"aku gak tau yah apa yang ada di dalam pikiran kalian sampai bisa memilih tempat ini untuk berkumpul? Abang, ngapain ada di tempat ini? Eza, kamu gak bilang sama aku kalau kamu mau keluar. Kamu hanya bilang ada bersama Alfi dan Daniel. Dan kalian berdua, kenapa bisa ada di sini sih, setahuku kalian sedang main game dan memperebutkan hadiah. Apa yang ada di pikiran kalian. Besok hari Senin, kita sekolah, kita upacara, kenapa bisa ada di pavillion club' sih? Ya Allah, kalian gak mikir apa gimana? Hah!!"
Mereka semua hanya diam mendengarkan Aruna meluapkan kemarahannya. Eza juga hanya bisa mengusap lembut rambut Aruna yang berantakan karena Emosinya yang tersulut, sedangkan Benua ia hanya diam, memperhatikan mereka semua yang ada di dalam ruangan ini. Ia juga sebenarnya tidak tahu kenapa ia bisa menuruti begitu saja ajakan Alfi, sepupunya.
"Aruna please deh, jangan jadi remaja Kuno." cibir Daniel sembari terus memperhatikan kaca yang ada di depannya. Lewat sana, ia bisa melihat Hingar bingar yang terjadi di dancefloor. Ia bisa mengamati setiap lekuk tubuh wanita-wanita malam yang sedang menggoda lelakinya.
"Kuno kamu bilang?, Kamu tuh yang Kuno. Ke club' itu udah gak jaman kali. Jangan ngaco deh"
Alfi memutar bola matanya Malas lalu menyodorkan piring berisi kue ke hadapan Aruna.
"Kita ke sini bukan untuk berbuat nakal kok. Dan kalau kamu mau marah, marah sama aku saja. Aku yang ngajak Eza kesini, aku yang Minta Bang Benua untuk menemaniku kesini karena aku tahu, kita tidak akan mungkin bisa masuk tanpa bang Benua. aku menang permainan Game dan Daniel siap membayarkan semua tagihan yang ada malam ini. Itu sebagai hadiah atas kemenanganku."
Aruna mengacak rambutnya frustasi. Semuanya benar-benar gila.
"Lalu apa untungnya kamu kesini?" Serangnya tajam.
"Gak ada, buat cuci mata doang, masa udah kelas 2 SMA tapi belum pernah nginjak club', gengsi dong" jawab Alfi seraya mengendikkan bahunya.
"Makan tuh gengsi!" Ujarnya lalu menarik tangan Benua dan Eza untuk berdiri dari sana. Tapi Benua masih saja diam tanpa bicara apapun. Sedari tadi juga ia tidak mengatakan apa-apa, matanya terus menyorot pada Shafana yang sudah duduk di depannya.
"Sayang, tenang" ujar Eza seraya mengusap lembut kepala Aruna lalu mendudukkannya kembali. Sekali lagi menuangkan jus jeruk untuknya.
"Ini bukan bentuk kenakalan kok, kita disini cuma ingin 'tahu' isi club itu seperti apa. Itu doang." Ujar Alfi kembali beralasan.
Aruna diam sembari memperhatikan mereka semua satu persatu.
"Lalu kenapa kamu sampai tahu Abang ada di sini? Dan kenapa Shafana bisa ikut sama kamu? Sejak kapan kamu jadi mau repot ngurusin acara malam Abang?"
Aruna menoleh, menatap tajam pada Benua yang baru saja memberinya banyak pertanyaan yang sialnya kembali memancing kekesalannya.
"Satu, aku melacak keberadaan Abang. Dua, kak Shafana Datang dan meminta tolong kepadaku Karena kak Shafana Khawatir Abang gak ada kabar dan belum pulang sampai selarut ini. Tiga, sejak saat ini, saat ku rasa ada yang tidak beres pada diri Abang."
"Lalu kenapa kamu yang repot?"
"Karena Abang itu abangku. Aku gak mau Abang kenapa-kenapa"
"Sejak kapan kamu jadi berani membalas setiap ucapan orang yang lebih tua?"
"Sejak aku tahu, kalau apa yang ku lakukan ini adalah kebenaran."
"Baiklah Aruna, kita pulang." Ujar Benua lantas Berdiri, membuka jaketnya, lalu meraih tangan Shafana memberikan jaket padanya kemudian menatap Alfi. "Kalian juga sebaiknya pulang. Kurang dari 30 menit lagi mama dan papa kalian sampai di rumah." Katanya lalu meraih tangan Shafana yang sudah terbalut jaketnya yang kebesaran di badan kecil Sekretarisnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/212102972-288-k619014.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Keputusan Takdir
Teen FictionBerbekal Nama Belakang kakeknya, Mereka berdua di kenal Banyak Orang. Pengaruh papanya di Negara ini juga sangat penting untuk membuat mereka tenar, baik di dunia nyata maupun di dunia Maya. Kembar Identik, yang jika di perhatikan sekilas nampak tid...