Penyatuan Hati (7)

112 2 0
                                    


Entah sekarang waktu telah menginjakkan kaki pada angka berapa. Tetapi, yang jelas. Cuaca yang sedari tadi tersenyum ceria, kini telah menampakkan wajah kesedihannya. Mencurahkan seluruh keluh kesahnya, merubah seluruh hamparan awan putih menjadi menghitam. Memantulkan segala cahaya sang surya yang begitu menyilaukan. Menjadikan tempatnya kini tak tersentuh oleh apapun, selain tangisan sang awan.

Tangisan yang begitu dingin menghujam terus menerus pada dirinya. Seolah menganggap dirinya adalah bagian dari bumi. Bagian yang seharusnya mampu menyerap setiap air melalui pori-pori tubuhnya. Mencegah air itu melaju kencang ke hulu sungai.

Bukan hanya itu, tumbuhan berakar tunggang ini juga mencencang kuat tanah. Layaknya seperti sistem urat yang mengontrol kinerja dari pada otot-otot manusia. Mengunci agar tetap kuat, dan perkasa.

Bayangkan, bagaimana bisa seorang manusia hidup tanpa urat penyangga itu. Tentu otot-otot itu akan membesar seketika dan membengkak. Ataupun lembek dan menarik setiap anggota tubuh untuk menghujam gravitasi bumi. Itulah sedikit gambaran, apabila bumi ini adalah tubuh kita.

Sekarang aku ada di mana?

Mata yang begitu sayup. Melihat ke arah depan yang tak bisa menjangkau tiga meter. Membuatnya harus berteduh di bawah pohon yang ternyata tak bisa menjaga tanah di sekitarnya tetap kering. Hembusan angin yang ikut menyerang bumi, seolah ingin juga menyerang dirinya. Rasa dingin yang menusuk hingga ke dalam jantung, menjadikannya berdetak kian melambat. Terkalahkan oleh serangan yang sempurna itu.

Kalau begini terus, aku bisa mati kedinginan...

Menyadari kondisi fisiknya yang tak boleh terkalahkan oleh fikiran yang telah melemah. Membuatnya menerawang ke berbagai arah. Mencari dimanakah ia bisa melanjutkan langkah gontainya ini.

Tak lupa, suara guntur dan kilat kian mengisi melodi kesedihan ini. Bersaut mesra layaknya seorang juru nikah betawi yang saling beradu pantun sebelum dilakukannya proses ijab qobul. Menjadikan seluruh alam ini sebagai penonton setia atraksi mereka berdua.

Ke arah depan...

Ia berniat melanjutkan perjalanan tanpa petunjuknya ini. Perjalanan yang hanya bermodalkan tekat kuat, untuk kembali menerjang panah alami ini. Dengan harapan mendapatkan tempat berteduh yang lebih baik, ia pun mengucapkan kalimat basmalah, serta Tawakaltu 'alalloh. La khaula wa la kuwwata illa billah. Memulai perjalanan yang tak ia tahu dimanakah garis finishnya.

Namun, di tengah-tengah derasnya air asin ini. Tubuhnya mulai menghianati tekat kuatnya itu. Langkah kaki itu mulai sudah tak kuasa menahan lunglainya tubuh dingin ini. Hawa dingin yang sudah menjalar ke seluruh tubuh, membuat pandangannya terasa kabur. Membuyarkan satu-satunya alat yang ia jadikan gantungan hidupnya.

Kenapa kamu harus melawan pada saat seperti ini?

Ini sudah sampai dimana?

Ungkapnya yang mulai merasakan nyeri yang muncul satu persatu dari persendian tulang belakangnya. Menusuk setiap bagian punggungnya tanpa mengucapkan salam perkenalan dahulu. Menghujam ganas, mengeroyok dirinya dengan bantuan air yang sudah mampu ia rasakan serangannya, menembus kain yang telah lengket pada tubuhnya ini.



Nadzom-nadzom Cinta Jilid 3 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang