Risa menggigit bibir. Hal yang paling anak itu takutkan sepertinya terjadi. Hara meminta gambaran detail apa yang Risa rasakan dari penampilannya.
"Kenapa lo nangis tadi?"
"Memangnya gue ada nangis?"
Hara memutuskan tak bersuara lagi. Mereka kembali diselimuti kesunyian. Tanpa musik, hanya deru mesin mobil yang menemani. Lebih baik begini, pikir Hara. Daripada mereka memaksakan diri bicara dan akhirnya mengganggu konsentrasi menyetirnya. Beberapa kali Hara sadar Risa meliriknya lewat sudut matanya. Hara tetap mengabaikannya.
Mobil Hara terparkir di pekarangan rumahnya. Hara menunggu Bi Atun masuk ke dalam rumah setelah mengunci pintu gerbang. Sengaja ia tidak mematikan mesin mobil karena ia belum berniat turun. Di sanalah mereka, duduk membisu selama beberapa saat.
"Gue tanya sekali lagi. Kenapa lo nangis tadi?" Hara mengulangi pertanyaannya, tanpa bermaksud meneror Risa sama sekali.
Risa yang masih belum menjawab membuat Hara menghela napas.
"Kalau gitu gue ganti pertanyaannya. Selama ini lo takut sama gue?"
"Kadang ..." Risa akhirnya menjawab, walau hampir tak terdengar.
"Tadi siang Aksa marahin gue."
Risa menoleh terkejut. "Serius?"
Hara mengangguk. "Dia marah besar. Katanya gue terlalu kasar sama lo."
"Ng—nggak kok, Kak! Gue nggak pernah ngerasa Kak Hara kasar sama gue!"
Hara tersenyum lirih. Ia tak tahu apa benar seperti itu atau Risa hanya mencoba menghiburnya. "Yang jelas sekarang gue tahu apa persepsi orang terhadap sikap gue ke elo."
Hara menelan ludah, mendorong punggungnya bersandar pada kursi. Kedua tangannya melipat di depan dada. Sikap standar Hara di mobil kalau sedang berpikir keras.
"Risa, jangan maksain diri lo nyaman dengan sikap gue kalau lo memang nggak suka. Atau kalau sikap gue secara norma memang salah. Seperti yang tertera di peraturan sekolah, lo boleh mengajukan keluar dari bimbingan gue sewaktu-waktu kalau memang lo ngerasa nggak cocok. Gue nggak akan bisa seramah dan sebaik Aksa—"
"Kak Hara, boleh berhenti ngomong bentar dan dengerin penjelasan gue, nggak?"
* * *
"Gue nggak peduli apa kata orang, Kak. Gue nggak mau lagi didiemin kayak kemarin."
Risa berharap Hara paham kalau kata 'kemarin' yang Risa ucapkan bukan hanya merujuk pada hari kemarin, tapi juga beberapa minggu belakangan ini yang begitu menyiksa Risa.
Kalimat terakhir Hara barusan menancapkan pisau tak kasatmata di ulu hati Risa. Ia tak tahu teguran Aksa sampai membuat Hara berpikir sejauh itu untuk menyarankan Risa keluar dari bimbingannya. Risa tak menyangka rasanya akan sesakit ini. Entah kenapa Risa merasa Hara seperti mengusir Risa secara halus dari kehidupannya.
Dan bagi Risa, itu adalah hal terakhir yang ia inginkan.
"Gue nggak pernah ngerasa dikasarin sama lo. Ya, jutek dan galaknya lo nggak ada yang ngalahin sih."
Hara menarik sebelah sudut bibirnya.
"Tapi gue tahu di balik itu semua, lo itu hatinya lembut dan baik. Dan itu kenapa gue nangis di depan panggung tadi."
Risa menarik napas dalam-dalam. Bagian ini adalah yang paling sulit untuk ia jelaskan. Tadi ia terdiam bukan karena sengaja menolak menjawab, melainkan karena ia tak tahu harus mulai dari mana. Sekarang Hara menoleh, bersiap menyimak dengan seksama. Risa harus memaksa dirinya untuk menjelaskan.
"Bokap gue dimakamin sehari sebelum malam tahun baru. Gue nggak nyangka sama sekali akan secepat itu. Paling nggak, gue pikir, gue bisa melewati pergantian tahun sama bokap gue. Tapi kehendak Tuhan, siapa yang bisa ngelawan?"
Mata Risa mengerjap beberapa kali, mencoba menahan jatuhnya air mata. Ia tahu, sekali air mata menetes, ia pasti tak berhenti terisak dan alur ceritanya jadi kacau balau.
"Malam tahun baru, gue cuma duduk di teras. Nggak bisa tidur, terpaksa nontonin kembang api. Ada bagian besar yang hilang dari hidup gue dan gue belum terbiasa dengan itu. Untuk pertama kalinya gue ngerasa udara malam di Cilebut sedingin itu. Cilebut bukan dataran tinggi, tapi gue berani sumpah, gue ngerasa kedinginan.
"Gue tanya nyokap gue, dia kedinginan juga, nggak? Dia nggak jawab, tapi cuma bawain gue selembar selimut. Bekas selimut bokap gue. Ibu-ibu di depan rumah gue sampai bingung kenapa gue selimutan panas-panas gitu. Tapi gue ngerasa hangat dan nyaman dalam selimut itu. Persis sama kayak yang gue rasain pas denger lo nyanyi, Kak."
Risa menertawai ujung kalimatnya sendiri yang terdengar tidak masuk akal.
"Lo pasti aneh dengernya. Tapi suer, dengerin lo nyanyi barusan bikin merinding, trus lama-lama nyaman gitu. Duh, sumpah, gue bingung jelasinnya—"
Sebelum Risa bisa bicara lagi, Hara sudah melepas sabuk pengaman mereka berdua dan merengkuh tubuhnya ke dalam pelukan. Semuanya terjadi begitu cepat sampai-sampai Risa tak tahu harus bereaksi bagaimana dan hanya membiarkan Hara memeluknya erat.
"Sama nggak rasanya kayak gini? Gue nggak yakin bisa punya nyali buat nyanyi lagi di depan lo, tapi mungkin gue bisa ganti dengan ini."
Risa luruh mendengar kata-kata Hara, membiarkan dirinya meleleh dan larut dalam pelukan kakak bimbingannya itu. Begitu dekatnya wajah mereka, Risa sampai bisa melihat bekas lipstik Saskia samar-sama di pipi kanan Hara.
"Sama, Kak ... Sama ..." jawab Risa hampir dalam bisikan.
Perlahan Risa menggerakkan kedua tangannya meraih punggung Hara yang kokoh. Ia tak bermaksud menuntut Hara terus bernyanyi untuknya. Ia sadar sekarang. Tak perlu menuntut Hara yang macam-macam. Kehadiran Hara saja sudah cukup membuatnya merasa nyaman.
Kaca mobil di belakang Hara tiba-tiba diketuk. Dengan panik mereka melepaskan pelukan satu sama lain. Risa membuang wajah. Pipinya pasti sudah semerah tomat sekarang. Hara pura-pura tidak terjadi apa-apa, menurunkan kaca mobil dan mematikan mesin. "Kenapa?" tanya Hara dengan nada datar pada Aksa yang mengetuk kacanya barusan.
Aksa memandang Risa dan Hara bergantian. Risa tak tahu apakah dia menyaksikan adegan Risa dan Hara barusan karena wajahnya tidak menampakkan emosi apa pun. Berbeda dengan Hara yang mirip buku terbuka, Aksa memang lebih pandai membuat raut wajahnya tidak bisa ditebak.
"Risa udah ditungguin sama nyokapnya dari tadi," ujarnya pada Hara seakan Risa tidak ada di mobil itu.
"Eh? Aku kira Ibu nunggu di rumah!" seru Risa panik.
Aksa lagi-lagi tidak bereaksi. Ia hanya mengembangkan sebuah senyum tipis, kemudian berjalan duluan masuk kembali ke dalam rumah.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Bekal Risa
Teen Fiction[TAMAT] Di saat Hara mulai menyadari perasaannya gara-gara sekotak bekal buatan Risa, adik kembarnya--Aksa--muncul menyatakan perasaan pada gadis itu. Hara tertekan. Ia teringat apa kata ibu mereka kalau ia harus mengalah pada adiknya. Hal itu menye...