Kasihan Risa.
Gadis itu berdiri memeluk tubuhnya sendiri di pojokan kamar rawat Aksa, masih gemetar membawa sisa-sisa tangisnya. Seperti apa yang Hara instruksikan, gadis itu sama sekali tidak mau melepaskan tatapannya dari tubuh Aksa walau Aksa tak akan ke mana-mana dari tempat tidur itu.
Sebenarnya, di stadion sebelum pertandingan, Hara sempat mengenali sosok mungil Risa tenggelam dalam jaket Aksa. Tapi Hara tak mau berspekulasi terlalu jauh. Ia tidak mengira Risa benar-benar ada di sana untuk menontonnya. Biasanya Risa selalu menurut.
Hara lupa ada Aksa.
Kembarannya selalu pintar mencari celah untuk melarikan diri dari rumah. Ia tahu Pak Husni sedang mengurus mobil ayah mereka di bengkel. Dan Aksa sudah pasti mengajak Risa dalam rencana kaburnya. Entah kenapa anak itu lengket sekali dengan Risa.
"Ah, kamu udah sampai."
Tante Edna, adik ayah mereka, yang kebetulan bertugas di rumah sakit itu bergegas menghampiri Hara di pintu. Tante Edna sebenarnya spesialis kulit, tapi wanita itu selalu bilang untuk menghubunginya seandainya Aksa masuk rumah sakit lagi. Mereka beruntung, Tante Edna memang sedang ada praktik malam hari itu.
"Papa sama Mama udah dikasih tahu?"
Hara mengangguk. "Keduanya lagi di jalan." Matanya sejenak melewati bahu tantenya, melirik Risa yang juga sudah menyadari kedatangan Hara.
Tante Edna mengusap bahu Hara dan berkata, "Aksa baik-baik aja, Hara. Tadi Dokter Genta bilang Aksa cuma kelelahan. Tante tinggal nggak apa-apa ya?"
"Makasih banyak, Tante," ucap Hara sepenuh hati. Entah sudah berapa kali mereka menyusahkan wanita itu.
Tante Edna menoleh ke tempat Risa berdiri. "Risa, Tante tinggal dulu ya."
Risa mengangguk, masih belum mau beranjak dari tempatnya.
"Beliin Risa makan. Kasihan dia, syok banget," bisik Tante Edna sebelum meninggalkan ruangan.
Hara melangkah perlahan mendekati Risa. Dari ekspresi wajah cewek itu, Hara tahu Risa tidak hanya syok. Dia juga ketakutan setengah mati. Hara jadi merasa bersalah sempat membentak dia di telepon barusan. Bukan maksudnya memarahi, Hara hanya kaget saja saat Risa bilang mereka ada di mall bukannya di rumah.
"Sini," panggil Hara, sengaja menyisakan jarak beberapa langkah agar Risa tidak merasa terintimidasi. Awalnya Risa ragu-ragu, sampai Hara berkata lagi, "Gue nggak marah sama lo kok."
Kaki-kaki kecil Risa melangkah perlahan dan agak sempoyongan. Sampai di hadapan Hara, Risa mencicit, "Maaf, Kak..." Dengan kepala menengadah, Risa memberanikan diri menatap kedua mata Hara.
"Mau ice chocolate?"
"Eh?" Risa yang air matanya sudah hampir jatuh, tampak bingung mendengar pertanyaan Hara.
* * *
Risa kira Hara akan memarahinya habis-habisan. Saat Risa melihat Hara di pintu kamar rumah sakit, wajah Hara pucat dan nampak sangat lelah. Tentu ia lelah. Setelah bertanding, ia mendapati kabar kembarannya masuk rumah sakit. Tidak hanya raga Hara yang lelah, tapi juga jiwanya.
Nyali Risa yang sudah setipis kertas rasanya tak sanggup kalau harus mendengar kakak bimbingannya marah-marah. Terlalu banyak masalah yang sudah Risa ciptakan untuk Hara sejak hari pertamanya masuk Litarda. Menjaga kembarannya saja Risa tak becus. Lalu apa yang becus ia lakukan untuk membalas budi Hara?
Alih-alih meneriakinya, Hara menraktir Risa ice chocolate di kedai kopi lantai dasar rumah sakit. Ia sendiri memesan americano. Nampaknya Hara kapok minum ice chocolate pesanan Risa. Sugar rush di rumah sakit itu tidak lucu sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bekal Risa
Teen Fiction[TAMAT] Di saat Hara mulai menyadari perasaannya gara-gara sekotak bekal buatan Risa, adik kembarnya--Aksa--muncul menyatakan perasaan pada gadis itu. Hara tertekan. Ia teringat apa kata ibu mereka kalau ia harus mengalah pada adiknya. Hal itu menye...