Bab 72 - Gaduh

560 91 8
                                    

Minggu lalu ...

"Kata Ayumi tadi lo nelpon gue?"

Hara muncul di layar ponsel Aksa. Ia bicara sembari menanggalkan syal dan mantel tebal kancing tanduk dari badannya, menyisakan sweater tipis berwarna abu-abu. Ia memasang bluetooth headset di kedua telinganya. Audio otomatis beralih dari pengeras suara ponsel ke headset itu.

"Dari mana lo?" Aksa memantul-mantulkan bola tenis mainan Snowy di tangannya, mulai tidak sabar menunggu Hara untuk berfokus pada omongannya. Kalau Hara ada di hadapannya sudah ia timpuk jidatnya dengan bola itu.

"Perpus," jawab Hara singkat. Sekarang Hara menuang air minum dari sebuah wadah air besar warna hijau ke mug, lalu meminum air itu.

Aksa melirik jam tangan di pergelangan tangan kanannya. "6 jam? Perlu 6 jam buat lo nelpon balik? Sibuk amat," sindir Aksa keras.

Hara meletakkan kembali mug di tangannya ke atas meja, masih belum sadar kekesalan Aksa yang sudah di ubun-ubun. "Ya gue kira nggak penting. Biasanya kalau penting lo bakal WA tiap 5 menit."

"Penting. Banget. Tapi gue terlanjur kesel sampe males nge-WA lo."

Kening Hara mengerut, mulai bertanya-tanya ada apa dengan Aksa. "Kenapa sih lo? Tiba-tiba marah-marah."

"Ya gue marahlah. Tadi gue nelpon lo trus ada cewek ngangkat bilang lo lagi mandi."

"Si Ayumi?"

Aksa semakin melotot mendengar Hara menyebut nama itu kedua kalinya. "Gue nggak peduli siapa namanya! Itu cewek lo?"

Hara terpingkal mendengar pertanyaan Aksa, sampai-sampai kepalanya menengadah dan tubuhnya berguncang keras. "Ayumi itu cucu Nenek dari suaminya yang Jepang. Tadi gue titip bilang kalau lo yang nelpon, tolong angkatin."

Aksa berdecak keras. Jawaban Hara sama sekali tidak mencerahkan situasi mereka. "Masalahnya," Aksa menuding layar ponselnya sendiri tepat di mata Hara, "masalahnya, bego, pas video call tadi gue lagi sama Risa. Si Risa kaget liat ada cewek ngangkat telpon lo. Dia kayaknya salah sangka trus pergi gitu aja."

Wajah Hara sepucat kertas. Tawanya tidak bersisa sama sekali. Yang ada hanyalah cemas bercampur panik. "Serius lo?"

Aksa cuma menontoni kembarannya tanpa menjawab.

"Gue telpon Risa deh buat jelasin—"

"Nggak semudah itu sekarang, Har. Risa berubah sejak lo pergi. Tiap hari murung. Gue nggak tega liat dia terus kayak gitu. You really need to fix this. Gimana pun caranya."

Hara tak paham apa yang Aksa ucapkan barusan. "Tapi dia selalu kedengeran baik-baik aja tiap kali gue call."

"'Kedengeran'?" Aksa mendengus sinis. "Lo tau nggak dia sempet beberapa minggu nggak berani masuk sekolah? Ibunya sampe ngomong ke Mr. Lee mau mindahin Risa dari Litarda."

Akhirnya Aksa menceritakan semua hal yang menimpa Risa pasca kepergian Hara. Tiap bagian dari cerita Aksa serasa menusukkan satu pedang di ulu hati Hara. Tatapan Hara dipenuhi kelirihan. Lama Hara terdiam untuk mencerna semuanya. "Ke ... Kenapa lo baru ngomong ke gue sekarang?"

"Karena Risa nggak mau lo khawatir. Dia minta semua orang buat nyembunyiin ini dari lo."

Hening lagi. Hara bahkan tidak sanggup berkata-kata. Kedua tangan Hara terkepal erat di atas paha. Ia belum pernah sefrustasi ini. Ia tak menyangka kalau di balik wajah ceria Risa yang menyambut video call darinya, tersimpan luka dan tangis. Namun Hara tidak ada di sisi Risa untuk mengobatinya.

Bekal RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang