Bab 9 - Bimbingan

623 98 15
                                    

"Salah."

Ini adalah kelima kalinya Hara mengembalikan jawaban soal Matematika Risa. Kepala Risa rasanya mau pecah. Otaknya mogok berpikir. Mau kabur dari bimbingan itu tapi takut dikejar Hara.

Hara duduk di belakang meja kerjanya, memainkan bass sambil diam-diam memperhatikan Risa. Mulai dari Risa menopang dagu dengan kedua tangannya. Seiring ia bertambah frustasi, kepala Risa terus merosot sampai dagunya menempel di atas meja.

Jari-jari Hara tiba-tiba berhenti memetik bass. Ia tak tahan lagi. "Ngerti nggak sih sebenernya?"

Risa langsung menegakkan tubuh mendengar suara rendah Hara bertanya. Ia bimbang. Di satu sisi ia ingin bilang tidak, di sisi lain ia takut kalau hal itu akan membuat beasiswanya ditarik.

"Ngerti ya ngerti. Nggak ya nggak."

Perlahan Risa menggeleng. Persetanlah dengan beasiswa. Ia tak bisa mengelak. Lima kali ia mencoba mengerjakan soal itu, salah semua.

Di luar perkiraan Risa, Hara tidak marah mendengar jawaban Risa. Cowok itu justru mengambil pulpen Risa dari atas meja dan mulai mengajarkan ulang semuanya pelan-pelan. "Lo kerjain dulu bagian yang ini, lalu hasil akhirnya lo bagi ini."

Oh gitu?

Risa seperti mendapat pencerahan. Buntu di otaknya langsung lega begitu melihat apa yang diajarkan Hara barusan.

"Lanjutin." Hara mengedik sebelum kembali memainkan bass-nya. "Kalau nggak ngerti itu bilang. Jangan pura-pura ngerti."

"Iya, Kak..." Risa berbisik di atas kertas soalnya. Kali ini gerakan pulpennya lancar menggores dari angka ke tanda kemudian angka lagi sampai Risa mendapatkan hasil akhir. "Be...gini?" Risa menyodorkan hasil hitungannya ragu-ragu.

Hara mengamati kertas jawaban Risa sejenak. Sesekali pandangannya beralih pada Risa, membuat Risa semakin gugup.

Sambil menunggu hasil penilaian Hara, giliran Risa yang diam-diam menilai wajah Hara. Pantas teman-teman sekelasnya tergila-gila pada Hara. Bahkan dari sudut pandang yang janggal ini, wajah Hara masih terlihat sangat tampan. Rambut hitam kecoklatan Hara bagian depan sedikit berdiri akibat tadi Hara menyisirnya dengan jari agar tidak menghalangi kening. Dipayungi alis tebal, mata almond Hara punya proporsi yang seimbang, membuka jarak yang tidak terlalu lebar untuk tulang hidungnya. Bibir Hara datar, belum pernah Risa lihat mengembangkan senyum sekalipun.

"Good." Hara mengedikkan alis sambil mengembalikan kertas itu pada Risa.

Risa masih lanjut mengamati. Rahang Hara yang kelihatan tegas dan kokoh pastilah menjadi penyebab Hara kelihatan galak. Ngomong-ngomong ternyata Hara tidak segalak yang Risa pikir.

"Apa?" tanya Hara dingin, sadar Risa menatap ke arahnya terlalu lama.

Risa menggeleng cepat dan membuang wajah. Ia meralat penilaiannya yang terakhir. Risa tetap takut sama Hara.

* * *

Sudah separuh jalan Risa meninggalkan ruang kerja Hara, saat ia tersentak menghentikan langkah. Dia hampir lupa soal paper Sejarah-nya yang bermasalah itu. Kegalauan merundung Risa lagi. Kalau ia ikut menduplikasi tugas milik kakaknya Tia, itu artinya ia melakukan plagiarisme. Kalau ia tidak setuju, ia harus mengerjakan semuanya sendiri.

Tiba-tiba Risa teringat apa pesan almarhum ayahnya. 'Walaupun kita miskin harta, tapi hati kita jangan ikutan miskin.'

Baiklah. Sudah Risa putuskan, ia akan berusaha menyelesaikan paper itu seorang diri malam ini. Risa berbelok ke perpustakaan, tempat ia bisa menumpang mengerjakan tugas itu. Perpustakaan buka sampai jam 7 malam, rasanya sih cukup memberikan Risa waktu asal Risa mengetik dengan cepat.

