Bab 25 - Jackpot

550 93 5
                                    

"Yakin nggak mau beli ayam goreng?" Aksa menawarkan lagi saat mereka melewati depan kedai penjual ayam goreng.

"Nggak usah, Kak. Aku makan di rumah aja."

Bau sedap ayam bercampur bumbu penyedap menggelitik hidung Risa. Tapi Risa tak tega makan itu di samping Aksa. Dia yang tidak ada pantangan saja bisa merampok ayam goreng orang kalau mencium bau itu di sekitarnya. Apalagi Aksa yang lidahnya mungkin tak pernah merasakan sedapnya ayam goreng itu sekali pun.

Saat Risa lengah, dua orang cewek menarik aksa. Mereka mengenakan topi Lentera Cipta, nampaknya habis menonton pertandingan yang sama dengan mereka. "Hara ya? Foto bareng dooong!"

Risa hendak membuka mulut untuk mencegah mereka, namun Aksa menempelkan telunjuk di depan bibirnya sendiri. Dengan senyum jahil dan sesekali menahan tawa, sepertinya Aksa menikmati perannya sebagai Hara gadungan.

"Kak Aksa jahil banget ih," ledek Risa saat dua cewek tadi sudah pergi dengan girangnya.

Sambil mengajak Risa terus berjalan, Aksa menyahut, "Sebenarnya aku beneran ingin jadi Hara. Jago olahraga, banyak fansnya. Dulu kami imbang. Aku si otak, Hara si otot. Aku selalu juara kelas, rajin ikut lomba pelajaran, pokoknya kata ibuku masa depanku begitu cerah. Dia bahkan sudah menyiapkan jalur pencapaianku sampai MIT (Massachusetts Institute of Technology) dan aku di-brainwash agar menjadi pendiri startup IT yang sukses

"Lalu, aku tumbang. Sebenarnya dokter nggak pernah bilang aku nggak boleh sekolah. Tapi karena aku bolak-balik masuk rumah sakit, akhirnya kedua orang tuaku memutuskan aku homeschooling aja. Angan-angan Mama untuk punya anak jenius hancur berkeping-keping."

Alih-alih turun ke lantai dasar, Aksa mengajak Risa naik eskalator dan memutari seisi lantai sembari terus bertutur.

"Anehnya, dia menjadikan Hara kambing hitam. Menurut Mama, Hara nggak pernah peduli sama kondisiku. Papa pernah marah besar dengan sikap Mama yang berat sebelah. Sekarang kalau ada Papa, Mama nggak akan berani. Tapi kalau Papa sedang nggak ada, Hara pasti habis kena marah. Sering kali tanpa sebab yang jelas. Hujan aja bisa jadi salah Hara.

"Hara dulu benci sekali belajar. Di otaknya cuma main bola, main musik, sama main game. Tapi sejak melihat keadaanku dan terus menjadi sasaran kemarahan Mama, Hara berusaha mati-matian belajar untuk menggantikan posisiku sebagai si otak. Sayang, sikap Mama nggak berubah. Bahkan Hara dapat nilai tertinggi se-Indonesia untuk Ujian Nasional pun Mama nggak peduli.

Satu lantai lagi. Entah Aksa sengaja mengajak Risa ke suatu tempat di mall itu atau dia hanya tak sadar terus melangkah, larut pada ceritanya sendiri.

"Aku benar-benar kasihan sama Hara. Aku tahu, jauh di dalam hati Hara dia sayang banget sama Mama. Semua orang takut aku menyerah terhadap hidupku. Tapi aku lebih takut Hara menyerah terhadap keluarga ini."

Sekarang Risa sudah mendengar versi lengkap cerita itu, baik dari sisi Hara maupun Aksa. Keduanya sinkron dan punya benang merah yang sangat menyentuh: Hara dan Aksa sama-sama mengkhawatirkan satu sama lain.

Risa tahu dia tidak serta merta bisa mengubah keadaan. Tapi ada satu hal yang bisa ia lakukan.

"Kak Aksa mau jago olahraga apa?"

Kening Aksa mengerut. Sedikit keras ia berpikir. "Umm...paralayang?"

Seketika mata Risa berubah datar. "Apa pula itu. Yang gampang dong."

Aksa tergelak melihat respon kesal Risa. "Basket deh, basket."

"Oke!"

Tanpa peringatan, Risa menarik tangan Aksa. Aksa pasrah saja membiarkan Risa membawanya ke sebuah arena permainan. Sampai depan kasir isi ulang kartu, wajah Risa kusut melihat isi dompetnya. Cuma 50.000. Dia lupa kalau tadi siang beli perlengkapan rumah di supermarket dekat rumah.

Bekal RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang