Namamu Ratna (4)

509 14 0
                                    


Hari berganti hari, silih mengisi antara siang dan malam, sesuai jadwal yang telah ditentukan sejak zaman 'azali dulu. Akhirnya tiba juga hari yang selalu ia nanti semenjak menginjakan kaki di kota dingin itu. Ia pun mengikuti adat tradisi yang mengharuskannya membawa buah tangan, ketika sampai di tujuan. Sesampai di rumah, ia pun tak membuang waktu untuk menggerakkan kembali tubuhnya. Ribuan kilo perasaan rindu yang sudah ia pendam, terasa mengucangkan tubuhnya kuat untuk segera bertemu. Namun sebelum itu, ia mengabari sang ibunda bahwa dia bisa bergantian dengannya melakukan hal itu.

"Assalamu'alaikum," ucapnya sambil memasuki ruangan. "Nih, aku bawain novel yang aku janjikan. Nanti aku bacain ya," sambungnya bahagia memperhatikan sang putri tidur.

Selepas jarum pendek itu menunjuk angka sembilan dengan lambatnya. Ia baru saja menyelesaikan beberapa lembar dari cerita panjang itu. Cerita yang tak lazim diselesaikan dalam sekali dudukan, membuatnya harus terdiam sebentar untuk mencuri nafas. Membasahi kerongkongan yang telah kering dengan cairan yang bisa mencegah serak pada lorong suaranya. Setelah itu, ia kembali membacakannya dengan semangat yang membara, mencoba menghayati setiap kalimat yang tertera.

"Tak kala berjumpa dalam gelapnya malam, ia yang ketakutan tak hanya oleh sang perengut cahaya ini. Melainkan karena ada dua pria bertato, terus saja mengikutinya. Ia berfikir, mereka akan melakukan hal buruk kepadanya. Dengan segera, ia mengencangkan sabuk pengaman, agar dapat lari sejauh mungkin.

Kecepatan rata-rata larinya yang ternyata sangatlah tidak bisa menyaingi keduanya. Mengharuskannya mencari alternatif lain, agar bisa lepas dari kejaran mereka. Namun, ketika ia sudah berbelok mencari jalan lain, salah satu dari preman itu ternyata sudah ada di depannya.

"Nah, mau lari kemana lagi kau gadis ayu," seru salah satu preman yang bertubuh kekar itu.

Ketakutan yang sudah meraja, bayangan tindakan asusila yang akan ia dapat. Membuat tubuhnya bergetar hebat, akan setiap langkah yang mendekat dengan seluruh birahinya. "Tolong... Tolong..." serunya melangkah kebelakang, terpepet oleh tembok kokoh itu.

Bugggg....

Dengan satu hantaman di punggung. Preman itu tersungkur kesakitan, merasakan benda keras yang baru saja membekaskan goretan merah pada kulitnya. Melihat temannya yang di hajar, membuat wajahnya memerah dan mengeluarkan kata-kata kasarnya. Dengan amarah yang meletus layaknya gunung Krakatau, ia melaju menyongsong seseorang yang datang bak superhero itu.

Duel sengit itu pun terjadi tepat di depan kedua matanya yang telah meneteskan air mata ketakutan. Jantungnya yang tengah berdetak begitu cepat, menghawatirkan sosok yang telah berani menolong dirinya. Matanya pun beralih fungsi layaknya cctv yang mampu merekam seluruh kejadian itu dengan seksama.

"Mas Andi awas," teriaknya melihat oang yang tersungkur itu mengeluarkan pisau tajam, dari belakang punggungnya.

Tak sempat mendengar teriakan kekhawatiran itu. Benda tajam itu pun segera menembus ke dalam tubuhnya. Mengeluarkan cairan hangat merah, yang telah membasahi seluruh tangannya. Tubuh yang sedari tadi berdiri tegak, kini pun mulai gontai tak tentu arah.

"Kabur wan..." serunya kepada rekan seperjuangannya itu. Instruksi itu pun segera diiyakan oleh yang lain. Kedua preman yang ketakutan, karena telah membunuh seorang, langsung melarikan diri dengan jurus seribu langkahnya. Meninggalkan korbannya tergeletak tak berdaya.

Sementara itu, langkah kaki ketakutannya pun berubah menjadi sesuatu hal yang lebih besar. Ia yang tak menyangka kejadian ini, segera menghampiri penyelamatnya yang tengah terbaring lemah. "Mas Andi... jangan tinggalin Indah. Indah sayang dan cinta terhadap mas," serunya berharap ada kekuatan dari lelaki yang tengah di pangkunya ini untuk tetap bertahan. "Tolong... tolong..." teriaknya keras, berharap ada orang lain yang mendengarnya.

Namun kondisinya yang begitu lemah, membuatnya tak menginginkan hal yang sama. Tangan yang sedari tadi bersarungkan darah, segera ia gerakkan mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Tangan itu pun segera menyeka air mata yang telah membasahi tubuhnya. "Janganlah menangis... aku pun juga begitu... aku..."

"Mas Andi..."

Sejenak, ia terdiam teringat sesuatu yang hampir mirip dengan kejadian di depan sekolahnya dulu. Kejadian yang membuat sang kekasih merasakan hal yang begitu menyakitkan, hingga air mata kepedihan juga turun melintasi wajah cantiknya. Ia yang datang terlambat, hanya bisa menenangkan kegusaran itu dengan sepenuh hati.

Tok... tok... tok...

"Layanan kamar."




Nadzom-nadzom Cinta Jilid 3 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang