Hara mengendarai sedan Corolla Altis berwarna silver. Untuk ukuran anak-anak Litarda, mobil Hara tidaklah terlalu mewah. Selain itu, tidak ada perlakuan istimewa terhadap mobil itu. Mobil Hara terparkir pada ruang yang sama dengan mobil-mobil siswa Litarda lainnya. Hara juga tidak menggunakan plat mobil modifikasi yang membentuk namanya. Di dalamnya bersih dan polos. Hanya ada seuntai hiasan pewangi mobil dari biji kopi.
Selama 5 menit pertama, situasi sangat canggung. Baik Hara maupun Risa membiarkan band The Script menyanyi sendiri melalui pengeras suara audio mobil itu. Wajar sih. Mereka kenal satu sama lain juga baru 2 hari. Itu pun diawali dengan petaka.
"Lo ke sekolah tiap hari naik apa?" Hara membuka pertanyaan. Nampaknya dia mulai bosan dengan kemacetan yang melanda mereka.
Risa menunjuk ke arah Stasiun Tebet yang kebetulan mereka lewati. "Kereta." Kebetulan saat itu terjadi adegan dorong-dorongan penumpang kereta memasuki gerbong yang sudah penuh sesak.
"Kereta itu?!" Hara tercengang.
Risa mengangguk.
"Itu..." Hara kembali mengamati kereta yang Risa tunjuk tadi. Matanya semakin melebar menyaksikan seorang ibu-ibu meringsek memaksakan diri hingga tasnya terjepit pintu kereta. "...terjadi setiap hari?"
Risa mengangguk lagi. "Saya mungkin jadi ibu-ibu tadi kalau Kak Hara nggak nganterin saya pulang," ujar Risa apa adanya.
Hara terhenyak cukup lama dengan kening menekuk. Ia memundurkan punggungnya hingga menyentuh sandaran kursi. Tatapannya kosong ke depan, jari-jarinya mengetuk-ngetuk stir mengikuti irama lagu. Tak lama kemudian Hara melipat lengan dan bergumam, "How could they fit everyone inside that thing?" Ternyata masih penasaran.
* * *
"Lo serius kita masih ada di wilayah Jabodetabek?" tanya Hara untuk yang kedua kalinya saat mobil itu mulai memasuki daerah Cilebut. Seharusnya 15 menit lagi mereka tiba di rumah Risa.
"Masiiih," Risa mulai frustasi. Memang sih mereka semakin lama semakin menjauhi hingar-bingar perkotaan, tapi Cilebut masih termasuk Jabodetabek lho!
Tiba-tiba Hara menginjak rem di depan sebuah toko kelontong. Perlahan matanya melirik Risa. "Rumah lo udah dialiri listrik kan?"
"KAK HARA!" Risa mendorong lengan Hara dengan wajah cemberut. Harga dirinya sebagai warga Cilebut tersakiti. "Gue tuh tinggal di Cilebut, bukan di goa!" Risa juga refleks membuat bahasanya menjadi lebih kasual. Ia ogah bersikap terlalu sopan lagi pada cowok ini.
Tetap dengan gaya cool-nya, Hara merapikan lengan baju yang sedikit kusut akibat amukan Risa. Tak sedikit pun senyum tersungging di bibir Hara. Entah memang dia tidak bermaksud melucu atau dia sedang jaim. "Nah gitu dong. Jangan 'saya', 'saya' melulu. Lama-lama ntar lo malah cium tangan ke gue," gerutu Hara sambil menekan pedal gas lagi untuk melanjutkan perjalanan mereka.
Lidah Risa menjulur. "Emang lo kayak orang tua."
Hara melempar tatapan nanar. "Eh, gue turunin lo ya di sini!"
Tapi Risa tak takut. "Turunin aja! Udah deket rumah kok, yee!"
"Yaudah gue bawa lo ke Puncak dulu, baru gue turunin di tengah kebun teh," ralat Hara. Kali ini Risa bungkam tak berani melawan.
Hara berhasil membawa Risa sampai ke rumah. Risa lupa kalau jam segini ibu-ibu komplek rumahnya masih suka berkumpul di depan rumah untuk bergosip. Termasuk ibu Risa.
Tentu saja masuknya mobil mewah Hara ke dalam komplek perumahan sederhana itu menarik perhatian semua orang. Seketika suara mereka berubah menjadi bisik-bisik dan leher-leher pun menjulur serba ingin tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bekal Risa
Teen Fiction[TAMAT] Di saat Hara mulai menyadari perasaannya gara-gara sekotak bekal buatan Risa, adik kembarnya--Aksa--muncul menyatakan perasaan pada gadis itu. Hara tertekan. Ia teringat apa kata ibu mereka kalau ia harus mengalah pada adiknya. Hal itu menye...