Dia Itu, Anis (7)

131 5 0
                                    


Berdirilah seseorang yang begitu bertanggung jawab dengan semua kegiatan yang telah diselenggarakan sejak beberapa hari yang lalu. Dengan begitu semangatnya, ia yang menjadi perwakilan dari seluruh jajaran panitia. Berdirinya ia di atas panggung, bertujuan untuk menyampaikan rasa terima kasihnya kepada seluruh peserta ospek. Karena mereka telah mengikuti dengan baik season pertama dari rangkaian kegiatan yang diperuntukkan hanya bagi mahasiswa baru.

Sementara itu, di jajaran para mahasiswa yang tengah duduk berbaris ini. Ada sepasang mata jelita, yang selalu mencoba untuk mencuri pandang. Kepada seseorang yang tengah jauh dari sini, walaupun tubuhnya masih tertinggal di tempat ini, bersama mereka. Ia hanya tersenyum geli, melihat kelakuan seseorang yang begitu mampu membuatnya berdecak kagum.

"Heh, monyet."

Itulah bentakkan keras dari seorang pionering yang memanggil nama yang tertera pada sebuah papan kardus. Kartu identitas yang menjadi sumber informasi baru, bagi mereka agar terjalin keakraban. Karena pada umumnya, para peserta ospek selalu memiliki rasa canggung dan sungkan untuk mulai berkenalan dengan orang baru.

"Bangun," sambung wanita berjas biru tersebut, dengan jilbab kuning yang teruntai lurus ke bawah.

Sang pemilik papan itu pun mendongakkan matanya. Tatatapan itu ia tujukan ke arah orang yang telah mengganggunya. Karena ia telah berani membangunkannya dari istirahatnya. Sesaat kemudian, mata mereka saling bertautan menjalar dalam ketajaman mata mereka. Satu pandangan dengan menggunakan tatapan amarah, karena merasa tak dihargai sebagai panitia. Sementara mata yang lain, merasa terusik akan ketenangannya.

"Kamu, dari tadi tidur saja," ucapnya sedikit dengan nada berbeda. "Berdiri," perintahnya agar membuat lelaki ini membuka kedua matanya lebar-lebar.

Dengan malasnya, si monyet itu pun segera mematuhi perintah dari kakak kelasnya ini. Kembali, matanya ini terasa memendam amarah yang memuncak. Tak kala melihat tajam ke arah orang yang sedang menghukumnya.

"Angkat kaki kirimu."

"Kak, ada apa ini?" tanya seorang lelaki lain mendekati keduanya, yang tengah sibuk dengan kegiatan mereka ini.

"Tolong ton, awasi anak ini," ucapnya sambil meninggalkan si monyet yang berdiri mematuk seperti patung pancoran. "Dari tadi dia tidur saja," timpalnya seraya melanjutkan pengawasannya kepada peserta lain.

"Apa? Berani-beraninya..."

Kejadian ini pun diperhatikan oleh kedua matanya. Lokasi duduknya yang strategis, karena tepat berada di barisan belakang mereka. Sehingga ia menyadari sedari tadi, dan terus mengawasi tanpa melewatkan sedetik pun.

Entah mengapa, matanya tak bisa melepaskan pengawasannya ini. Dari lubuk hatinya, ia merasa iba dan tak tega melihat lelaki itu bercucuran keringat. Ditambah dengan omelan yang ia dapat, dari kakak pioner itu.

"Sudah, duduk," ucap wanita yang tadi menghukum, memberi kode isyarat kepada temannya. Agar bergantian dengannya, tugas untuk mengawasi para peserta.

Dan si pelaku itu pun hanya duduk memandang tajam ke arah lelaki yang telah menceramahinya. Lelaki yang menurutnya hanya sok bijak dan keren, namun tak bisa menerapkan pada dirinya sendiri. Ia berpendapat bahwa semua itu dilakukannya, agar mendapatkan "nama" di mata para juniornya.

Seperti pantulan sinar pada cermin, mata ini mengawasi sekian detik. Tak selang beberapa lama, ia yang tadi meninggalkannya. Kini kembali membawa segelas air mineral, mendekati anak yang di hukumnya tadi.

Sementara itu. Dari kejauhan, ia mencoba menggambarkan perkataan dari si wanita pioner itu, menggunakan bahasa tubuhnya. Ada yang aneh dari itu semua. Karena mengapa hanya si monyet saja yang mendapatkan air, sementara yang lain tidak. Dan muncul di benaknya, bahwa kemungkinan wanita itu pasti merasa bersalah akan tindakannya tadi.

Namun, lelaki ini hanya diam tak menghiraukannya. Dia yang sedari tadi jongkok di sampingnya. Terasa tersia-siakan atas usahanya untuk memberikan minum kepadanya. Karena di hati kecilnya, ia juga merasa tidak nyaman dengan keputusannya tadi.

Dengan wajah yang menelan pil pahit. Dirinya merasa kecewa tak berujung. Karena ia juga tak bisa mendapat kata maaf dari orang yang ada di depannya. Bahkan hanya untuk mendapatkan perhatiannya. Air itu pun akhirnya ia tinggalkan disampingnya, seraya melangkah pergi meninggalkannya dalam kejengkelan yang tengah memuncak.


Nadzom-nadzom Cinta Jilid 3 [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang