Bab 63 - Harajuku

467 85 7
                                        

Saskia tidak ada di sana. Hara menghitung, semua rombongan Litarda sudah mendahului mereka. Kini ia leluasa menggenggam tangan adik bimbingannya, berjalan lambat-lambat menyusuri Jalan Takeshita daerah Harajuku. Sebenarnya ia tak peduli lagi apa kata anak-anak Litarda. Tapi sebisa mungkin Hara menjaga perasaan Risa. Cewek itu tampak masih risih ketika anggota rombongan berbisik di belakang punggung mereka.

Sore ini lebih hangat dari kemarin. Hara tidak memerlukan syalnya, sehingga ia menyimpan benda itu di dalam tas. Mantelnya pun ia tenteng, menyisakan selembar v-neck sweater yang tidak terlalu tebal. Risa masih lengkap dengan mantel dan leher terlilit syal wol tebal. Dia lebih tidak tahan dingin dibanding Hara. Wajar saja. Dengan tubuh semungil itu dan baby fat yang hanya menumpuk di pipi, bagaimana mungkin Risa bisa menghangatkan dirinya sendiri?

"Waa! Kak, toko ini jualan apa? Kostum Halloween ya?"

Hara menatap nanar toko yang ditunjuk Risa. Toko itu menjual lingerie berbagai karakter. Kelinci, kucing, suster, polisi ... Astaga!

"Beli crepes, yuk. Gue laper." Hara segera menyeret Risa pergi dari sana sebelum ia mulai berpikir yang macam-macam.

Tempat crepes pilihan Hara begitu populer. Antriannya cukup mengular. Namun, bersama Risa, mengantri panjang pun tak terasa. Hara memesan satu strawberry cream crepes untuk Risa dan satu peach melba untuk dirinya sendiri. Mereka duduk di bangku kecil milik kedai itu, menyantap crepes sambil mengamati berbagai macam orang yang berseliweran di depan mereka.

"Kak! Kak! Lihat! Yang itu rambutnya kayak landak!" Risa berseru girang melihat seorang remaja dengan gaya rambut duri-duri berwarna oranye.

"Jangan ditunjuk. Nanti dikira ngajak berantem," Hara asal memberi peringatan.

"Lho? Sama dong kayak di Cilebut. Kalau ada anak punk trus kita tunjuk-tunjuk, pasti marah dikira ngajak berantem."

Hara mengulum senyum geli. Cilebut, lagi-lagi Cilebut. Anak ini dipenuhi referensi soal Cilebut.

"Jangankan anak punk. Si Snowy kalau lo tunjuk-tunjuk juga bisa tersinggung."

"Ih, anjing lo mah sultan bener." Risa langsung berpaling pada satu lagi orang yang berpakaian aneh kebetulan lewat di depan mereka. "Yang itu! Gue tau yang itu mirip apa!" Kali ini dia tidak menunjuk, teringat teguran Hara barusan.

Risa bicara soal seorang perempuan berambut afro warna hijau dengan blus putih penuh kilau dan rok balon warna-warni seperti permen. Tumit sepatu perempuan itu setebal batu ulekan.

"Mirip apa?" Hara menantang imajinasi Risa.

"Es campur! Rambutnya kayak es serut disiram sirup melon ..."

Kalau Hara tidak cepat-cepat mendekap mulutnya, tawa Hara bisa lepas ke mana-mana. Risa masih meracau mendeskripsikan perempuan tadi dengan selera humornya yang receh. Receh, tapi Hara suka.

Hara selalu suka.

* * *

Dua puluh kali!

Risa menghitung berapa kali kakak bimbingannya tersenyum hari ini. Totalnya dua puluh kali. Rekor! Setahu Risa Hara Dhana tak pernah tersenyum sebanyak itu. Paling satu-dua kali sehari, itu pun sekedar menarik bibir. Sekarang sedikit-sedikit Risa melucu, bibir Hara ringan mengayun senyum. Kadang mata Hara sampai menyipit. Risa cukup takjub dengan kemampuan humornya sendiri.

Tapi Risa tetap kena marah.

"Risa! Jangan tiba-tiba ngilang gitu dong!" panggil Hara begitu bisa menemukan Risa di depan sebuah arena permainan. Masih tersisa seberkas kepanikan di wajah cowok itu. Risa jadi merasa bersalah.

Wajar Hara panik kalau Risa tiba-tiba tidak ada di sampingnya. Jalan Takeshita penuh sesak dengan manusia. Tubuh mungil Risa akan dengan mudahnya tenggelam dan terseret arus.

"Maaf, Kak ... Tadi gue lihat ada yang bawa boneka besar banget dari sini. Ternyata game arcade." Risa menunjuk sebuah mesin capit berisi boneka-boneka berukuran jumbo. Seorang remaja laki-laki baru saja gagal mencapit boneka yang beruang berwarna putih.

Hara menatap mesin capit itu dan Risa bergantian, kemudian mengait tangan Risa dan membawanya masuk game arcade tanpa sepatah kata pun. Pada mesin penukar uang otomatis, Hara mendorong selembar uang 10.000 Yen.

"10.000?! Kak! Banyak banget!"

Hara tak menggubris. Omelan Risa tertutup bunyi gemerincing mesin yang tak henti-hentinya memuntahkan koin 100 Yen. Saking berisiknya, sampai-sampai gerombolan anak SMA yang sedang bermain di dekat mereka menoleh.

Dari samping mesin, Hara mengambil keranjang kecil. Dengan tangannya, ia menyerok semua koin dari mesin ke dalam keranjang. "Yuk." Hara mengajak Risa menjajaki salah satu mesin. Hara menyingsingkan kedua lengan sweater yang ia kenakan, siap tarung dengan si mesin capit.

15 menit kemudian ...

"Kak ... Nggak usah dipaksain ..." Risa memberi saran yang masuk akal setelah melihat wajah sengit Hara karena capit mesin itu tak henti-hentinya menjatuhkan boneka pilihan Hara.

"Nggak, itu dikit lagi kok!" Hara masih keras kepala.

10 menit lagi berlalu, tak satu pun boneka mereka dapatkan. Bukan takut kehabisan uang. Hara Dhana tak akan jatuh miskin cuma gara-gara mesin capit. Risa takut cowok itu meninju kaca mesin saking kesalnya.

"Atau gini aja, Kak ..." Risa menempelkan wajahnya di kaca mesin, mengecek sesuatu di dalam sana. "Kayaknya muat deh ..."

"Apanya muat?" Hara menyahuti gumaman Risa.

"Lubangnya. Kayaknya gue muat masuk ke dalam sana."

Hara urung mendorong sekeping uang logam ke lubang di dekat tombol. Sesaat Risa melihat bibir Hara bergerak seperti mengulum sesuatu. Namun akhirnya cowok itu lepas kendali juga. Tawanya terdengar nyaring. Hara Dhana bahkan tak sempat menutup mulutnya seperti yang biasa ia lakukan.

"Gila lo ya? Masa mau masuk ke dalam mesinnya?"

Risa membiarkan Hara meremas kedua pipinya seperti adonan kue. Apa pun itu, demi terus melihat kakak bimbingannya tertawa. Ya, Hara Dhana terus tertawa. Bukan hanya sekedar tawa singkat yang dipaksakan, tapi benar-benar tertawa. Hara sampai sempat menyeka rembesan air di sudut matanya.

Risa terbawa tawa Hara. Bukan karena ia geli dengan idenya sendiri, melainkan karena merasa menyenangkan bisa membuat Hara bahagia. Menanggalkan rasa malunya, Risa pun mendorong tubuhnya untuk memeluk pinggang Hara erat-erat.

Teruslah tertawa, kakakku sayang.

Dari atas wajahnya, Hara sempat terkejut dengan apa yang Risa lakukan. Namun tak lama, Hara membuka tangan membalas pelukan Risa lebih erat.

***

Bekal RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang