Cincin Tunangan (5)

93 3 0
                                    


Sudah seminggu berlalu, sejak kejadian yang mampu membuat dirinya berubah. Hari-hari di kampus ini terasa lebih hangat dan nyaman baginya. Walau pun angin dan hujan yang saling berduet untuk melemahkannya. Tetapi semua itu sia-sia.

Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, yang terlewati tanpa berarti. Kini, setiap detik begitu memiliki arti kerinduan yang mendalam. Apalagi benda yang melekat di jari kelingkingnya ini. Membuatnya terasa lebih memantapkan setiap langkah kakinya.

Hujaman panah-panah kasih sayang yang begitu tepat terkena sasaran. Menjadikan rasa rindu itu semakin terasah dengan kehadiran dan kebersamaan sang kekasih. Apalagi ritual penyatuan hati yang telah ditempuh dengan kepulangan kilatnya ke kampung halaman, kota ondel-ondel. Sejak dua hari yang lalu, perjalanan hidup mereka kali menjadi jauh lebih bermakna di kota pendidikan ini.

"Assalamu'alaikum."

Ia terkejut melihat seseorang yang menyapanya ini. Seseorang yang pernah cek-cok dengannya. Kini berada di kelas yang sudah sepi, karena waktu untuk pulang telah datang. "Wa'alaikumsalam," jawabnya yang dapat berfikir positif tentang ke datangan orang ini.

"Rat, aku mau minta maaf."

"minta maaf? Soal apa?"

"Soal kejadian di kelas kemarin," jawabnya menyesal.

Ia pun memuji langkah lelaki ini, yang begitu gentleman. Oleh sebab itu, Ia kini harus memiliki jiwa besar mengapresiasinya. "Sama-sama. Makanya jangan asal menuduh," ucapnya tersenyum manis.

Sekilas, mata ini melihat sesuatu yang begitu mengganggu dirinya. Namun, rasa bersalah dan tujuan lain terasa membungkam mulutnya, untuk menanyakan hal tersebut. "Ini... aku mendapat undangan. Aku harap kamu mau datang," ucapnya langsung mengeluarkan sebuah surat undangan sederhana itu.

"Undangan apa?"

"Haul dan Reunian Alumni Pondok Pesantren Nurul Jannah, tempatmu sekolah dulu," ucapnya setelah meletakkan surat undangan itu di atas meja.

"Apa maksudmu memberikan ini kepadaku?" tanyanya mulai curiga dengan tindakan yang begitu tak ladzim ini.

"Maaf. Tapi jika kamu mau tahu aku atau Tofa yang berbohong. Kamu dapat pergi ke tempat itu," ucapnya pelan, menjaga cara berbicaranya agar tak salah dimengerti.

"Jadi, kamu masih meragukan mas Tofa?"

"Bukan begitu rat."

"Terus apa?" bentaknya sudah tak kuasa menahan amarah yang sedari tadi dipendamnya. "Kamu harus tahu mam. Sekarang aku sudah bertunangan dengan mas Tofa," tegasnya menunjukkan cincin indah di jari kelingkingnya.

Terjawab sudah hal yang sedari tadi mengganjal di benaknya. Walaupun ia tak pernah menyangka kejadian ini datang begitu cepatnya. Sesaat, jantungnya terasa berhenti untuk berdetak. "Jadi.. jadi..." ucapnya yang tak bisa berbicara secara normal.

"Sudahlah, aku tak ingin ribut lagi denganmu," potongnya seraya membuang muka, ingin segera mengakhiri perbincangan ini. "Aku mohon dengan sangat. Tolong pergilah. Dan jangan pernah kamu ganggu aku lagi," ucapnya menegaskan kembali perkataan yang dulu pernah terucap.

Imam pun segera pergi, tak ingin memanaskan tungku yang sudah mendingin. Menyerahkan kembali semua kepada Sang Pemilik Takdir. Agar mau menggerakkan hati orang yang ia sayang, untuk datang ke tempat itu.

"Astaghfirullohal'adzim," ucapnya berkali-kali, menenangkan hatinya. Kata-kata indah yang keluar dari mulutnya, setelah kepergian lelaki itu.

Tak sengaja, pandangannya menangkap ke arah meja. Melihat surat undangan yang ditinggal olehnya. Rasa penasran pun segera menyerang di hatinya. Entah mengapa pula, ia sangat ingin membuktkan bahwa setiap perkataan lelaki itu salah besar.

YAYASAN PONDOK PESANTREN NURUL JANNAH

Nama yang tertera pada sampul hijau itu. Pertanda tempat datangnya surat itu, yang sudah jauh dari tempat asalnya. Setiap kata yang tertera, ia baca dengan seksama. Hingga akhirnya ia menemukan hal yang menarik. Segera, ia mengambil handphone dan memencet nomor-nomor yang tertera pada lembaran kertas itu.

Tut... tut...

Suara khas telephone, yang tengah menunggu jawaban di ujung yang lain.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawabnya kepada seseorang yang ada di ujung sana. Sepertinya benar, seorang wanita. "Apakah benar ini dengan Naelatul Khoiriyah? Panitia haul?" tanyanya menyambung percakapan mereka.

"Ratna? Apa benar ini kamu?" tanya seseorang yang terdengar lewat microphone kecil itu.

Kenapa ia bisa tahu?

"De."

Ia begitu terkejut melihat seseorang yang mencintainya. Tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu. Sekejap saja, ia menjadi gugup tak tahu harus berbuat apa.

"Lho... kok telfonnya dimatiin?" ucapnya merasa aneh dengan kekasihnya.

"Anu... anu..." ucapnya gugup, takut jika kekasihnya tahu. Ia tak bisa membayangkan reaksi sang kekasih, jika ia masih berbicara dengan lelaki itu. "Lagi kebelet. Jadi dimatiin dulu," ucapnya asal, sambil melangkah pergi meninggalkan ruangan itu.

Ada apa denganmu?

Ia pun merasa aneh melihat tingkah sang kekasih. Pandangannya pun tergantikan oleh sesuatu yang tertinggal di meja yang ditempati sang pujaan hati. Ia pun segera memungut hp yang tak terkunci itu. "Nomor asing?" ucapnya memeriksa siapa yang sedari tadi ditelfon sang kekasih. Tiba-tiba, ia melihat sesuatu yang lain, di bawah hp tersebut.

"Ini..."



Nadzom-nadzom Cinta Jilid 3 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang