih Hara tidak mengharapkan jawaban.

"Bi Atun!"

Masih tak ada jawaban. Kosong. Rumah Hara kosong.

"Pada ke mana sih?" Hara bertanya pada Pak Husni yang menyusul masuk membawa koper mereka.

"Aduh! Lupa ngasih tau Mas Hara!" Wajah Pak Husni pucat pasi.

"Ngasih tau apa, Pak?" Hara waspada. Apa keluarganya mendadak liburan untuk menandingi absennya Hara?

"Mas Aksa ... tadi sore masuk UGD. Semua orang lagi di rumah sakit."

Tali ransel di bahu Hara merosot. Ransel itu keras terjatuh menghantam lantai. Raut wajah Hara berubah drastis, melampaui pucatnya wajah Pak Husni barusan. Risa di belakang punggung Pak Husni sudah mendekap muka, sama-sama syok dengan berita itu.

Hara menghampiri Risa, tak tega melihat gadis itu terisak di sini. "Lo pulang aja. Istirahat. Nanti gue kabarin soal Aksa."

Perlu beberapa tarikan napas agar Risa membuka wajahnya kembali. "Tapi ... Kak Aksa ..."

Tangan Hara menyangga wajah Risa, memaksa gadis itu menatap wajahnya. "Pulang ya, Risa. Please. Nanti gue anter. Gue aja yang ke rumah sakit. Lo tunggu kabar dari gue."

Risa menurut dengan berat hati. Hara mengantar Risa hingga pagar rumah kontrakannya dan bersikeras berdiri menunggu sampai ia melihat Risa benar-benar berjalan masuk ke dalam rumah, baru ia melanjutkan perjalanan ke rumah sakit.

Bekal RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang