Pergilah (4)

105 5 0
                                    


Kini, hari yang telah silih berganti. Mengikuti matahari yang telah lelah mengaruhi hari bersama dirinya. Kini mulai meninggalkannya di ufuk barat sana. Meninggalkan bayang-bayang kesedihan yang telah memanjang melebihi benda aslinya.

Penantian yang selama ini selalu ia tekuni setiap sehabis matahari tergelincir ini. Terasa semakin menemukan berbagai batu rintangan. Tiada kejelasan atas semua harapan yang telah terpupuk sekian lama.

"Mba Yuli mau nunggu sampai kapan?" tanya lelaki yang berkumis tipis ini, yang kasihan karena sudah terlalu lama menunggu di pos ini.

"Iya mba... sudah dari tadi siang lho, mba ada di sini," tambah satpam yang lain.

Melihat kedua orang yang begitu mencemaskannya. Ia hanya bisa tersenyum simpul tak bisa menyalahkan sifat keras kepalanya. "Sebentar lagi pak," ucapnya berharap, seraya memandang kampus yang begitu sepi legam. Tiada makhluk yang berkeliaran, selain angin sore yang menari perlahan.

"Bener kata Parman mba... sudah dari tadi ngak ada yang lewat seperti cerita mba, mungkin orang yang mba tunggu sudah pulang."

Terselip keraguan di hatinya, membenarkan argumen yang begitu kuat. Perkataan yang telah lama meneliti dan mengawasi tempat ini. Sehingga tiada kemungkinan baginya untuk meragukan data akurat itu.

Namun hati kecilnya terus saja berkata berbeda. Rohnya ini berkata bahwa seseorang yang ditunggunya, masih berada di kawasan ini. Dengan membulatkan tekad, melawan semua kenyataan yang telah ada di depan mata. Ia pun segera beranjak, meyakinkan dugaannya.

Langkah pertama yang terfikir olehnya, adalah ruang kuliah yang mungkin menjadi tempat belajar orang yang dinanti olehnya. Segera, setelah meninggalkan pos satpam itu, dengan tangan yang tak kosong menggengam udara. Ia segera menuju ruang kuliah yang hanya meninggalkan beberapa biji mahasiswa yang masih asik dengan dunia mereka.

Terkunci...

Ucapnya dalam hati, karena tangannya tak bisa membuka tuas itu. Matanya pun segera ia fungsikan layaknya sensor radar, mengamati di dalam ruangan tersebut. Karena ia teringat akan kebiasaan si target yang sering tidur di kelas.

Satu per satu, ruang kelas yang terhampar dari utara ke selatan. Ia telusuri tanpa kenal lelah. Namun, waktu tak juga memberikan jawabannya. Seluruh usahanya kini tak membuahkan hasil untuknya. Dengan seketika, tubuh itu lunglai tertunduk lemas bersandar pada tembok yang lebih kuat darinya.

Mungkinkah, masjid...

Ucapnya semangat, terinspirasi oleh lagu murotal yang tengah di putar melalui toa dengan merdunya. Selanjutnya, ia juga teringat tempat terakhir yang pernah dijadikan tempat persembunyian saat ospek dulu. Dan ini menjadi tempat terkhir yang di fikirannya.

Langkahnya pun segera beranjak ke tempat itu, mengerahkan sisa-sisa tenaga yang ia punya. Matanya pun segera mengarah ke segala penjuru masjid, melacak tanda-tanda dari sang target. Namun pada akhirnya, bau darinya pun tak dapat tercium olehnya.

Rasa putus asa pun kini telah menghinggapi tubuhnya. Namun, ia begitu kaget mendengar sebuah suara merdu yang sayup terdengar oleh telinganya. Suara yang melantunkan ayat-ayat Al-qur'an yang menyentuh lubuk hatinya.

Perlahan-lahan, langkah kaki ini pun segera memastikan radar pendengarannya ini. Ternyata benar, tentang apa yang difikirannya. Matanya pun mulai berkaca-kaca, mendapati keindahan yang begitu membuatnya merasa hina.

Maju atau mundurkah, kini ia harus melangkah. Rasa bimbang dan binggung pun kini telah mulai mengusir rasa lain yang sedari tadi sudah melekat. Akhirnya ia putuskan untuk duduk di tangga di luar masjid. Teringat bahwa dirinya sedang tak bisa berlama-lama di dalam sana, karena jatah bulanan yang telah istiqomah datang dan pergi. Untuk mengusir kebosanannya, ia pun merenung, memfikirkan perkataan yang akan di ucapkannya, agar tiada kesalahpahaman lagi.


Nadzom-nadzom Cinta Jilid 3 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang