Bab 40 - Kado

498 90 10
                                    

"Ampun, Hara ..."

Reo memelas dalam posisi push up. Di sekretariat OSIS, ia sedang memimpin seisi pengurus OSIS menerima hukuman dari Hara akibat ulah mereka memberi kejutan ulang tahun Hara, mulai dari karangan bunga, spanduk raksasa, orkes waria, sampai badut lampu merah yang terjepit di pintu kelasnya.

"Sebelas! Dua belas! "

Hara terus menghitung, tidak menggubris permohonan ampun Reo sama sekali. Wajahnya masam. Ia sibuk mengelap bekas lipstik salah satu waria yang mencuri satu kecupan di pipinya pada detik-detik terakhir.

"Ngomong-ngomong ... KENAPA GUE JUGA PUSH UP DAH?!" jerit Risa. Tubuh kecilnya menyempil di bagian belakang barisan.

"Biar sehat," jawab Hara ketus, membuang tisu bekas di tangannya ke tempat sampah.

"Tapi kan gue nggak ikutan, Kak ..." Risa meratap. Dia tidak bohong. Dia tidak tahu apa-apa soal serangkaian kejutan konyol itu.

"Tahan."

Hara tiba-tiba memerintahkan agar mereka semua menahan dengan posisi setengah push up. Erang penderitaan terdengar dari berbagai penjuru ruangan. Ia sendiri berjalan menghampiri Risa dan berjongkok di sampingnya.

"Tapi lo ikut ketawa kan?"

Risa menelan ludah. Kali ini Risa tidak punya pembelaan. Harus ia akui, rahangnya sampai pegal dan perutnya kram gara-gara puas menertawai Hara.

"Tiga belas!"

Hitungan Hara berlanjut. Begitu juga dengan penderitaan mereka semua.

***

Hukuman yang harus Risa jalani belum tuntas dengan 25 hitungan push up. Hara menyeret Risa ke dalam ruang kerjanya, melanjutkan penyiksaan, kali ini khusus untuk Risa.

"Wadidaw! Banyak bener kadonya!"

Ruang kerja Hara mendadak jadi tempat penampungan kado. Hampir tidak ada sisa ruang untuk berjalan kecuali jalan kecil di dekat sebuah boneka beruang raksasa. Dan sekarang sebuah kotak merah jambu di puncak salah satu gunungan kado terjatuh, menumbangkan semua kado di bawahnya hingga menutupi jalan kecil tadi.

"Sortir semua kado-kado ini. Gue cuma mau ada dua kategori: berguna dan tidak berguna."

Instruksi Hara terdengar sederhana, nyatanya tidak ada yang sederhana kalau mood Hara sedang jelek. Hara sebisa mungkin memastikan hidup Risa seharian ini menderita.

"Apaan nih? Gue nggak perlu!" Hara melempar sekotak bluetooth earbuds ke kardus untuk kado-kado tak berguna. Ini sudah kedelapan kalinya cowok itu memveto hasil kerja Risa.

"Lahhh ..."

Risa hanya melenguh pasrah. Baru saja ia mencari tahu berapa harga benda itu di internet. 4 juta rupiah! Risa semakin tertekan. Kalau kado semahal itu saja dibuang, dia bisa kasih apa?

"Semua aja lo bilang nggak perlu!" Jari Risa lelah menggaruk kepala. Ini lebih menguras otak daripada mengerjakan soal matematika integral.

Hara menendang satu kotak di samping Risa yang belum terbuka semata-mata agar dia bisa berjongkok dan memelototi Risa. "Kado, kado siapa?" bisik Hara, membuat tengkuk Risa merinding.

"Kado Kak Hara ..."

Mata Hara memicing. "Kenapa lo protes?"

"Karena gue ..."

Banyak jawaban yang hendak Risa utarakan. Karena ia lelah, karena ia bingung, karena ia tidak digaji untuk melakukan ini, dan 'karena-karena' lainnya. Namun, mengingat beberapa bulan lagi masa bimbingan usai dan nasib Risa ada di tangan Hara, Risa terpaksa menelan semuanya mentah-mentah.

"Yang ini pasti perlu dong?"

Tepat saat itu, pintu ruangan Hara terbuka. Reo dan beberapa pengurus OSIS mematung menyaksikan Risa mengangkat tinggi-tinggi sekotak kondom aroma stroberi di hadapan Hara. Risa mendapatkan benda itu dari sebuah kotak kado kecil berpita emas.

Lama ruangan itu jadi senyap bercampur canggung. Reo dan orang-orang yang dibawanya bertukar pandang, mengonfirmasi persepsi masing-masing, apakah mereka datang di saat yang kurang tepat. Risa tak berani menurunkan tangannya. Setelah turun, lalu apa yang harus ia lakukan dengan benda itu? Taruh di mana? Kardus 'berguna' atau 'tak berguna'. Hara diam-diam memikirkan strategi bagaimana mengembalikan nama baiknya setelah ulah bodoh adik bimbingannya.

Kehabisan akal, Hara merampas kotak itu dari tangan Risa dan melemparnya ke arah Reo. "Buat lo aja."

Reo menangkap sigap. "Har ..." Kening Reo mengerut, matanya diselimuti rasa bersalah. "Tapi gue masih suka cewek ..."

"BUAT LO SAMA ORYZA, BEGO!" Kalau saja tidak ada tumpukan kado yang menghalangi langkah Hara, kepala Reo pasti sudah benjol kena jitak Hara.

Reo terkekeh. Tanpa malu ia menyelipkan kondom pemberian Hara di saku jaketnya. "Dapet dari siapa? Saskia ya?" godanya. Para pengurus OSIS lainnya terkikik di belakang punggung Reo.

"Sembarangan!" Hara beralih pada Risa, wajahnya sedikit panik. "Oh iya, kado dari Saskia mana? Nggak lo buang kan?"

Risa menggeleng. "Nggak."

"Mana?"

Dengan malas Risa merangkak mendekati kardus 'tak berguna'. Sekali julur, tangannya berhasil meraih sekotak wireless earbuds yang baru saja Hara 'buang' ke sana. "Nih. Kak Hara yang buang."

Sekilas Hara tampak salah tingkah. Untuk menutupinya, Hara mengambil kotak itu dari tangan Risa dan mengantonginya.

"Cieeh, baru dari Saskia langsung dikantongin!" ledek Reo.

Risa tadi hendak mengutarakan hal yang sama. Apa yang dikategorikan penting oleh Hara cuma pemberian Saskia?

"Bukannya apa-apa. Ntar dia ngamuk. Yuk, meeting di luar aja." Hara sudah hampir sampai di pintu ruangan, ketika ia teringat sesuatu yang harus ia sampaikan pada Risa. "Nanti lo dijemput Pak Husni ya. Gue sampe sore soalnya."

Kepala Risa mengangguk pelan. Tanpa berkata apa-apa, ia lanjut membongkari kado Hara. Kali ini, peduli amat apa isinya, ia lempar semua isi kado Hara ke kotak 'tak berguna'. Dia kena push up, sekarang harus jadi buruh tidak dibayar untuk membereskan kado-kado ulang tahun Hara. Kenapa dia harus banyak-banyak berpikir? Lakukan saja apa yang menurutnya mudah: semua yang bukan pemberian Saskia berarti tidak berguna.

Ia tak sadar kalau dari tempatnya duduk bersila memimpin rapat, Hara masih bisa mengamati wajah cemberut Risa. Diam-diam kakak bimbingannya itu memesan minuman boba kesukaan Risa.

Sayang, sebelum minumannya tiba, Risa sudah selesai dan pulang tanpa pamit darinya.

***

Bekal RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang