Bukit Cinta (6)

89 2 0
                                    


Alone...

Detik waktu yang selalu bergerak maju dalam kepastian. Menawarkan berbagai momen yang telah membuatnya harus seperti ini. Terjebak dalam dilema perasaan yang harus ia kubur sehingga tumbuh tunas baru. Atau dengan membuangnya jauh-jauh, hingga sang angin akan membawanya kembali. Ia sungguh dalam puncak rasa yang tak bisa ia jelaskan sendiri.

Bahkan, bintang-bintang di langit sana seolah mendawaikan melodi kegalauannya. Menyanyikan sebuah musik pelepuh rindu, memuncak kuat, namun tak bisa terlepas. Sakit bercampur kegusaran yang tiada terlihat ujung kebebasannya.

Tulisan yang telah ia tahu tercurahkan oleh siapa. Semakin membuatnya menjadi serba salah. Walaupun ia sendiri belum bisa seutuhnya menafsirkan puisi itu sesuai dengan keinginan sang penyair.

Ketika ia berani mencari buku yang pernah ia baca. Karena ia serasa tak asing dengan tulisan yang telah bersemayam tanpa izin di buku diarynya. Memang awalnya ia merasa ragu, akan tetapi setelah ia cocokan dengan cataan orang yang sekamar dengannya ini. Sempat membuatnya tak bisa menghela nafas sengkalnya.

Mba Ratna...

Apa maksudmu menulis itu?

Teringatlah akan kecerobohannya yang lupa untuk menyimpan buku terpentingnya tersebut. Karena ia mendapatkan ide yang tiba-tiba datang, sesuai dengan kebiasaannya. Sehingga ia begitu bersemangat untuk menorehkan tinta hitamnya itu.

Saking asiknya ia menulis. Bahkan sering kali ia lupa akan keberadaan buku itu. Entah karena dasar sifatnya yang sering lupa akan hal-hal kecil. Sehingga ia sering kali terlupakan oleh hal-hal sepele. Bahkan awal perjumpaannya dengan sang pujaan hati karena hal sepele juga, ia lupa membawa pulpen.

Hingga pada akhirnya, ia menyadari bahwa buku itu ada di meja makan itu.

Memang menjadi kesalahannya, yang tak bisa terlepas begitu lama dengan buku itu. Sehingga, saat menjaga kakak sepupunya ini. Ia masih sempat menuliskan curhatannya pada sang diary. Akibatnya pada pagi harinya, ia lupa untuk menyimpannya. Mungkin karena ide cemerlang yang selalu datang tanpa diundang. Atau memang ia kemarin terburu-buru untuk berangkat kuliah. Karena lokasi rumah sakit yang cukup jauh dengan kampus.

Kini pandangannya hanya tertuju pada sebatang pulpen kenangannya. Benda yang begitu berharga baginya. Tentu saja sama berharganya dengan buku diarynya. Layaknya romeo dan juliet yang saling membutuhkan satu sama lainnya.

"Kenapa cinta pertamaku itu kamu?" tanya Anis seraya melihat pulpen itu seolah-olah makhluk hidup.

Kenangan ketika ospek yang mempersatukan mereka dalam satu regu kerja. Membuat rasa yang berawal hanya dari pandangan mata. Seiring dengan waktu, jatuh juga ke lubuk hatinya yang masih putih tak mengerti rasa itu.

Bukan hanya karena paras tampannya itu. Melainkan banyak sifat kebaikan yang terpancar jelas hingga menembus mata hatinya. Dan sifat yang selalu merendahkan diri, tak ingin mendapatkan sebuah pujian. Menambah rasa kekaguman itu berubah menjadi lem perekat yang ada di hatinya.

Kini setelah suatu kenyataan terbuka. Hatinya harus memulai melupakan dan membuang rasa itu jauh-jauh. Karena ia juga tak ingin merebut secara paksa lelaki yang tengah diperebutkan oleh dua wanita lain. Terlebih, kakaknya sendirilah yang menjadi salah satu dari kedua wanita itu.

Entah mengapa pula. Begitu sulit ia lakukan, merasakan rasa sulit yang melebihi ketika memberikan benda yang kita sayangi kepada seseorang yang terasa lebih membutuhkannya. Apakah karena perasaan itu telah menyatu dengannya? Entahlah.

"Pulpen, jika posisimu seperti sekarang. Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Anis kepada benda mati yang tengah digenggamnya dengan kuat.

Sekilas, ia melihat buku yang tertindih diarynya. Teringat sang pemilik buku bersejarah itu. Kini fikirannya hanya tertuju kepada kondisi wanita yang sudah didiagnosa mengidap suatu penyakit yang ganas. Wanita yang bisa menuliskan syair-syair indah, walaupun ingatannya masih belum kembali seutuhnya.

Terasa dari kuping kirinya, membisikan agar senantiasa memperjuangkan perasan yang tengah merekah di dadanya ini. Namun di sisi yang lain, terdengar bisikan lirih yang mengatakan agar dirinya melepaskan seluruh perasaan yang telah menyiksa batinnya ini. Hati dan fikiran yang mendengar itu semua, ikut merasakan kebimbangan yang amat sangat. Manakah yang harus ia pilih di antara perasaannya sendiri ataukah perasaan orang lain.

Yaa alloh...

Yakinkanlah aku...

Apapun yang Engkau tentukan untukku...

Adalah yang terbaik untukku...


Nadzom-nadzom Cinta Jilid 3 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang