Cincin Tunangan (1)

116 4 0
                                    


Hari yang sudah beranjak gelap, mulai menampakkan keindahannya yang begitu mempesona. Lukisan langit yang begitu memanjakan mata, seolah membuat langkah kaki mereka semakin melambat. Disamping dengan energi yang mulai terkuras oleh aktivitas di kala pagi.

"Em.. mam, makasih ya sudah mau mengantarku," Ucapnya mencoba mencairkan suasana yang seperti kuburan ini. Ditambah pula dengan posisi jalan yang begitu aneh ini.

Jika biasanya ada dua sejoli yang sedang bersama. Tentu si lelaki akan berada di samping si wanita. Mereka akan mulai mencoba mengakrabkan diri satu sama lain. Tentu, biasanya yang memiliki inisiatif adalah si lelaki. Tapi, kali ini sungguh berbeda.

"Sama-sama," jawabnya singkat terus memandang jalan yang sebenarnya masih bisa dikatakan ramai ini.

Melihat sikap dingin itu, ia pun mencoba menyabarkan hatinya. Karena ia tak menyangka. Ada lelaki yang bisa menahan diri untuk bisa berbicara dengannya. Padahal pada hari-hari biasanya, bukan ia yang menjadi salah tingkah seperti ini. Karena setiap lelaki yang ada didekatnya lah yang akan mulai mencari cara agar bisa membuat ruang pembicaraan dengannya.

"Mam, boleh tanya?"

"Apa?"

"Ketika dulu kamu memarahi aku. Aku melihatmu menyelipkan buku kecil kuning di atas komik yang kau baca. Sebenarnya itu buku apa?" tanyanya yang sudah tak bisa berfikir lagi, untuk mencari topik yang cocok.

"Itu namanya kitab. Kitabku itu, berisi nadzom-nadzom Alfiyah."

"Maksudnya?"

Segera, ia pun menghentikan langkahnya. Seolah tak mempercayai bahwa wanita yang ada di belakangnya ini tak mengerti akan hal ini. "Ya.. kalau dalam bahasa indonesianya sih syair. Dan ibaratnya nadzom-nadzom ini adalah syairnya orang-orang arab," jelasnya sesingkat dan sesimpel mungkin, agar wanita ini tak salah memahami.

Ia pun mengangguk memahami penjelasan tersebut. Melihat dari semua perkataan dari lelaki ini. Ia pun menghubungkan segala informasi dan keterangan tentang lelaki ini. "Jadi benar, kalau kamu ini anak pesantren?"

Pandangannya pun diarahkan ke wajah sang penanya. Membuat mata yang sedari tadi melihatnya, menjadi tak karuan. Muncullah senyum simpul yang mewakili semua jawaban dari hal yang ditanyakan tersebut.

Teringatlah ia mendapat jawaban seperti itu. Dulu ia pernah menolak untuk di pesantrenkan, karena menganggap orang-orang pesantren begitu terbelakang. Sehingga ia lebih memilih sekolah formal agar dapat meraih mimpi besarnya. Namun sekarang, ia malah berjalan dengan seseorang yang telah memilih jalan yang ditolaknya.

Sehingga dirinya merasa begitu kecil dan hina bagi lelaki ini. Dirinya merasa begitu bodoh dibandingkan lelaki berperilaku baik ini. Sehingga ia begitu merasa tak pantas dengan perasaan yang ada di hatinya.

"Mba... apa sudah sampai?"

"Belum," ucapnya sedari mengejar langkah yang sedari tadi telah jauh di depannya. "Mam, kamu sekarang tinggal di mana? Di pesantren?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Iya."

Kembali, jawaban dingin itu membuatnya serasa mati kutu. Ia seperti menghadapi tembok besar nan tinggi, seperti tembok besar cina, yang tiada meninggalkan celah untuk diruntuhkan. Begitu juga dengan tembok lelaki ini, yang tak pernah ia lewati.

Aku harus tetap berusaha...

"Ini ya mba tempatnya?"

Ia pun terkaget tak menyadari bahwa ia telah sampai pada kisah akhirnya. "Iya..." jawabnya singkat, tak kuasa melihat lama kepada lelaki yang masih saja tak mau melihatnya terlalu lama. "Terima kasih ya mam. Sudah mau mengantarku."

"Sama-sama. Sekalian aku pamit pulang. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Langkah kaki itu pun mulai meninggalkannya di depan pintu pagar rumah itu. Mulut yang terasa berat untuk sekedar meneguk segelas air. Menjadi bukti nyata bahwa ia hanya bisa menatap sayu, meminta lelaki itu agar tak pergi meninggalkannya.


Nadzom-nadzom Cinta Jilid 3 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang