Aku Kuliah (3)

230 8 0
                                    


Sang angin dingin yang sedari tadi bersemayam, kini mulai menampakkan kepakkan sayapnya. Menghapuskan berbagai cahaya yang telah menguasai sepanjang hari. Bulan yang mengucapkan terima kasih atas dirinya, mendendangkan lagu bersama ribuan dayang bintang di angkasa. Melodi antara bintang-bintang yang begitu mempesona, tak membuat dirinya hilang tertelan penampilan mereka. Hadirnya tetaplah bagai penyanyi utama dalam panggung megah itu, gemerlap malam.

Tak disangka, ada melodi lain yang ternyata lebih indah dibandingkan untaian musik mereka. Rajutan-rajutan kalam yang di untaikan oleh setiap insan, tak kala menyambut kedatangan mereka semua. Semerdu suara Nabi Dawud a.s, yang mampu membuat seluruh alam ikut memperhatikan dan terlena akan syair-syairnya. Suara dari bibir-bibir yang dirahmati, membacakan ayat-ayatnya dengan begitu semangatnya. Apalagi mereka yang membacanya setelah menyelesaikan sholat tiga rakaat di dalam masjid secara bersama-sama. Tentu pahala yang mereka dapat, pastinya akan berlipat ganda.

Sementara itu, di ujung sajadah yang masih hangat. Kini mulai bercampur dengan butiran air hangat yang membasahinya. Menandakan bahwa seorang muslimah ini, sedang bermunajat mengutarakan seluruh keluh kesahnya kepada sang Kekasih Sejati. Untaian doa yang tersusun rapi, berstempel sholat jamaah. Ia tunjukkan kepada ruh kedua orang tuanya yang telah mendahuluinya dengan begitu cepat.

"Ratna," ucap beliau setelah menyelesaikan doanya. "Ada sesuatu yang ingin kami sampaikan," tambahnya mengawali hasil diskusi yang telah mereka sepakati sebelumnya.

"Insyaalloh... sekarang sudah waktunya kamu meninggalkan tempat ini," sambung sang ibu dari samping kanannya.

Terhentilah detak jantung yang sedari tadi telah terpacu cepat. Namun, ia mencoba tak bersu'uzon terlebih dahulu kepada mereka. Karena sejak dulu keluarga ini telah melakukan hal baik untuknya. Lantas apa mungkin hal buruk akan mereka lakukan kepadanya? Ia tetap mencoba arahkan fikirannya kepada jalan yang lurus, agar tak terpancar dari wajah yang telah kehilangan kegembiraannya ini.

"Begini rat... kamu sudah harus menempuh hidupmu kembali... jadi sekaranglah saatnya kamu memilih," jelas sang kepala keluarga ini penuh misteri.

"Maksudnya pak?"

Beliau pun tak semerta-merta menjawab pertanyaan tersebut. Namun ia melihat ke arah lelaki yang sedari tadi masih diam membisu. Seolah meminta persetujuan darinya untuk mengabarkan berita yang begitu mengoncang jiwa ini.

"Untuk kebaikanmu... mas Tofa sudah mendaftarkan kamu untuk kuliah."

Ia pun masih tak percaya dengan perkataan lelaki tua ini. Ia merasa masih belum siap untuk meninggalkan keluarga ini. Karena belum genap satu bulan ia berada di tempat teraman ini. "Tapi pak..."

"Tenang saja... tempatmu kuliah nanti akan sama dengan mas Tofa... jadi kamu tidak perlu risau ataupun takut."

Gemuruh yang sedari tadi menguasainya, kini perlahan telah kehilangan momentumnya. Rasa aman yang sejatinya ia dapatkan bukan dari suatu benda mati. Menjadikkan dirinya kembali seperti air yang tenang, selepas tergetarkan oleh sesuatu.

"Jadi, kamu mau tidak hidup bersama denganku?"

Terdiamlah ia, memfikirkan kembali segala perkataan dari orang-orang yang ada di sekitarnya ini. Terlebih lagi, pertanyaan yang telah begitu mendalam masuk ke relung hatinya. Pertanyaan yang memiliki esistensi yang melebihi maksud dari si penanya itu sendiri. "Insyaalloh, jika inilah yang terbaik... Ratna nurut saja," jawabnya singkat. Namun dapat membuat nafas berat yang sedari dirasakan oleh lelaki muda ini, menjadi keindahan yang ia harap akan bertahan hingga masa-masa yang akan datang.


Nadzom-nadzom Cinta Jilid 3 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang