Bab 44 - Kembali ke Sekolah

478 86 6
                                    


"Pagi, Risa." Suara Aksa menyapa di ruang makan, lebih riang dari biasanya. 

Risa menoleh, mendapati wajah Aksa seriang suaranya. Laki-laki itu terlihat keren dengan kemeja putih dan celana motif tartan coklat-merah marun khas seragam Litarda. Di luar kemejanya, Aksa memakai kardigan coklat tua. Semuanya pas dengan ukuran badan Aksa. Jauh lebih cocok dibanding saat Aksa memakai seragam Hara yang satu ukuran lebih besar.

"Wah, Kak Aksa pakai seragam!" seru Risa. Entah kenapa dia ikut bersemangat di hari pertama Aksa sekolah. 

"Bagus nggak?" tanya Aksa, ragu-ragu dengan penampilannya sendiri.

Risa mengacungkan jempol disertai sebuah cengiran lebar. Ada-ada saja cowok itu. Mungkin kalau orang tampan sejati memang suka tidak sadar kalau dirinya tampan? Ilmu Tampanlogi ala Risa.

"Aksa." Erica menuruni tangga menghampiri Aksa, menyentuh bahunya untuk sekedar mengamati penampilan Aksa dalam seragam sekolahnya. "Baik-baik di sekolah ya, Nak," pesan Erica, nadanya cemas.

Aksa tersenyum dan memeluk wanita itu demi menenangkannya. "Tenang, Ma. Aksa cuma sekolah kok."

Erica berbalik menghadap Risa. "Risa, kamu jaga Aksa baik-baik ya."

'Itu lho anakmu satu lagi juga di Litarda! Ketua OSIS pula!' Ingin sekali Risa menjawab Erica dengan kalimat itu. Apa daya, tidak ada yang bisa diharapkan dari sikap Erica terhadap Hara. Jadi Risa hanya mengangguk patuh.

"Mama berangkat dulu ya." Setelah mencium pipi Aksa, Erica pergi lewat pintu samping yang langsung tembus di garasi.

"Manis banget sih. Waktu gue camping di Nepal dia nggak pernah nanya apa gue masih hidup," cibir Hara yang baru turun setelah memastikan ibunya pergi.

"Ya elu, nyawanya selusin. Kaga bakal mati mah kalau camping doang." Walau nada Hara segetir tadi, tapi Aksa selalu punya cara menyahutinya. "Yuk, berangkat!" seru Aksa tidak sabar. Ia bahkan belum sempat duduk untuk sarapan, buru-buru menarik tangan Risa berjalan ke garasi.

"Kak, sarapan dulu!" Risa tak berdaya diseret Aksa. Untung dia sempat menyelamatkan kotak bekal Aksa dan tasnya sendiri.

Hara tetap duduk santai melahap semangkuk sereal jagung. Ia yakin tak sampai 5 detik, 2 orang itu akan kembali ke ruang makan. 

Supirnya kan Hara.

"Har … Buruan …" rajuk Aksa, baru sadar kebodohannya. Dengan langkah gontai, Aksa kesal terpaksa harus kembali mencari Hara.

"Bodo amat." 

Hara malah memilih untuk mengisi ulang mangkuknya dengan sereal jagung yang sama.

***

SMA Litarda geger. Pertanyaan yang sama terdengar dari segala penjuru sekolah:
"HARA DHANA ADA DUA?!"

"Bukan ada dua. Itu kembarannya, namanya Aksa." Risa menepuk jidat, lelah dikeroyok gadis-gadis sekte pemuja Hara di kelasnya.

"Kalau Hara Dhana ada dua, berarti …" 

"Denger nggak sih? Haranya cuma satu!" 
Secha mengabaikan penjelasan Risa, sibuk memekarkan jari telunjuk dan jari tengahnya. "Ada dua kesempatan dong?"

"Nggaklah! Kalian kan cuma naksir Hara!" Ini mulai membuat Risa frustasi.

Adeline mengedikkan bahu. "Mukanya sama anyway."

"Jadi buat kalian, Hara atau Aksa, yang mana pun boleh?" Risa mengernyit, mencoba memahami jalan pikiran mereka semua. 
"Gue sih yang penting jadi Nyonya Dhana," canda Christie sembari mengibaskan rambut panjangnya. 

Itu adalah ucapan mereka dua jam yang lalu.

"GUE JADI FANSNYA KAK AKSA AJA! GUE DISENYUMIN, COBAAA!" Adeline histeris menghambur masuk sembari mengipasi wajahnya yang panas. 

"LAH, LO NGGAK LIHAT TADI? DIA NGAMBILIN PULPEN GUE YANG JATUH!" Secha ikut histeris diiringi akting pura-pura pingsan.

"Oke, Hara Dhana, BHAY!" 

"Iya! Gue lebih suka Aksa yang kalem manis gitu! Sukanya mojok baca buku! Adem banget liatnya!"

Risa mencoba mengabaikan kehebohan mereka, tapi suara mereka memenuhi ruang kelas. Dan ini terjadi hampir di semua kelas. Luar biasa. Aksa benar-benar fenomena hari ini. Mungkin karena Hara terlalu dingin dan susah dijangkau oleh mereka. Sekalinya Aksa bersikap ramah, cewek-cewek itu langsung pindah haluan.

“Nah, panjang umur.” 

Sebuah notifikasi pesan dari Aksa masuk ke ponsel Risa. 

[Aksa: Risa, laper :( ]

“Kenapa Kak Aksa bilang laper ke gue? Kotak bekalnya kan …” 

Merasa ada yang salah, Risa berlari keluar kelas menengok ke dalam lokernya sendiri. 

“Astaga! Kotak bekalnya Kak Aksa di gue!” 

Bergegas Risa mengambil kotak bekal yang dibungkus furoshiki berwarna biru langit, membanting pintu loker menutup dan berlari menuju kelas Aksa. Aksa berada di kelas XI-Charlie, berbeda dengan kelas Hara. Aksa sendiri yang minta pada Mr. Lee agar mereka tidak satu kelas. 

“Misi, Kak. Lihat Kak Aksa nggak?” tanya Risa panik pada seorang gadis berambut ikal panjang yang kebetulan berdiri di pintu kelas saat Risa tidak bisa menemukan Aksa di kelasnya.

“Di hatiku,” canda gadis itu.

Risa nyengir kering. Waktunya sedang tidak tepat untuk bercanda. Kalau Erica tahu anak kesayangannya tidak makan siang, Risa bisa digorok. 

“Nggak tahu.” Cewek itu memasang wajah masam karena leluconnya tidak mendapat tanggapan. “Tadi di tengah pelajaran dia dipanggil Mr. Lee dan nggak balik-balik. Capek kali diuber cewek-cewek.”

Ada nada mengintimidasi membalut ucapan cewek itu. Mungkin cewek itu mengira Risa seperti para siswi Litarda lainnya yang mencoba menggoda Aksa. Duh, kalau mereka tahu berapa kali Aksa berusaha mencuri kecupan di pipi Risa, bisa gawat. 

* * *

Aksa duduk selonjoran di atap gedung Edison. Di sampingnya ada beberapa bungkus keripik sehat yang ia bawa dari rumah dan sebotol jus buah bit buatan Risa. Bawa cemilan sendiri dari rumah terlihat tidak keren, tapi dia sudah janji pada Hara untuk menjaga kondisinya di sekolah. 

Senyum Aksa mengembang, menontoni kemacetan di perempatan dekat sekolah mereka. Tidak ada yang indah dari pemandangan itu. Jauh lebih indah pemandangan halaman rumahnya sendiri kalau dilihat dari balkon lantai dua. Tapi bukan itu yang Aksa nikmati dari tempatnya bertengger, melainkan sebuah kebebasan.

Aksa membuka lubang hidungnya lebar-lebar, mencoba menghirup udara penuh kebebasan itu banyak-banyak. Di pertengahan, ia memutuskan untuk membatalkannya, lupa betapa kotornya udara Jakarta. “Salah-salah gue malah kena ISPA,” gerutunya.

Ponsel Aksa bergetar. Risa memanggil. Baru tersambung, Risa langsung menyembur panik.
Kak Aksa, maaf ya! Kotak bekalnya Kak Aksa kebawa di lokerku! Kak Aksa di mana sekarang? Tadi aku cari ke kelas nggak ada!” 

Aksa tak bisa menahan dengus gelinya mendengar Risa sepanik itu. Semuanya gara-gara dia iseng mengirim pesan ke anak itu kalau dia lapar, padahal dia cuma mau makan siang bersama Risa. “Di atap Gedung Edison, Risa. Sini.”

Ngapain di sana?” Hening sejenak. “Kak Aksa nggak mau bunuh diri kan?”

Bibir Aksa mengerucut. Keningnya menekuk. Apa sebaiknya Aksa mengerjai anak ini lagi?
“Tergantung.” Aksa mengamati sisa-sisa jus buah bit di dalam botol minum bening di tangannya. “Kalau kamu nggak mau ke sini—”

Tunggu, Kak! Aku ke sana!”

Tak sampai 5 menit, pintu penghubung ke atap itu terbuka. Dan di sanalah Risa berdiri bersandar pada pintu memeluk bungkusan kotak bekal, terengah mengejar napasnya.
Karisa Aulia. Gadis itu adalah sumber kebahagian Aksa di Litarda. 

* * *
 


Bekal RisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang