Hara bangun lebih pagi, sempat berlari memutari komplek rumahnya selama 30 menit sebelum ia bersiap-siap untuk ke sekolah. Mandi hanya perlu waktu kurang dari 15 menit. Hara tidak suka terlalu lama diguyur air. Sama tidak sukanya dengan melihat bayangannya terlalu lama di cermin.
Ia berpakaian dengan cepat kemudian menyisir rambut asal-asalan. Hara sudah menyerah dengan rambutnya. Mau disisir seperti apa pun, rambutnya akan kembali tertidur pulas. Kata Saskia, rambut Hara terlalu lurus dan halus. Entah benar atau itu cuma alasannya Saskia menyentuh kepalanya.
Kadang Hara menambah wax di poninya dan menatanya agar sedikit mencuat naik. Kalau sedang keringatan, poni yang menempel basah di kening suka bikin jerawatnya tiba-tiba nongol. Tapi sekarang ia sedang malas. Ia hanya ingin cepat-cepat sampai di sekolah. Buat apa? Entahlah. Sedang malas saja di rumah.
Ia mengecek semua perlengkapan di dalam tas sekolahnya. Kelihatannya sudah semua, namun ia merasa ada yang kurang.
"Buku coding."
Hara bergegas menuju rak bukunya dan menarik sebuah buku bersampul biru dengan judul Coding for Beginners. Dalam bimbingan hari ini ia menjadwalkan mengajari Risa soal coding. Ia tahu betapa payahnya guru IT mereka. Anak itu pasti tidak paham apa-apa yang diajarkan di kelas.
Hara berhenti melangkah padahal sudah di ambang pintu. Tiba-tiba ia teringat pelukan Risa di mobil tempo hari. Tak bisa disangkal, rasanya begitu nyaman. Belum pernah ada yang memeluknya sehangat itu.
Tapi kemudian ingatan Hara bergulir pada perdebatan mereka. Sampai turun dari mobil Hara, Risa tetap bersikeras kalau semua orang berhak mendapat pelukan. Sedangkan Hara tidak rela kalau adik bimbingannya itu membagi-bagikan pelukan pada siapa saja.
Apalagi cowok.
"Awas aja kalau dia peluk-peluk cowok sembarangan," desis Hara lanjut berjalan menuju tangga.
Pemandangan langka. Aksa bangun sepagi ini dan sudah duduk manis di meja makan. Tidak sambil membaca buku atau main game di ponselnya. Benar-benar duduk tegak dengan mata terpaku ke arah dapur. Mustahil dia tak sabar menunggu sarapannya. Aksa paling malas yang namanya makan.
"Pagi bener lo bangun," sapa Hara sembari menarik satu kursi di samping kembarannya kemudian mengambil sebutir apel Fuji dari mangkuk buah dan menggigitnya.
"Hm. Biasa aja," jawab Aksa tanpa mau mengalihkan pandangan.
"Pagi, Kak Hara," sapa Risa yang berjalan dari arah dapur sambil membawa secangkir teh dan meletakkannya di hadapan Aksa.
"Pagi, Risa," balas Hara.
Tiba-tiba rahangnya berhenti bergerak. Baru sadar ada yang aneh.
Risa ...?
Ia mendongak memastikan matanya tak salah lihat.
RISA?!
Matanya belum rabun. Ia juga tidak sedang berhalusinasi. Risa benar-benar ada di sana. Mengenakan seragam SMA Litarda lengkap dan sekarang balas menatap Hara dengan sepasang mata bulatnya.
"Ngapain lo di rumah gue pagi-pagi gini?!"
Risa cengok. Sebagai gantinya, Aksa mewakili menjawab pertanyaan Hara. "Mama-Papa belum bilang?"
"Bilang apa?" Hara belum reda dari syoknya.
"Kalau mulai sekarang Risa kerja di sini buat masakin gue. Oh, Risa dan ibunya juga akan tinggal di rumah sebelah."
"Rumah sebelah?! Rumah Om Denis?!"
Aksa mengangguk. Hanya dia yang masih terlihat santai di ruang makan itu. "Yang ngontrak sudah selesai minggu lalu dan nggak diperpanjang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bekal Risa
Teen Fiction[TAMAT] Di saat Hara mulai menyadari perasaannya gara-gara sekotak bekal buatan Risa, adik kembarnya--Aksa--muncul menyatakan perasaan pada gadis itu. Hara tertekan. Ia teringat apa kata ibu mereka kalau ia harus mengalah pada adiknya. Hal itu menye...