Tugas ini tidak mudah dilakukan seorang diri. Materi yang harus ia ketik terlalu banyak sampai-sampai jarinya pegal mengetik. Ia pun mengandai. Andai ia dan ibunya punya cukup uang untuk berlangganan internet cepat di rumah, ia tak perlu mendekam di perpustakaan selama berjam-jam. Sinyal internet HP juga tidak begitu baik di rumahnya dan hanya buang-buang kuota saja.

Risa mencengkeram rambutnya. Untung tugas semacam ini cuma satu pelajaran. Kalau dua di hari yang bersamaan, entah sampai jam berapa ia perlu mendekam di sekolah. 15 menit sebelum perpustakaan tutup tapi masih ada sepertiga bagian yang belum selesai. Ingin menangis, sayang air matanya belum cukup banyak untuk menetes.

"Kenapa sih hidup gini amat?" Risa melolong pilu. Perpustakaan nampak kosong, begitu juga dengan meja sirkulasi. Tak ada yang akan mendengar lolongannya. Kecuali...

"Kenapa sama hidup lo?"

Hampir Risa terjungkal dari kursinya, ketakutan mendengar suara laki-laki yang tiba-tiba menimpali. Awalnya Risa kira hantu, sampai si pemilik suara memunculkan diri dari balik rak buku.

6L. Lagi-lagi 'lo lagi, lo lagi', Hara Dhana.

"Kak...Hara...!" Risa gelagapan mendapati kakak bimbingannya berjalan mendekat membawa ransel, bersiap pulang. "Hi...hidup saya...nggak apa-apa..."

"Kenapa masih di sini? Tadi kan udah gue suruh pulang."

Risa menggigit bibir. Tidak mungkin dia bilang sedang main gaplek di perpustakaan kan? "Bikin tugas, Kak."

"Tugas apa?"

"Sejarah."

Hara menunduk untuk melihat layar laptop Risa. Sesekali ia menggulung halaman tugas Risa ke atas kemudian kembali ke bawah agar ia bisa melihat semuanya. "Lo bikin ini sendirian?"

Kepala Risa mengangguk super pelan. Hati kecil Risa berharap Hara memuji usahanya, namun itu tidak kunjung terjadi.

"Bab berapa yang dibahas?"

"Bab dua, Kak..."

Hara berpikir sejenak, mengingat-ingat sesuatu. "Sejarah bab dua kan tugas kelompok?"

Deg! Bagaimana dia tahu? Dia mengunyah seisi silabus atau apa sih?

"Nggak dapet kelompok?" Hara terus mencecar.

"Dapet..." Suara Risa makin lama makin menurun.

"Trus, kenapa lo kerjain sendiri?"

"Karena..." Risa panik, tak bisa menemukan jawaban yang bisa menyelamatkan hidupnya.

"Risa." Hara menjentikkan jari di depan mata Risa, memanggil fokus Risa. "Kenapa lo ngerjain tugas kelompok sendiri?"

Risa menelan ludah. Sepasang mata tajam itu melekat padanya, tak mau pergi sampai ia menjawab pertanyaan pemiliknya. Risa pun tak punya pilihan lain.

"Tapi Kak Hara janji ya nggak lapor Miss Dian?" pinta Risa selesai menceritakan semuanya.

Hara tak bereaksi.

"Kak?" Risa merajuk.

"Ck! Iya!" Walau kelihatan enggan, akhirnya cowok itu setuju juga. "Perpus udah mau tutup. Udah malem. Pulang. Rumah lo di mana?"

"Cilebut, Kak."

"Cilembu?"

Duh, ganteng-ganteng bolot. "Ci-le-but." Risa mengulangi.

"Masih di Jabodetabek?"

"Kak Hara mau ngeledek?" Untuk pertama kalinya Risa yang jengkel.

Hara mengabaikan pertanyaan Risa. Ia mengambil ponsel lalu membuka fitur Google Maps untuk menjawab pertanyaannya sendiri. Kemudian Risa melihat ia memilih menu penunjuk arah dengan titik awal SMA Litarda. Lama perjalanan tercantum 1 jam 30 menit.

"Oke. Naik ke mobil. Gue anter lo pulang."

"Eh?"

Risa melongo. Otaknya perlu beberapa detik untuk menerima kenyataan bahwa seorang Hara Dhana benar-benar menawarkan untuk mengantarkan dirinya pulang.

"EH?!"

Dia serius?

* * *

Bekal RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang