Risa gelisah bukan main ketika panggilan boarding terdengar untuk penerbangan mereka. Ada satu rahasia yang belum diketahui siapa pun kecuali ibunya.
Risa takut terbang.
Pada dasarnya Risa memang takut ketinggian. Dan terbang di ketinggian puluhan ribu kaki adalah a whole new level untuk ketakutannya itu. Ditambah lagi dengan segala goncangan dan jarak tempuh yang berjam-jam. Membayangkannya saja sudah membuat Risa stres.
Mengobrol dan tertawa bersama teman-temannya tadi sempat membantu Risa melupakan rasa takut itu. Hingga semua orang sibuk dengan proses boarding. Risa menatap ke arah runway dari dinding kaca garbarata. Gelap. Tentu saja, mereka kan take off tengah malam. Dan sampai pesawat nanti, semua orang pasti tidur. Tidak ada yang bisa Risa ajak bicara. Yang akan tersisa hanya Risa seorang diri berkutat menenangkan diri.
Risa mengikuti petunjuk pramugari. Kursinya berada di kabin bagian tengah, dekat jendela. Belum ada siapa-siapa yang duduk di sana. Segera saja Risa menyimpan tas ranselnya di bagasi atas dan duduk memasang sabuk pengaman. Risa menyeluk sebutir obat anti mabuk udara yang diberikan ibunya. Kata ibu Risa, obat itu akan membantu Risa terlelap sepanjang penerbangan. Hanya pada obat itu Risa bergantung. Ia pun mengambil sebotol air minum yang telat tersedia di kantong kursi dan menelan pil putih kecil di tangannya. Pahit sekali, tapi apa boleh buat.
Risa mengamati satu per satu anggota rombongan mengambil tempat duduk mereka sesuai nomor kursi di boarding pass. Anak X-Delta semua ada di baris belakang belakang Risa. Saskia, Oryza dan Reo di dua baris di depan. Sekilas Saskia tampak sangat kecewa. Entah karena dia akan jadi obat nyamuk bagi dua sejoli Reo dan Oryza atau dia tidak duduk sebaris dengan Hara.
Lalu masuklah Hara Dhana.
Cowok itu terus berjalan melewati kursi Saskia, tanpa menggubris wajah cemberut pacarnya. Hara fokus membaca nomor kursi yang tertera di atas dan mencocokkan nomor-nomor itu dengan boarding pass di tangannya.
Kemudian ia berhenti di baris kursi Risa. Risa sudah bersiap kena marah lagi. Mungkin saat ia sibuk gelisah tadi, ia tak sengaja melakukan kesalahan. Namun Hara tidak berkata apa-apa. Seperti Risa, Hara Dhana menyimpan tas ranselnya di ruang bagasi yang sama.
Dan duduk di samping Risa.
"Kak Hara duduk di sini?" tanya Risa tak percaya.
Hara tidak menjawab, hanya menunjukkan boarding pass-nya. Benar. Hara memang duduk di samping Risa. Kebetulan macam apa ini? Seorang penumpang lain mengisi kursi kosong pada baris mereka dekat lorong. Hara langsung mematikan ponselnya, menyeluk kantong kursi untuk mengambil headphone dan mulai mencari tontonan pada layar hiburan.
Sisa Risa yang tambah panik. Hara Dhana adalah orang terakhir yang ia harapkan untuk tahu soal ketakutannya. Ia tak mau terlihat bodoh dan kampungan di depan kakak bimbingannya. Apalagi kalau nanti Hara sampai melapor pada Aksa.
Ayo, tidur! Risa, tidur!
Sebentar lagi saatnya lepas landas, tapi obat yang ia minum tidak bereaksi sama sekali. Celaka. Kalau Risa sampai melek sepanjang penerbangan, bisa dipastikan energinya akan habis saat mendarat nanti.
"Kenapa lo?"
Risa terkejut mendengar suara Hara. Mata Hara sudah tertuju pada tangan Risa yang mencengkeram lengan kursi terlalu kuat. "Ng-nggak apa-apa, Kak ..." Risa mencoba mengelak.
Tapi gagal.
Hara terlanjur melepas headphone dari telinganya, mengabaikan tayangan film di layar hiburan hanya untuk mengawasi Risa. "Lo keringetan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bekal Risa
Ficção Adolescente[TAMAT] Di saat Hara mulai menyadari perasaannya gara-gara sekotak bekal buatan Risa, adik kembarnya--Aksa--muncul menyatakan perasaan pada gadis itu. Hara tertekan. Ia teringat apa kata ibu mereka kalau ia harus mengalah pada adiknya. Hal itu menye...