Bab 7 - Membajak Kulkas

637 106 12
                                    

"Aksa!"

Masuk ke kamar Aksa, Hara langsung berlari panik menghampiri saudara kembarnya yang terkapar di atas karpet. Buku-buku berserakan di sekeliling tubuh Aksa. Ponsel Aksa berjarak beberapa meter, sepertinya terlontar. Headset ponsel itu kusut menjuntai dari tangan Aksa. Makanan Aksa pun tak tersentuh di atas meja, masih utuh tertutup.

"Sa! SA!" Hara mengguncang-guncang tubuh Aksa sekaligus berusaha menepis pikiran-pikiran buruk soal keadaan Aksa saat ini.

Setelah beberapa kali guncangan, mata Aksa terbuka perlahan. Lalu bibirnya tersenyum geli menahan tawa.

"Nggak lucu." Hara cemberut, mendorong Aksa lalu duduk merentangkan kaki.

"Gue belum mati, Hara." Aksa mengangkat tubuh, meniru posisi duduk Hara. Mereka berdua duduk dalam diam selama beberapa saat. "Tapi akan mati."

Hara menoleh kaget mendengar lanjutan dari kalimat Aksa. "Jangan ngomong sembarangan ah!"

Aksa menggoreskan sebuah senyum tipis saat melirik Hara. "Semua orang akan mati kan? Hanya...giliran gue akan datang lebih dulu."

"Sa, plis, jangan ngomong soal mati. Gue nggak mau ditinggal sendiri ngadepin Mama," pinta Hara dengan kepala menengadah menatap langit-langit.

"Kalau gue mati, Mama akan balik sayang sama lo kok."

Hara melontarkan dengusan sinis. "Antrean anak kesayangannya panjang, cuy. Ada kalung berliannya, si Snowy, hidung hasil operasinya. Gue entah ada di urutan ke berapa."

Tanggapan Hara berhasil membuat Aksa tertawa. Walau tawa itu lemah, tapi tetap saja Hara bahagia melihatnya. "Makan dong, Sa. Tadi Bi Atun bilang lo nggak mau makan lagi."

"Biar apa sih gue harus makan? Hidup gue juga gini-gini aja. Nggak bisa berkembang lagi. Tinggal nunggu mati." Aksa adalah Hara versi penyakitan. Begitu ia biasa mendeskripsikan dirinya. Buat apa dia bertahan hidup kalau semua penyakit di dalam tubuhnya bersekongkol untuk menggerogoti hidupnya?

"Paling nggak...kita jadi sedikit tenang."

Aksa tersenyum, kali ini bahkan lebih lemah dari sebelumnya. Ia kehabisan tenaga. Menarik napas pun ia lakukan dengan susah payah. "Lo liat makanan gue. Kalau lo jadi gue, lo mau makan itu?"

Hara berjalan menghampiri nampan makanan Aksa. Dibukanya tudung saji penutup piring. Dengan garpu, Hara mencungkil sedikit bagian dari ikan kukus yang ada di sana. Memang agak hambar, tapi bisa dimakan. Begitu juga dengan baby potato yang mendampingi ikan itu.

"Mau ganti chef-nya lagi? Nanti gue bilang Papa." Hara jadi iba pada nasib chef itu. Baru juga seminggu bekerja di rumah itu, sudah harus angkat kaki.

Sambil merangkak memungut ponselnya dari atas lantai, Aksa menggeleng. "Mau siapa pun chef-nya, sama aja."

Hara mengerutkan kening. "Maksud lo?"

"Yang gue pengen bukan makanan enak, tapi makanan yang bisa memberi gue semangat hidup."

Hara berdecak keras. Mereka kembar. Satu jiwa dalam 2 tubuh berbeda. Menebak apa isi kepala Aksa tidaklah sulit. "Basa-basi lo. Gue tahu apa yang lo mau."

* * *

"Kalau ketahuan Papa, leher gue pasti digorok," gerutu Hara saat membuka pintu kulkas yang paling bawah.

Aksa terkikik, lehernya menjulur mengintip isi kulkas dari belakang punggung Hara. "Nah! Itu!" seru Aksa. Telunjuknya menunjuk ke arah sebuah botol semprot di sisi kanan, dekat karton susu.

Ya. Aksa cuma mau cheese spread semprot oleh-oleh Saskia dari Amerika. Semenjak botol itu nangkring di kulkas, Aksa sering buka-tutup kulkas. Hampir lima belas menit sekali. Belum lagi saat melihat Hara menyemprotkan keju itu di atas cemilannya, Aksa tak sadar mulutnya menganga. Beberapa kali Hara memergoki air liur Aksa hampir menetes.

Aksa tak berani mengambil botol itu sendiri. Pak Husni, kepala asisten rumah tangga mereka akan langsung mengadu pada ibunya. Kalau minta tolong Bi Atun dan ketahuan, besoknya Bi Atun bisa dipecat. Hal itu sudah terjadi pada asisten rumah tangga mereka sebelumnya yang Aksa peralat untuk membuatkan Aksa semangkuk mie instan. Padahal Aksa sudah berhati-hati, tapi tetap ketahuan Pak Husni. Aksa jadi curiga Pak Husni sebenarnya adalah mantan intelijen profesional.

Tapi kalau Hara, Pak Husni masih segan. Mungkin karena ketika Hara marah, dia sama mengerikannya dengan ayah mereka.

"Pak Husni mana?" Aksa celingukan, takut pria itu mengintai dari salah satu sudut dapur.

"Gue suruh ngambil laundry-an Mama," jawab Hara singkat.

Mendengar kabar baik itu Aksa tanpa ragu menyambar botol keju dan menjungkirkan botol itu di atas mulutnya yang terbuka lebar.

"Jangan langsung dari botolnya, bego!" Hara segera merampas benda tersebut dari tangan Aksa. Hara mengajak Aksa ke meja makan untuk merogoh beberapa keping biskuit tawar dari dalam toples. "Pakai biskuit," nasehat Hara sembari menyemprotkan keju secukupnya di atas kepingan biskuit itu.

"Memangnya kenapa kalau langsung dari botol?" tanya Aksa dengan tangan menengadah, siap menerima biskuit dari Hara.

"Pertama, kebanyakan. Kedua, jorok tau!"

Aksa hendak protes, namun ia memutuskan untuk menelan protesnya. Dia masih perlu berkomplot dengan Hara untuk hal-hal seperti ini di kemudian hari.

"Tadi ada acara apa di sekolah? Kenapa pakai baju kaos dan celana jins?" Aksa penasaran dengan pakaian Hara yang tidak biasa. Kalau tidak ada latihan band atau sepak bola, Hara paling malas ganti baju di sekolah.

Awalnya Hara enggan menjawab, tapi kekesalan yang menumpuk karena kejadian pagi tadi tak sanggup ia tahan lagi. Ia perlu memuntahkan semuanya dan Aksa adalah orang yang tepat. Selama ini ia selalu menjadi pendengar yang baik.

Hara salah.

"Kurang ajar," desis Hara menyaksikan kembarannya terpingkal tanpa henti setelah mendengar ceritanya, sampai-sampai hampir tersedak biskuit.

"Jadi, cewek itu ngelempar tas bekalnya dari balik tembok trus bungkus supnya mendarat di atas kepala lo?" Aksa mengonfirmasi.

Hara tak menjawab, cuma memasang muka masam.

"Dan sekarang cewek itu jadi adik bimbingan lo?"

Lagi-lagi Hara bungkam. Menurut Hara, ceritanya tadi sudah cukup jelas.

"Wah, wah..." Aksa berdiri memberikan standing applause. "Aku salut pada cewek itu. Siapa namanya?"

"Risa," jawab Hara ketus.

"Risa..."

Aksa duduk lagi. Tawanya reda, menyisakan sebuah senyuman. Pandangannya berkelana jauh, mencoba menyusun sosok Risa di dalam benaknya menurut deskripsi Hara barusan.

"Pasti menyenangkan berteman dengannya," gumam Aksa tanpa menurunkan senyumnya.

* * *

Bekal RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang