Pergilah (1)

122 3 0
                                    


Pandangan kosong terperangkap untuk meniti jembatan masa lalu. Menyesali berbagai tindakan yang ternyata berakibat fatal bagi dirinya sendiri. Membuat diri ini terasa telah melakukan semua kesalahan di masa lalu.

Entah benar atau tidak tentang apa yang difikirkannya sekarang. Hati kecilnya ini tengah tersesat dalam lembah yang tak pernah ia masuki. Getaran hebat dari sebuah untaian kata yang begitu tipis, bisa membuatnya berubah seperti ini. Ia hanya bisa termenung di dalam ruangan kosong ini, membayangkan seseorang yang telah berhasil merubahnya.

"Masyaalloh," ucapnya tak kala memasuki kesendirian wanita ini. "Alhamdulillah, Yuli... sekarang bisa diam," sambungnya mendekati sahabatnya yang memiliki style berbeda.

Jika hari-hari biasa, wanita ini begitu mampu membuat gendang telinganya pecah. Tetapi kini malah menjadikan dirinya sendiri sebagai toa, pengeras suara. Ada keanehan yang begitu jelas terjadi pada insan ini. Sifat yang dulu atraktif, kini berubah menjadi pasif, bahkan lebih condong ke sifat acuh.

"Eh, Tofa," ucapnya sayup melihat sahabatnya ini sudah duduk disampingnya. "Assalamu'alaikum," sambungnya ramah melihat ke arah lelaki yang masih terkuasai oleh wajah kagum ini.

"Wa'alaikumsalam," jawabnya kaget melihat respon itu. "Yul, hikmah apa yang telah merubahmu?"

Hanya senyum simpul yang di kembangkannya. Tiada udara yang mampu ia keluarkan, guna melewati kerongkongan itu. Agar udara itu dapat diproses oleh pita suara, sehingga menghasilkan nada-nada yang unik.

"Ceritalah... kenapa kamu bisa sampai seperti ini?"

Lirikan sekejap itulah yang membuatnya terasa tak sendiri lagi. Dengan sekali hempasan nafas berat nan hangat. Ia pun mencoba untuk meninggalkan perbuatannya sedari tadi. "Fa, entah mengapa tatapan tajamnya tak bisa ku lupakan."

"Hheemm... jatuh cinta lagi nih, ceritanya?" godanya yang menerka jalan fikiran wanita ini.

"Tapi kali ini sungguh beda."

"Beda gimana?"

"Cuma sekali dia berbicara kepadaku. Tapi kalimatnya itu terasa telah mampu menyentuh hati kecilku," jawabnya jujur mengenai perasaannya. Menatap sahabatnya sedalam mungkin. Agar dia tahu bahwa perasaannya kali ini sangatlah murni, semurni air zam-zam.

"Ngomong-ngomong, hebat juga dia. Bisa meluluhkan hati sahabatku ini. Seseorang yang terkenal sebagai wanita yang kekeh ingin berhijrah," sindirnya yang sedari tadi telah mengangkat tinggi-tinggi tangannya. Layaknya seorang yang selebrasi pemain sepak bola yang mencetak gol, seraya melihat kearah penonton.

"Apalah kamu fa."

Ia pun hanya bisa terkekeh melihat sahabatnya ini. "Eh.. tapi siapa nama anak itu?" Tanya lelaki itu penasaran.

"Imam... Muhammad Imam As-safi," jawabnya setelah mengingat informasi tentang orang yang telah berhasil merubahnya itu.

Entah mengapa tubuh lelaki ini terasa memanas sekejab. Gejolak kegembiraan yang sedari tadi meledak, kini diam tak mengeluarkan sepatah katapun. Seolah dunia ini menjadi sebuah halaman-halaman novel, yang memiliki jalan cerita sendiri-sendiri.

"Hey fa," ucapnya sambil menepuk pundak sahabatnya ini. "Dia sekarang masuk kelas Syari'ah," sambungnya menjelaskan info yang telah ia dapati.

"Hemm... lengkap nih informasinya," sindirnya membuyarkan lamunan sekejapnya.

"He... he..."

"Yul kasih tahu donk, seperti apa anaknya," pintanya yang semakin penasaran mengenai sosok misterius ini.

"Ok..." ucapnya seraya beranjak memperhatikan keadaan sekitar. Langkah kaki mereka pun segera bertuju pada ruang kelas yang masih kosong itu. "Fa, walaupun hari masih pagi. Biasanya dia sudah tidur di kelas. Nunggu dosen mungkin."

"Hah.. tidur?"

Melihat sahabatnya yang melotot tak percaya. Ia hanya bisa mengangguk membenarkan segala pernyataannya. "Kalau ngak percaya... itu anaknya," ujarnya menunjuk seseorang yang tengah terlelap tertunduk, layaknya seseorang yang tidur di kala khutbah jum'ad.



Nadzom-nadzom Cinta Jilid 3 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang