Cemburu

16 0 0
                                    

Aruna terus berjalan tanpa menghiraukan panggilan Eza yang juga terus mengejarnya di belakang. Ia sudah melewati UKS, sudah lewat di kelasnya, bahkan saat ini sudah sampai di lapangan sekolah mengarah ke pintu keluar. Aruna terus saja berjalan tanpa mau repot-repot menoleh pada Eza.

Sampai di depan pagar utama sekolah ini, Aruna tak sengaja melihat mobilnya yang di pakai oleh Sulthan pagi tadi mengantar Aruni terparkir rapi di bahu jalan. Aruna mempercepat langkahnya ke sana lalu mengetuk kacanya. Menyadari ada Aruna di luar, Sulthan segera membuka pengunci pintu sehingga memudahkan Aruna untuk masuk di jok belakang.

"Aruna, ada apa?" Katanya sedikit panik melihat wajah merah Aruna dan kilat marah di matanya.

Selanjutnya, kembali terdengar gedoran pintu di luar. Sulthan melihat ada Eza disana. Dan dari sini ia mengerti satu hal. Mereka berdua sedang ada masalah. Sulthan menghelah napas lalu tersenyum.

"Oh lagi ngambek? Cih, gak cantik lagi" cibirnya seperti biasa.

"Bodo amat."

"Kenapa sih? Baru pertama sekolah juga. Keluar sana bicarain baik-baik" seru Sulthan

"Gak mau." Tolak Aruna cepat.

"Eza nungguin itu, kasian" bujuknya lagi.

"Kenapa kakak harus perduli. Biarin aja" suaranya naik satu oktav.

"Eh, gak boleh gitu" peringati Sulthan. Ia tidak mau saja Aruna akan merasa menyesal setelah ini.

"Bodo!!" Namun Sekali lagi Sulthan mendapatkan penolakan.

Sulthan menghelah napas lalu segera keluar dari mobil Range Rover Milik Aruna. Pintunya sengaja ia kunci. Ia memutari mobil dan menyerahkan kuncinya pada Eza. Ini adalah satu-satunya cara agar mereka bisa menyelesaikan masalah ini.

"Masuk gih, bujuk di dalam mobil. Jangan keluar sebelum kalian baikan,. Jangan lupa kunci pintunya" ujar Sulthan kemudian berjalan menuju pos satpam, meninggalkan Eza yang sudah masuk ke dalam mobil.

Aruna berpindah ke sisi tempat duduk dengan wajah tertekuk. Ia tidak sama sekali menatap Eza bahkan dari ekor matanya sekalipun.

"Aruna, hey---" Eza meraih sebelah tangannya yang segera di tepis oleh Aruna.

"Kok marah Sih, tadi itu Anum bicara baik-baik loh." Aruna tetap diam. Hela napasnya terasa berat mendengar Eza bahkan masih membela adik kelasnya itu.

"Aku kan gak ngapa-ngapain sama dia Runa, Kok ngambek sih? Liat sini dulu" pintanya seraya meraih pipi Aruna, namun Aruna masih tak bergeming.

Eza menghelah napas pelan lalu meraih kedua pundak Aruna dan membalik badannya ke arahnya. Aruna menunduk dalam, wajahnya di tutupi oleh semua rambutnya.

"Aruna, liat aku." Pintanya namun Aruna masih menunduk.

Eza meraih dagu Aruna lalu membawa wajahnya menghadap kepadanya yang sialnya membuat Eza merutuki kebodohannya. Aruna berlinang air mata di hadapan wajahnya.

"Hey hey hey sayang, jangan menangis please.!" Katanya seraya membawa Aruna ke dalam pelukannya.

Tangannya mengusap lembut rambut sampai pundak Aruna.

"Maafin aku, maafin aku" katanya.
"Tolong jangan menangis," bujuknya.

Eza merenggangkan pelukannya lalu menghapus air mata Aruna yang tidak mau berhenti menetes.

"Kamu sudah berjanji untuk menjauhinya bahkan sebelum aku memintanya, lalu apa sekarang? Yang aku lihat malah sebaliknya Za." Ujar Aruna. Air matanya semakin deras mengalir di pipinya.

Keputusan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang