Pesantren Itu Apa? (5)

95 5 0
                                    


Waktu yang tak terasa menunjukkan waktu romantis antara bulan dan bintang. Membuat dinginnya angin malam mulai menyerbak melalui lubang-lubang ventilasi. Mengusik kehangatan ruangan yang tertutup ini dengan begitu halusnya.

Mulut yang sedari tadi telah bercerita panjang lebar, menceritakan kepingan masa lalu yang telah hilang. Mengeluarkan ribuan istilah dan kata, hingga tenggorokan yang mulai serak. Ternyata masih belum mampu membuat sorotan mata itu berubah.

"Jadi maksudmu. Imam ini, memang benar-benar kekasihku?"

"Imam itu selalu mencintaimu dari dulu hingga sekarang. Dulu, ketika kau pergi dari sini untuk terakhir kalinya. Ia juga pergi menyusulmu ke Jakarta. Tapi, tiada seseorang pun yang menyambut ketukan salamnya.

Setelah bertanya ke tetangga sekitar rumahmu. Katanya keluargamu sudah pergi dan belum pernah kembali lagi. Sementara itu, pembantu di rumahmu juga ikut berhenti. Karena tidak pernah mendapat kejelasan gaji yang ia dapat," jelasnya menceritakan kejadian terakhir pasca kepergian yang begitu menyakitkan itu. Kepergian karena tidak rela maaf dari sang kekasih yang hanya berasal dari permintaan orang lain.

Deg.. deg...

Entah mengapa, jantungnya terasa berdetak lebih lambat dari biasanya. Di setiap hentakannya mengantarkan rasa sakit yang tak bisa ia ceritakan. Namun, entah mengapa juga, ia tak kuasa mendengarkan segala cerita yang baginya itu sangatlah mustahil.

"Rat, ngomong-ngomong... liontinmu mana?" tanyanya mencoba mengingatkan dan menunjukkan bukti terkuat yang ia tahu. Sebuah benda yang ia yakini mampu membenarkan segala pernyataanya.

"Liontin apa?"

"Itu, liontin pemberian Imam... yang bisa dibuka," jelasnya seraya membentuk jarinya seperti bentuk benda yang di maksud. "Di dalamnya ada fotomu dan Imam," sambungnya sambil memberikan petunjuk ciri-ciri bentuk benda itu.

"Kamu jangan ngaco. Aku tidak pernah memiliki benda itu."

"Diary... eh, bukan... bukan... buku puisimu," ucapnya teringat kembali akan petunjuk lain.

"Apa lagi itu. Aku tidak pernah memilikinya. Kamu jangan tambah ngaco."

Ia pun kembali termenung memfikirkan sesuatu yang berada di luar nalar. "Baiklah, akan aku buktikan semua perkataanku," ujarnya meninggalkan seseorang yang masih saja tak mempercayai segala kesaksiannya.


Nadzom-nadzom Cinta Jilid 3 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang