Pergilah (3)

112 4 0
                                    


Sinar cahaya yang mulai beranjak pada titik paling terangnya. Memberikan panas yang dapat membuat semua makhluk merasakan auranya yang begitu mempesona. Hingga buih-buih berjatuhan tak kuasa menahan terik yang begitu menyengat.

Menitik langkah sang surya, terduduk dalam singgasana tertingginya. Menjadikan semua umat islam dilarang untuk mengerjakan kewajiban kedua dari rukun islamnya. Waktu yang dalam islam disebut sebagai waktu istiwaa. Saat posisi matahari tengah menapakkan teriknya yang menyengat, sehingga tiada bayangan apapun yang dihasilkan.

"Fa, temenin aku ya..."

"Kemana?"

"Ke toko buku seberang, mau beli komik nih."

Janjinya dengan sang kekasih, membuatnya harus segera memutuskan kedua perkara ini dengan cepat. "Maaf yul, Ratna sudah menungguku," ujarnya tegas, seolah tiada ruang untuk bernegosiasi. Perlengkapan yang sedari tadi sudah diberesi, membuatnya segera menyelesaikan urusannya di tempat ini.

"Ya sudahlah."

Jawaban yang sebenarnya ia tahu bermuat akan berbagai syarat akan makna. Namun, janji adalah hutang. Sehingga ia tak punya lagi pilihan yang bisa ia gunakan. "Maaf ya, yul..." ucapnya meninggalkan sahabatnya ini sendiri.

Langkah kaki tersebut segera diarahkan ke tempat dimana sebagian besar mahasiswa menghabiskan waktunya. Tempat yang biasanya menyediakan logistik untuk membuat tubuh mereka tegak kembali. Dengan memiliki harga yang biasanya sama atau terkadang lebih mahal dari pada umumnya.

Namun, langkah kaki itu terhenti untuk beberapa saat. Ketika ia melihat ada seseorang yang mendeati kekasihnya, yang termenung seraya memainkan gadgetnya. Tubuhnya pun segera ia sembunyikan di balik tembok itu. Agar tiada orang yang di dalam sana, menyadari kedatangannya.

"Assalamu'alaikum, Ratna."

"Wa'alakumsalam," jawabnya melihat ke arah sumber suara yang nampak begitu asing baginya. Seorang lelaki menyapanya dengan wajah yang begitu sumringah. Membuat dirinya merasa tak nyaman di pandang seperti itu. "Eh, kamu," tambahnya mencoba mengakrabkan diri, menyembunyikan perasaannya.

"Apa kamu tidak mengingatku?"

"Ingat," jawabnya singkat. "Kamu Imam kan? Orang yang menyapaku di depan kelas itu kan? yang sedang dibentak dosen?" jelasnya meyakinkan semua perkataannya, yang masih jelas teringat dalam benaknya.

"Tentang hubungan kita."

"Hubungan apa?"

Terhenyaklah ia mendengr pernyataan dari muslimah yang ada di depannya ini. Jantungnya terasa berhenti berdetak, mendengar perkataan menyakitkan itu. Betapa anehnya keadaan ini. Seseorang yang dulu begitu mencintainya, entah mengapa bisa berubah seperti ini. "Apa yang terjadi? Ada apa denganmu?" tanyanya curiga atas perubahan sikap yang begitu mencolok.

"Apa maksudmu? Aku baik-baik saja."

"Kamu berubah."

Seketika, kedua bola matanya ini terpaku pada sumber suara itu. Mencoba memastikan informasi yang baru saja ia dengar. "Maksudnya? Berubah bagaimana?" tegasnya binggung, tak mengerti.

"Aku ini kekasihmu."

Bertambahlah rasa kaget dalam benaknya. Ia mulai merasa tak nyaman dengan percakapan ini. "Apa maksudmu berbicara begitu? Kita ini baru saling mengenal," ujarnya mulai tak nyaman dengan tempat duduknya.

Terhenyaklah kembali tubuh lelaki ini. Semua hal yang sedari tadi ia fikiran, malah berubah menjadi situasi yang tak pernah ia duga. Jawaban yang ternyata mampu membuat dirinya tak lagi bisa setenang dulu.

"Kekasihku itu, bukan kamu. Kekasihku itu, mas Tofa," jelasnya yang mulai naik pitam. Menandakan bahwa amarahnya tak stabil seperti biasanya.

"Apa?" teriaknya tak mempercayai dengan apa yang baru saja dia dengar. "Jadi Tofa ada di sini?" sambungnya seraya melihat pandangan keluar. Memandang langit yang begitu biru, seperti kebiasaannya.

"Apa maksudmu?"

"Rat... aku ini Imam. Kekasihmu sejak Aliyah."

"Kamu ngomong apa? Sejak dulu aku cuma berpacaran dengan mas Tofa saja. Hingga sekarang dan untuk selamanya," ucapnya yang mulai kesal dengan tingkah laku lelaki yang ia sangka orang yang sopan.

Terhentilah semua suara yang berasal dari dalam tubuhnya. Seolah, tenggorokannya ini tengah dalam cekikan yang sangat kuat. Membuatnya hanya bisa terdiam dan menatap sayu wanita yang sebenarnya sangat ia cintai ini.

"Ratna yang kamu maksud pasti bukan aku. Kamu pasti salah orang," ujarnya mencoba berdamai dengan keadaan yang telah panas ini. Meninggalkan lelaki ini sendiri, agar dapat berfikir jernih.

"Rat, semua yang kamu tahu itu salah," ucapnya seraya menghadang langkah wanita ini. Mencoba membuat hipotesis tentang seseorang yang telah begitu dalam terukir dalam lubuk hatinya.

"Apa lagi maksudmu?"

"Tofa itu seorang pendusta."

"Cukup... cukup... kamu yang pendusta. Ngak mungkin mas Tofa berbohong kepadaku," belanya meninggalkan ruangan ini dengan langkah kaki yang seperti di buru waktu.


Nadzom-nadzom Cinta Jilid 3 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang