Pergilah (2)

112 4 0
                                    


"Mba ayo."

"Sabar dulu nis."

Wanita ini hanya bisa terpaku jengkel, menunggu kakak sepupunya yang terlambat bangun ini. Menjadikan jadwal yang biasanya on time, kini menjadi carut marut. "Mba sih... lupa pasang alarm, jadi kesiangan nih," keluhnya yang pada akhirnya melihat seseorang yang ia tunggu muncul dari balik daun pintu.

"Maaf. Mba kan jarang begadang," ucapnya berlari mengejar seseorang yang telah jalan di depannya.

Inilah uniknya waktu perkuliahan. Berbeda dengan waktu sekolah yang mengharuskan hadir untuk seluruh siswa pada jam tertentu. Biasanya jam tujuh tepat, maka kelas pun akan di mulai. Dengan atau tanpa siswa yang datangnya terlambat.

Namun, untuk waktu perkuliahan. Hanya ditentukan oleh jatah satu mata kuliah. Seumpama, jika pada hari senin, ada satu mata kuliah pada jam 09.50-11.20. Maka si mahasiswa pun hanya diwajibkan hadir pada jam itu saja. Bukan mengikuti jam perkuliahan kampus yang dimulai sejak pukul 07.00 atau 06.30.

Langkah kaki mereka pun segera beranjak mendekati pos penjaga itu. "Assalamu'alaikum pak," ucapnya manis kepada kedua satpam penjaga gerbang, yang sedari tadi melihat mereka. Membadali adik sepupunya yang cuek, lewat di depan mereka.

Lokasi kampus yang memang berada di seberang jalan dari asrama putri. Membuat mereka diharuskan melewati gerbang ini. Sementara itu, asrama lelaki yang berada di belakang kampus, serasa membuat kampus ini terapit oleh tempat tinggal para mahasiswanya.

"Wa'alaikumsalam," jawab mereka serempak, memberikan balasan terbaik mereka.

"Tumben telat neng," ujar lelaki yang tengah terduduk di dalam posnya ini.

"Begadang pak," jawabnya singkat melewati pos yang terkadang tak ramah bagi orang asing. "Monggo pak," sambungnya melepas pandangan dari keduanya.

"Cantik-cantik masa begadang," sindir satpam lain yang tengah keluar menghirup udara pagi yang begitu segar.

"Biarin."

Tak ayal. Seluruh mata tertuju pada sumber suara yang telah jauh dari keberadaan mereka. "Widddihh..." ucap mereka kompak. Melihat wanita yang sedari tadi nyelonong di depan mereka. Kini menyambar layaknya petir yang datang tak di undang.

Langsung saja, ia melihat kepada teman sepekerjaannya ini. Tatapan kecewa itu pun hadir jelas di matanya. "Kamu sih man, jadi pergi tuh... si bidadari."

"Lho kok salahku?" sangkalnya tak mempercayai ungkapan itu.

"Sudah... sudah... males aku, pagi-pagi ribut sama kamu," jawabnya membuang pandangan ke jalan yang masih begitu sepi.

"Lho, ribut... siapa yang ngajak ribut?"

Tak tahan mendengar celotehan dari teman seperjuangannya ini. Ia pun segera menyambar radio yang ada di pojokan sana. "Hust diem," ucapnya sambil menyetel musik dangdut kesukaannya.

"Ko..."

"Diem.." ujarnya sambil menikmati alunan musik yang begitu ia kuasai. Mulutnya pun tak hentinya mengikuti lirik lagu yang tengah diputar. Seolah dirinya tengah ada dalam ruang karaoke yang memiliki banyak pilihan lagu.

"Ko..."

"Diem.."

Melihat dirinya yang tengah dikucilkan. Ia pun segera beranjak mendekati lelaki yang tengah asik berjoget ini. "Joko..." teriaknya ke arah telinga yang tengah sibuk itu.

"Ada apa sih Parman..." gerutunya memperhatikan sahabatnya ini.

"Belum sarapan ko..." rengeknya seraya memegangi perut kecilnya itu. Berharap sahabatnya ini bersedia membantunya.

"Hemm... dirimu man... kalau masalah duit mah larinya ke aku."

"Hehe.."

Segera, wajahnya yang sedari tadi memberikan gambaran senyum kecut. Menggerakkan tangan kanannya mulai bergeriliya pada setiap kantong yang berada di tubuhnya. "Nih.. sekalian, aku beliin," ucapnya sambil memberikan selembar uang dua puluh ribuan.

"Asik..." ujarnya sumringah melihat kertas merah di depannya. "Sama kopi ya ko..." sambungnya melirik ke arah sahabatnya ini.

"Ya.. ya.. terserah kamu... jengkel aku lihat kamu."

"Jengkel piye to, ko?"

Hembusan nafas berat pun ia keluarkan kembali, menghadapi sahabatnya ini. "Udah sana..." jawabnya mendorong tubuh lelaki yang culun ini. "Ya Alloh, sabarkanlah aku dengannya."

"Ko..."

"Hih... ada apa lagi?" ucapnya marah.

"Sisanya bel rokok ya."

"Terserah," sentaknya dengan mata melotot, layaknya sedang memuntahkan segala emosinya.

Melihat itu, ia pun hanya bisa merinding ketakutan. "Hih... kamu nyeremin ko, seperti Buto Ijo. Tapi sayang kamu ireng, jadinya kaya Buto Ireng," ejeknya meninggalkan sahabatnya ini dengan wajah yang memerah.


Nadzom-nadzom Cinta Jilid 3 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang