Dia Itu, Anis (5)

145 4 0
                                    


Tatapan kebosanan yang hanya bisa melihat semua dari kejauhan, menjadikan semua ini layaknya penjara tak berbesi. Iri kepada para mahasiswa yang tengah berada di lapangan sana. Kegiatan yang seharusnya ia ikuti, namun ternyata semua itu hanya mimpi.

Parasnya pun hanya bisa ia pangku, melihat kejadian yang tengah ramai di luar. Mengandaikan dirinya mengikuti kegiatan yang takkan pernah ia alami untuk kedua kalinya. Kegiatan yang ternyata mampu membuat ikatan batin di antara para pejuang baru ini.

Suara sang kakak berpakaian almamater yang terdengar olehnya. Membahana menembus dinding kaca belakang asrama putri ini. Menjadikannya ia ingin melihat kepada siapa suara itu di tujukan.

Ternyata, suara itu ditujukan kepada seseorang yang sepertinya ia tahu. Karena lelaki tersebut, terasa sama dengan yang diceritakan oleh teman sekamarnya dulu.

Kasihan sekali dia... harus dimarahi seperti itu...

Ucapnya dalam hati, merasa begitu iba dengan lelaki yang tengah menjalani hukuman aneh ini. Ia yang hanya bisa melihat dari kejauhan, masih bisa merasakan beratnya tekanan batin itu. Seolah ia merasakan juga apa yang tengah dirasakan oleh lelaki itu.

Namun, rasa belas kasih itu masih kalah dengan rasa kesepian yang menguasainya tiada terkira. Sehingga membuat tubuh ini perlu untuk menggerakkan persendian yang mulai kaku. Hasrat yang muncul, menginginkan dirinya untuk menjelajahi tempat tinggalnya sekarang.

Pertama-tama, ia mengelilingi lantai teratas dari gedung ini, melihat seluruh pemandangan dari tempatnya berpijak. Lucunya, ketika ia mengintip daun pintu yang tak tertutup rapat. Ia menemukan banyak juga mahasiswi yang tak beranjak dari kamarnya. Ditambah pula dengan masih dilihatnya handuk yang masih kering melambai terkena angin sepoi.

Kemudian ia turun ke lantai di bawahnya. Mendapati beberapa anak saja yang tidak berangkat kegiatan ospek di tempat yang sama. Tempat yang membuat mereka terasa berat untuk beranjak, ranjang.

Tiba-tiba, ada suara yang begitu memprotes tindakannya ini. Ia kemudian teringat bahwa sedari tadi belum mengisi perutnya. Akhir dari perjalannya ini, ia segera meluncur ke kantin yang ada di samping asramanya.

"Mau pesan apa?"

"Mie goreng saja bu."

"Minumnya?"

"Air putih saja."

Sedari menunggu pesanannya, ia masih terpikat melihat pemandangan khas asramanya. Pakaian dan jemuran yang berbaris lurus di pagar-pagar dinding pembatas kamar dan dunia luar. Benda yang menjadi pemisah layaknya jendela yang memisahkan antara dunia kehangatan kamar, dengan dinginnya angin luar.

Memang itu lah kebiasaan para penghuni asrama. Tubuh yang sudah terlalu nyaman dengan posisinya. Menjadikan bergerak pun terasa begitu menjadi sesuatu yang begitu berat, layaknya menyeret batu besar di belakangnya. Sehingga, tralis itu pun menjadi pelarian. Karena di benda itu, handuk-handuk basah mereka dapat kering tertiup sang angin.

Datanglah penjaga kantin tersebut sambil menyuguhkan pesanannya. "Silakan di nikmati," ucapnya sambil memperhatikan wajah yang nampak asing baginya.

"Terima kakasih bu."

"Mba baru ya di sini?"

"Iya bu."

Ibu itu pun segera duduk di sana, sambil mencoba mendekati orang yang terlihat kalem ini. Seseorang yang terlihat begitu canggung dalam semua tingkahnya. Seseorang yang terasa membutuhkan bantuannya, agar bisa lebih cepat untuk beradaptasi di tempat yang membutuhkan kecepatan ini.


Nadzom-nadzom Cinta Jilid 3 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang