Bab 54 - Ijin

444 79 2
                                    

Risa baru tahu menjadi pacar Aksa sama dengan menjadi gadis favorit Erica. Erica begitu memanjakan Risa seperti anaknya sendiri. Pulang dari Seoul, Erica membawakan Risa puluhan produk kosmetik dan perawatan kulit Korea. Pulang dari Inggris, Erica membelikan Risa parfum mahal (Risa cek di internet, harga sebotolnya 5 juta Rupiah!). Pulang dari Swiss, Erica bawa coklat yang isi serpihan emasnya. Asal wanita itu tidak ke bulan saja. Nanti dia pulang bawa batu sama pasir khusus untuk Risa. Lah, buat apa?

Setiap minggu, Erica mengajak Risa melakukan semua perawatan diri. Mulai dari kuku, wajah, hingga rambut. Kalau sedang bosan, Erica akan memanggil Risa untuk menemaninya sekedar minum kopi atau makan es krim. Di balik sikap bak madam-nya, Erica ternyata adalah sosok wanita yang cukup menyenangkan. Apalagi kalau mereka berdua sudah membicarakan drama Korea terbaru. Hanya saja, menurut Risa, akan lebih baik jika Erica meminta anak sulungnya untuk menemaninya minum kopi. Teringat bagaimana Erica memperlakukan Hara masih membuat Risa sedih.

"Hati-hati."

Risa urung melahap sepotong coklat pemberian Erica akibat peringatan tiba-tiba dari Aksa begitu Erica meninggalkan mereka berdua di ruang tengah. "Coklat ini ada racunnya?"

Aksa tertawa. Tak tahan tangannya untuk mencubit lembut pipi Risa. "Coklatnya nggak apa-apa. My mom won't hurt you, Love. Sekarang kan kamu 'anak kesayangannya'."

Segera Risa memasukkan lagi potongan coklat itu ke dalam mulutnya. Apa pun isi peringatan Aksa, terserah. Risa tak peduli. Yang penting kalau ditanya apa Risa pernah makan emas, Risa bisa bilang pernah. Uhuy!

"Hati-hati sama Saskia."

"Hm?" Risa memiringkan kepalanya sedikit mendengar nama Saskia disebut. "Kak Saskia? Kenapa?"

"Selama ini kan dia cewek yang paling deket sama Mama. Trus sekarang Mama dikit-dikit minta ditemenin kamu. Takutnya si Saskia iri."

"Ah, nggak ah. Kak Saskia masih baik-baik aja. Ibunya Kak Aksa kan juga selalu bawa oleh-oleh buat dia."

Anak ini, beneran polos banget. Aksa bergumam dalam hati. Kepolosan Risa yang seperti ini membuat Aksa semakin menyayangi dan selalu ingin melindungi Risa. "Ya udah, syukurlah kalau masih aman-aman aja. Bagi coklat dong."

Risa menyodorkan sepotong coklat berbentuk kotak. Namun Aksa mengabaikan coklat di tangan Risa dan malah menyasar yang sudah menggantung di bibir Risa. Aksa tiba-tiba mencondongkan wajah. Dengan bibirnya, ia menarik coklat itu. Semuanya terjadi begitu cepat. Sentuhan antara bibir mereka pun tak terhindari.

"Kak Aksa!" pekik Risa.

Risa menepuk lengan Aksa, kaget bercampur malu. Aksa tertawa puas karena berhasil mencuri coklat sekaligus ciuman Risa. Pipi pacarnya kini semerah tomat. Segera Risa mendekap pipi bulatnya dengan kedua telapak tangan untuk meredakan rasa panas yang muncul akibat ulah Aksa tadi.

"Aksa."

Panggilan dari belakang menghentikan tawa Aksa. Hara berdiri di sana, entah sejak kapan. Tidak ada senyum di wajahnya. Belakangan ini Hara jadi jarang tersenyum, membuat Aksa bertanya-tanya. Mungkin terjadi sesuatu dengan hubungan Hara dan Saskia?

Andai saja bukan Saskia yang sedang Hara pacari, Aksa pasti sudah menelepon cewek itu dan mencari tahu. Ya, Hara sangat tertutup soal urusan pribadinya dan hal itu sering membuat Aksa cemas. Kadang sampai jadi seperti main detektif-detektifan. Tapi kalau Saskia, Aksa malas berurusan dengannya. Apa Aksa harus membayar Pak Husni untuk memata-matai Hara?

"Kenapa?" Aksa menyahuti panggilan Hara.

"Papa nggak ngasih lo ikut culture trip ke Jepang."

Petir menyambar kepala Aksa. Berita ini lebih buruk dari kematiannya sendiri. "APA?! WHY?!" teriak Aksa dramatis bak sinetron. Aksa langsung melompati punggung sofa dan berlari untuk mencengkeram bahu kembarannya. "Lo bohong kan?"

Kedua bola mata Hara berputar. "Ngapain gue bohong?"

"Ya kali aja lo lagi nge-prank gue."

Hara menepis tangan Aksa dari bahunya dengan jengkel. "Faedahnya buat gue nge-prank lo apa sih?"

Aksa tidak mau menerima begitu saja berita buruk itu. Dia harus mengeskalasikan hal ini. Bagaimana tidak? Aksa sudah menantikan culture trip bersama Risa ke Jepang. Berjalan menyusuri eksentriknya kota Tokyo, mencicipi kuliner khas Jepang yang pasti Risa suka, dan berciuman di bawah daun momiji (maple) yang berguguran. Bukankah semuanya terdengar seperti skenario musim gugur yang paling romantis?

"Pa! Kenapa aku nggak boleh ikut trip ke Jepang?" Aksa berseru tanpa basa-basi lewat loudspeaker HP-nya.

"Nggak boleh, Aksa. Cuacanya terlalu dingin di sana, terlalu jauh, kegiatannya padat. Papa nggak mau ambil resiko kamu kenapa-kenapa."

Di hadapan Aksa, Hara memberikan tatapan 'tuh-kan-gue-bilang-juga-apa'.

"I'll be okay! Kan ada Hara sama Risa yang jagain aku!"

Sekarang tatapan Hara menyiratkan protes 'kenapa-gue-lo-bawa-bawa'.

"No. That's my decision."

"Why are you being so mean to me?" Aksa terus merengek.

"Oke gini aja." Terdengar helaan napas dari ayahnya. "Kamu boleh ke Jepang tapi ..."

Aksa hampir melonjak kegirangan.

"Habis itu kamu homeschooling lagi."

Semangatnya langsung rontok. Aksa bukan satu-satunya yang tercengang mendengar pilihan yang diberikan Oscar barusan. Bahkan Risa dan Hara pun tak percaya mendengar Oscar mengancam Aksa sekeras itu.

"Oh, ngomong-ngomong, mamamu lagi sama Papa. Jadi jangan coba buat ngerengek ke dia. It's non negotiable."

Aksa menghela napas penuh kekecewaan setelah panggilan terputus. Ia melirik Risa yang dari tadi menontoni mereka dari sofa. Sirna sudah impian Aksa untuk berkencan bersama Risa di Jepang.

"Kak Aksa ..." Risa berjalan menghampiri. Gadis itu mengusap lembut punggung Aksa untuk menenangkannya. "Aku bawain oleh-oleh yang banyak buat Kak Aksa. Trus kalau Kak Aksa udah lebih sehat, nanti kita ke sana berdua ya," suara Risa terdengar selembut kapas di telinga Aksa.

Bibir Aksa awalnya tersenyum kecut. Namun, karena usapan dan perkataan Risa, ia menjadi lebih tenang. Risa benar. Dia tidak boleh ngotot untuk hal sekecil ini dan kehilangan sesuatu yang lebih besar seperti hari-harinya di Litarda. Aksa pun beralih pada Hara yang dari tadi sama sekali tak bersuara menyaksikan drama rengekan Aksa.

"Hara, gue titip Risa ya."

Aksa menangkap pergerakan di mata Hara. Sekilas mata Hara membesar dan ia sempat melirik Risa sebelum keningnya bertaut. "Kenapa gue?" tanya Hara dengan suara parau.

"Karena gue percaya sama lo."

Aksa bersungguh-sungguh mengatakan kalimat itu. Kalau ada di dunia ini yang bisa ia percayakan untuk menjaga Risa, hanya Hara orangnya.

* * *

Bekal RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang