Bab 32 - Menjaga

530 90 3
                                    

Semakin siang, Aksa merasa semakin sulit menyembunyikan identitasnya. Tubuhnya mulai pusing karena matahari bersinar terlalu terik. Ini tentu saja membuat semua orang bertanya-tanya karena Hara tidak selemah itu.

Lalu, ada tim sepakbola yang memergokinya hendak kabur dari jadwal latihan.

"Woy! Ke mana lo? Mau kabur ya?" teriak Dion, anggota tim yang berbadan paling besar.

"Eh—gue—"

Dari belakang Dion, Aksa melihat Risa berlari tergopoh-gopoh hendak menyelamatkannya. Sayang, sebelum Risa tiba, seseorang sudah memanggilnya lebih dahulu. "Hara! Kemari!" Suara bapak-bapak yang familiar.

"Om—Mr. Lee?"

Wajah Aksa pucat pasi melihat paman tirinya memanggil dari pinggir lapangan. Tamat sudah riwayatnya! Bagaimana ini bisa luput dari perhitungannya? Kalau di Litarda ada anggota keluarga besarnya dan dia adalah seorang KEPALA SEKOLAH?!

Mr. Lee membiarkan Aksa mengikuti di belakang tanpa bicara apa-apa. Sampai di depan ruang kepala sekolah dan tidak ada seorang pun di sana, barulah ia menjewer kuping Aksa dan menyeretnya masuk ke dalam.

"Adududuh! Om! Ampun!" Aksa memohon sambil menahan rasa pedas di telinga kanannya.

Mr. Lee menutup pintu, wajahnya berang bukan main. Belum pernah Aksa melihat pria itu berwajah berang. Pamannya itu biasanya tenang dan santai. Dia pasti jengkel bukan main.

"Bandel banget sih jadi anak! Ngapain kamu pakai nyamar jadi Hara segala? Untung papamu kasih kabar ke Om kalau Hara lagi sakit!"

Aksa tidak berani membuka mulut. Ia duduk di sofa, menunduk menatap ujung sepatunya sendiri. Dalam diam ia terus memutar otak. Bagaimana bisa keluar dari masalah ini?

"Om mau telepon Papa sama Mama kamu. Kasih tahu kalau kamu di sini."

"Jangan, Om! Jangan!" Aksa memohon, sengaja membuat nada suaranya terdengar panik. Ia melirik jam tangannya. "Masih ada 20 menit waktu Aksa di sini. Aksa mau puas-puasin main di Litarda. Habis itu Aksa bakal pulang dan nggak akan kembali lagi. Aksa janji."

Berhasil. Aksa berhasil meredakan amarah pamannya. Pria itu mengambil duduk di seberang Aksa, mengamati keponakannya dengan seksama. "Aksa, lihat Om dan bicara yang jujur."

Aksa perlahan mengangkat kepala, menatap ke mata lawan bicaranya. Ia menemukan segudang belas kasihan di mata pria paruh baya itu.

"Kenapa kamu sampai nekad ke sini sebagai Hara?"

Aksa mengerjap. Tatapannya berubah lirih. "Aksa ... cuma mau ngerasain sekolah lagi. Sekali ini aja kok."

"Apa kamu menyesal?"

Kepala Aksa menggeleng.

"Kamu suka di Litarda?"

Sekarang Aksa mengangguk.

Ribut-ribut dari luar ruangan menyela percakapan mereka. Mr. Lee dan Aksa mengintip dari sela-sela tirai. Aksa mencelos. Di sana ada Hara yang berjalan ke arah ruangan itu, bersiap mengamuk. Wajahnya pucat, bagian bawah matanya biru kehitaman dan bibirnya kehilangan warna. Tapi sorot matanya menyala, semarah Mr. Lee tadi saat menemukan Aksa di lapangan. Risa berlari mencoba menahannya, tapi bahkan saat kondisi sakit begini, Hara tetap masih lebih kuat.

Pintu ruangan dibanting Hara terbuka. "Aksa! Pulang sekarang!" Kalau sedang tidak serak, suara Hara pasti sudah menggelegar.

Hara sering meneriakinya, tapi tidak pernah benar-benar marah. Kali ini Hara murka. Dan Aksa baru tahu Hara sangat mengerikan kalau sedang murka. Pantas seisi sekolah takut padanya.

Bekal RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang