Mata Hara memicing menembus kerumunan mencari sosok Risa. Ia penasaran adik bimbingannya itu akan berlari pada giliran ke berapa. Hara pernah mengejar Risa saat anak itu kabur dari jadwal bimbingan pertamanya. Larinya cukup cepat. Ia yakin di pertandingan ini Risa akan lebih baik dari paling tidak separuh peserta.
Risa di pinggir lapangan, sempat menyadari tatapan Hara namun cepat-cepat gadis itu membalik tubuh. Ada apa dengan Risa? Hara bertanya-tanya. Tadi pagi dia menolak turun dari mobil Hara. Di lapangan pun ia bahkan tidak mau bertemu pandang dengan Hara. Lalu saat Hara dikerumuni semua orang setelah berhasil memenangkan pertandingan, Risa justru menjauh.
"Risa, semangat ya!"
Seruan Reo otomatis membuat kepala Hara menoleh. Dan Risa tersenyum. Wajahnya cerah menanggapi ucapan Reo tadi. Haruskah ia mencoba hal yang sama?
"Risa!"
Berhasil. Risa mendengar suaranya. Sekarang Hara bingung bagaimana harus memberi semangat tanpa perlu kelihatan norak.
"Lari yang bener!"
Hening. Tidak hanya Risa, tapi seisi lapangan langsung senyap. Entah kenapa suasana jadi tegang. Risa pun menampakkan wajah meringis ingin menangis. Teman satu tim Risa yang menjadi pelari pertama sampai harus keluar dari lapangan untuk menenangkan Risa.
Reo menyenggol lengan Hara. "Jangan galak-galak sama anak lo, kenapa sih?"
Eh? Apa ada yang salah dengan ucapannya barusan?
* * *
Tim Risa dalam kepanikan. Walaupun pelari pertama mereka adalah yang kedua berhasil menyerahkan tongkat estafet, tapi 3 pelari berikutnya benar-benar payah. Hara bisa melihat mereka berusaha sekuat tenaga, tapi tetap saja mereka terlalu lambat.
Celaka. Beban terberat ada di Risa.
Wajah adik bimbingannya cemas, menanti tongkat estafet yang tak kunjung tiba. Hanya sisa Risa yang belum berlari.
"RISA!" teriak Hara lantang.
Kepala Risa cepat menoleh ke arah Hara. Matanya nanar, mungkin takut kena bentak seperti sebelumnya. Maka, Hara memutuskan untuk tidak mengeluarkan sepatah kata pun, melainkan isyarat 'semangat' dengan tangannya.
Ketakutan di wajah Risa mendadak sirna. Sebagai gantinya ada senyum manis mengembang di wajah itu tepat sebelum tongkat estafet tiba di tangannya.
Tenggorokan Hara tercekat, dadanya berdengup kencang. Untuk pertama kalinya Hara tak bisa mengatur napasnya sendiri. Ada apa ini?
"Wuahh! Risa kenceng banget larinya!" Reo mengguncang tubuh Hara ketika Risa berhasil melesat mendahului dua tim lawan sekaligus.
Ya, pasti karena itu. Karena Hara terlalu tegang menonton pertandingan Risa.
Seisi lapangan mendadak menaruh minat pada Risa. Sebelumnya, semua orang meremehkan kemampuan Risa karena tubuhnya yang mungil. Nyatanya lari Risa yang tercepat. Mengejar jarak yang sejauh itu dengan lawan mereka seakan bukan masalah yang besar.
Bahkan timnya sendiri pun tak bisa mempercayai apa yang mereka lalui. Cewek-cewek yang tadinya duduk pasrah karena kehilangan harapan menang, sekarang melompat berdiri dan berteriak paling keras. "GENGS! TIM KITA BISA MENANG NIH!" jerit gadis yang berambut ikal pendek histeris.
"GO, RISA! GO!" Mereka berempat menyerukan yel-yel mendukung Risa, diikuti semua warga kelas X-Delta.
Hanya suara Hara yang tidak terdengar. Rahangnya terkunci, terlampau tegang. Ayo, Risa! Ayo! Akhirnya Hara memilih berteriak dalam batin.
Risa memacu larinya di tikungan lintasan. Keputusan yang tepat karena sekarang ia jadi sejajar dengan si posisi pertama.
"KARISA AULIA! LO PASTI BISA!" teriakan Hara lolos juga melalui rongga mulutnya. Sayang, semua orang meneriakkan nama Risa. Suara Hara tenggelam.
Tass! Risa berhasil menembus pita garis finish lebih dahulu. Pendukung Risa menggila. Gadis itu melakukan selebrasi yang lucu dengan mengangkat kedua tangan kemudian memantul-mantulkan langkahnya di depan semua orang, sebelum ia tenggelam dalam pelukan rekan setimnya.
"Perhatian, semua!" Mr. Abdul mencoba meredakan kericuhan. "Kalau melihat dari selisih waktu, tim ini sudah pasti menang."
Risa dan timnya bersorak girang.
"Tapi saya mau tawarin satu hal. Kalau berhasil lompat tinggi, saya tambahin vouchernya lagi 1 juta."
Lapangan kembali riuh, mengelukan kata, "Lompat! Lompat! Lompat!"
Satu per satu tim Risa menggeleng mundur. Sisa Risa yang belum memberikan keputusan. Risa bimbang. Nampaknya gadis itu tidak yakin dengan kemampuan lompat tingginya. Di saat itulah Risa menoleh ke arah Hara dan keningnya menekuk. Apa Risa sedang meminta pertimbangannya?
Hara tahu percuma bersuara. Lapangan terlalu berisik untuk Risa bisa mendengar suara Hara. Maka Hara pun hanya mengangkat alis dan mengedikkan kepala, berharap adik bimbingannya itu paham kalau keputusan ada di tangannya sendiri.
Risa tersenyum lagi, kemudian berkata, "Lompat deh, Pak."
Hara terkejut dengan keputusan Risa. Anak itu mau lompat? Yang benar? Hara pikir Risa akan mundur.
Risa memusatkan pandangan pada mistar. Sekilas Hara melihat Risa menggigit bibir, mungkin meragukan keputusannya.
Kecemasan menghantui Hara, hampir membuatnya gila. Dari pinggir lapangan ia mematung dengan tangan terlipat menunggu Risa mengambil ancang-ancang. Ini lebih tegang dari pertandingan tadi. Lompat tinggi adalah salah satu cabang atletik yang tersulit terutama bagi pemula. Tidak banyak yang berhasil melakukannya.
Kalau saja Risa tidak mulai berlari, Hara pasti sudah menghambur ke lapangan demi menarik Risa keluar lapangan. Ia tak mau gadis itu berakhir cedera.
Selama beberapa detik, Hara rasanya kehilangan kesadaran menyaksikan Risa berhasil melambung melewati mistar dengan sempurna. Di tengah jeritan penonton, Hara satu-satunya yang masih terpaku. Butuh beberapa saat untuk ia kembali lagi pada realita, sampai Risa memanggil namanya.
"Kak Hara! Lihat kan tadi? Gue juga menang!"
Hara tahu Risa meledek untuk membalas bentakan Hara sebelum pertandingan. Tapi ia tidak marah. Malah Hara tidak kuasa menahan tarikan di bibirnya, padahal biasanya Hara paling anti mengumbar senyum.
Ia bangga. Bangga sekali pada anak itu. Melebihi dirinya sendiri.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Bekal Risa
Teen Fiction[TAMAT] Di saat Hara mulai menyadari perasaannya gara-gara sekotak bekal buatan Risa, adik kembarnya--Aksa--muncul menyatakan perasaan pada gadis itu. Hara tertekan. Ia teringat apa kata ibu mereka kalau ia harus mengalah pada adiknya. Hal itu menye...